ANGKA neraca pembayaran Indonesia rupanya tidak selalu jelek. Tahun anggaran 1984-1985 baru-baru ini transaksi berjalan pada neraca pembayaran ternyata hanya defisit US$ 2.941 juta. Menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro di DPR, pekan lalu, realisasi defisit itu US$ 1.995 juta lebih rendah dari defisit transaksi berjalan yang diperkirakan pemerintah sebelumnya. Luar blasa memang turunnya defisit itu jika dibandingkan angka defisit tahun anggaran sebelumnya, yang mencapai US$ 4.711 juta. Apalagi dibandingkan dengan defisit 1982-1983 yang meroket hingga US$ 7.073 juta. Karena itu, Menteri Radius kelihatan sangat bangga dengan kecilnya defisit transaksi berjalan tadi: "Pemerintah berhasil menurunkannya. Ini berarti terdapat perkembangan sehat." Tapi Radius lalu menyebut nilai impor, yang semula diduga akan mencapai US$ 17.204 juta, realisasinya diperkirakan hanya akan berjumlah US$ 15.379 juta. Rendahnya perkiraan nilai impor itu diakuinya berkaitan erat dengan menurunnya impor barang modal dan peralatan untuk kegiatan eksplorasi minyak, serta impor dalam rangka bantuan proyek. Tentu tidak semua kalangan beranggapan, penurunan impor imi merupakan indikasi sehat, apalagi bila diingat bahwa kebanyakan, industri di sini hakikatnya - merupakan industri yang. bergantung pada bahan baku - dan penolong impor. Dr. Anwar Nasution. ahli moneter dari UI, misalnya, menyebut penurunan defisit itu belum bisa dikatakan berhasil. "Sebab, kalau banyak sekali proyek yang impor barang modalnya turun, itu berbahaya nantinya. Karena kemampuan kita berproduksi akan merosot," katanya. Dalam jangka pendek, dugaan itu tentu belum bisa dilihat akibatnya. Hanya di sektor minyak, menurunnya kegiatan eksplorasi (karena harga minyak kurang menarik) menyebabkan biaya yang ditanamkan di sektor ini turun tajam. Pada tahun 1983, saat harga patokan minyak OPEC sudah mulai turun dari US$ 34 jadi US$ 29 per barel pengeluaran kontraktor bagi hasil (KBH) untuk eksplorasi masih US$ 1.067 juta. Tahun berikutnya, di tengah banjir minyak, pengeluaran untuk eksplorasi itu turun jadi US$ 927 juta. Mungkin saja, penurunan itu juga berkaitan dengan keharusan para KBH memakai lebih banyak barang dan jasa lokal. Tapi, boleh jadi pula, penurunan itu merupakan indikasi bahwa penanaman modal di sektor minyak kini mulai jadi tak menarik. Bagaimana 1985? Menurut A.R. Ramly, direktur utama Pertamina, tahun ini biaya eksplorasi itu diperkirakan hanya US$ 873 juta. Masa emas minyak memang telah lewat. Dan pengaruh menurunnya penerimaan pemerintah dari sektor ini, ternyata, luar biasa. Sejumlah sektor industri modern banyak yang menciutkan usahanya atau paling tidak puluhan ribu buruh kehilangan pekerjaan dari sektor industri mobil, motor, sampai rokok putih. Akibatnya bisa ditebak: impor mesin-mesin dan suku cadangnya tahun lalu, misalnya, cuma US$ 1.242 juta (1983 masih US$ 1.570 juta). Tapi James W. Castle, penasihat teknis dari Business Advisory Indonesia, melihat merosotnya impor sebagian barang modal dan bahan penolong itu merupakan akibat semakin banyaknya barang lokal digunakan. Di samping itu, tentu, karena pemerintah sendiri juga melakukan usaha pembatasan seperti yang dilakukan dalam mengendalikan impor produk-produk baja. Sebagian pendapat Castle itu benar. Hanya, jika dilihat !ebih dalam, sesungguhnya Industri lokal yang berorientasi pada pasar dalam negeri kini benar-benar sedang mabuk. Salah satu buktinya: setoran Pajak Penghasilan perorangan dan badan 1984-1985 itu diperkirakan hanya akan meliputi Rp 2.121 milyar, jauh dari sasaran yang Rp 2.451 milyar. Juga belum ada yang berani memastikan apakah nilai dan volume barang ekspor dari sini akan naik tajam sesudah pemerintah berusaha memperlancar pengirlman arus barang dengan sejumlah peraturan radikal belum lama ini. Sekalipun Inpres No. 4 tahun 1985 itu bakal besar sekali pengaruhnya di sektor perdagangan usaha liberalisasi itu belum jelas benar bentuknya. "Di situ misalnya masih ada kuota, dan penunjukan importir tertentu untuk mengimpor barang,"ujar Anwar Nasution. Usaha paling pol itu tampaknya harus dilakukan supaya devisa dari hasil ekspor tidak dimakan untuk membayar transaksi jasa-jasa yang besar. Suka atau tidak suka, utang jangka pendek (kredit ekspor) badan usaha negara perlu dikendalikan, agar beban pembayaran bunganya lebih ringan nantinya. "Banyak departemen biasanya buru-buru minta proyeknya segera dibiayai bila mengetahui neraca pembayaran pemerintah membaik," ujar seorang pejabat tinggi Departemen Keuangan. Eddy Herwanto Laporan Bambang Harymurti dan Yulia S. Madjid (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini