Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Di paniai lewat babi

3 September 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YANG lebih ganas dari virus penyebab penyakit kuku dan mulut, meledak pula di daerah terpencil dan gelap di Kabupaten Paniai, Irian Jaya. Daerah ini semula bebas anthrax. Tetapi sejak April lalu penyakit yang bisa membunuh korban (manusia maupun binatang) dalam 24 jam setelah kena, berkecamuk di sana. Sampai awal Agustus tercatat 42 orang meninggal di daerah yang berpenduduk 6.181 orang itu. Sementara 3.400 ekor babi dari 22.000 ekor yang terdapat di sana, mati disambar basil penyakit tersebut. Wabah berjangkit dari Kampung Diyoudimi dan Magode. Bergerak ke arah timur dan mencemari sebelas kampung yang terserak di sekitar Danau Paniai. Dibawa oleh babi dari kampung satu ke kampung lain. Sedangkan di antara manusia, penyakit itu menular bersama kebiasaan penduduk setempat yang merasa bangga kalau bisa membagi-bagikan daging babi kepada seluruh keluarga. Baik sekampung ataupun yang tinggal jauh. Keadaan semakin parah. Sebab seperti diceritakan Gendo M. Simanjuntak, dokter ahli penyakit hewan Departemen Kesehatan, orang daerah itu punya kebiasaan tetap memakan daging babi mati ataupun sakit. Gendo termasuk anggota tim yang dikirim Departemen Kesehatan untuk meneliti wabah tersebut awal Agustus. Sepulangnya dari pedalaman Irian itu, tim memboyong contoh darah, nanah, dan tulang korban untuk diperiksa. Balai Penelitian Penyakit Hewan di Bogor masih memeriksanya. Syamsudin dari balai itu menyebutkan hasil pemeriksaan akan selesai awal September ini. Namun G. Hartono, dari Direktorat Jenderal P3M, Departemen Kesehatan, sudah bisa memastikan penyakit yang melanda Paniai itu sebagai anthrax. Menurut dia, ini bisa disimpulkan dari gejala kejang dan pendarahan sebelum penderita sekarat dan meninggal. Buat Indonesia penyakit ini untuk pertama kali ditemukan di Telukbetung (Lampung) setahun setelah Krakatau meletus. Tetapi anthrax yang tampil di Irian Jaya ini punya dimensi baru. "Sekiranya penyakit yang berjangkit di Paniai itu benar-benar anthrax, maka kejadian itu adalah yang pertama kali," ucap Gendo M. Simanjuntak. Karena menurut dia pada babi biasanya penyakit ini bersifat kronis yang bersarang di limpa. Sedangkan yang terjadi di Paniai ini akut. Darah mengalir dari berbagai liang, seperti mulut, telinga, dan dubur. Selain karena memakan daging yang tercemar anthrax, manusia juga bisa terjangkit melalui sentuhan terhadap binatang. Basil penyakitnya tidak tahan oksigen. Namun punya kemampuan berubah bentuk, membalut dirinya dengan spora. Diantarkan udara, spora itu menyerang kian kemari. Gendo cemas benar melihat wabah di Painai itu. Kalau di Eropa ternak yang terjangkit dibunuh. Tetapi buat orang Irian babi hampir-hampir seperti binatang keramat. Untuk melakukan vaksinasi enam bulan sekali hampir musykil, karena daerahnya terpencil. Dia jua tak habis pikir daerah yang sudah dinyatakan bebas kok bisa kejangkitan. "Mungkin dibawa hewan yang didatangkan dari luar," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus