YANG lebih ganas dari virus penyebab penyakit kuku dan mulut,
meledak pula di daerah terpencil dan gelap di Kabupaten Paniai,
Irian Jaya. Daerah ini semula bebas anthrax. Tetapi sejak April
lalu penyakit yang bisa membunuh korban (manusia maupun
binatang) dalam 24 jam setelah kena, berkecamuk di sana. Sampai
awal Agustus tercatat 42 orang meninggal di daerah yang
berpenduduk 6.181 orang itu. Sementara 3.400 ekor babi dari
22.000 ekor yang terdapat di sana, mati disambar basil penyakit
tersebut.
Wabah berjangkit dari Kampung Diyoudimi dan Magode. Bergerak ke
arah timur dan mencemari sebelas kampung yang terserak di
sekitar Danau Paniai. Dibawa oleh babi dari kampung satu ke
kampung lain. Sedangkan di antara manusia, penyakit itu menular
bersama kebiasaan penduduk setempat yang merasa bangga kalau
bisa membagi-bagikan daging babi kepada seluruh keluarga. Baik
sekampung ataupun yang tinggal jauh.
Keadaan semakin parah. Sebab seperti diceritakan Gendo M.
Simanjuntak, dokter ahli penyakit hewan Departemen Kesehatan,
orang daerah itu punya kebiasaan tetap memakan daging babi mati
ataupun sakit. Gendo termasuk anggota tim yang dikirim
Departemen Kesehatan untuk meneliti wabah tersebut awal Agustus.
Sepulangnya dari pedalaman Irian itu, tim memboyong contoh
darah, nanah, dan tulang korban untuk diperiksa. Balai
Penelitian Penyakit Hewan di Bogor masih memeriksanya. Syamsudin
dari balai itu menyebutkan hasil pemeriksaan akan selesai awal
September ini. Namun G. Hartono, dari Direktorat Jenderal P3M,
Departemen Kesehatan, sudah bisa memastikan penyakit yang
melanda Paniai itu sebagai anthrax. Menurut dia, ini bisa
disimpulkan dari gejala kejang dan pendarahan sebelum penderita
sekarat dan meninggal.
Buat Indonesia penyakit ini untuk pertama kali ditemukan di
Telukbetung (Lampung) setahun setelah Krakatau meletus. Tetapi
anthrax yang tampil di Irian Jaya ini punya dimensi baru.
"Sekiranya penyakit yang berjangkit di Paniai itu benar-benar
anthrax, maka kejadian itu adalah yang pertama kali," ucap Gendo
M. Simanjuntak. Karena menurut dia pada babi biasanya penyakit
ini bersifat kronis yang bersarang di limpa. Sedangkan yang
terjadi di Paniai ini akut. Darah mengalir dari berbagai liang,
seperti mulut, telinga, dan dubur.
Selain karena memakan daging yang tercemar anthrax, manusia juga
bisa terjangkit melalui sentuhan terhadap binatang. Basil
penyakitnya tidak tahan oksigen. Namun punya kemampuan berubah
bentuk, membalut dirinya dengan spora. Diantarkan udara, spora
itu menyerang kian kemari.
Gendo cemas benar melihat wabah di Painai itu. Kalau di Eropa
ternak yang terjangkit dibunuh. Tetapi buat orang Irian babi
hampir-hampir seperti binatang keramat. Untuk melakukan
vaksinasi enam bulan sekali hampir musykil, karena daerahnya
terpencil. Dia jua tak habis pikir daerah yang sudah dinyatakan
bebas kok bisa kejangkitan. "Mungkin dibawa hewan yang
didatangkan dari luar," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini