KALAU burung boleh terbang liar di angkasa, pesawat terbang
tidak. Setiap pesawat harus menghiraukan apa kata petugas Air
Traffic Controller (ATC) -- yang bertanggung jawab atas
lalu-lintas di angkasa. Sedikit keteledoran bisa berakibat
fatal. Tubrukan di udara atau jotosan pesawat di landasan -- ini
bisa menelan banyak nyawa.
Di tahun 1950-an ada istilah "adu jangkrik" di kalangan petugas
ATC Kemayoran, Jakarta. "Itu kalau kita bisa mendaratkan dua
pesawat dalam tempo satu menit, atau tiga pesawat dalam dua
menit," kata Hadi Utoro (48 tahun) yang kini menjadi Kepala
Lapangan Udara Polonia Medan. Ini tentu berbahaya. "Terlalu
riskan, tetapi adu jangkrik ketika itu jadi kebanggan petugas
ATC di situ. Makin banyak pesawat mau mendarat, kita makin
senang, karena bisa menunjukkan kelihaian," tutur Hadi Utoro
mengenangkan masa-masa dinasnya di Kemayoran. Tapi tentunya
tidak lagi terjadi sekarang, karena lalu lintas sudah lebih
sibuk dan dengan pesawat-pesawat besar.
ATC terbagi atas Menara Pengawas, Approach Control Centre
(APP) dan Air Control Center (ACC). Yang pertama,
bertanggungjawab atas pesawat yang akan berangkat dan akan
mendarat sebatas pandangan mata. APP bertanggungjawab terhadap
pesawat yang tidak dapat ditangkap oleh mata, sampai ketinggian
15.000 kaki. Lebih tinggi dari itu menjadi urusan ACC -- yang
juga bertanggungjawab terhadap setiap pesawat yang memasuki
daerah Indonesia. Di daerah-daerah nama jabatan itu
berbeda-beda. Di Lapangan Udara Juanda (Surabaya) disebut
Aerodiom Control Service, di Denpasar Air Traffic Control.
Petugas (ATC) membutuhkan konsentrasi penuh yang cukup
melelahkan. Karena alasan itu barangkali mereka hanya bertugas
selama 6 jam satu hari. Diadakan pengaturan sedemikian rupa
sehingga kalau seorang petugas telah dinas pagi, esoknya ia
dapat giliran siang. Kalau dapat tugas malam, esoknya memperoleh
libur 2 hari istirahat. Sering diadakan fam-flight yaitu
penerbangan bersama ACC, APP dan pilot, supaya ada saling
pengertian. "Pilot, bila telah melihat kesibukan ACC maupun APP,
akan maklum bila terjadi kesalahan," kata Alex Kismoyo salah
seorang petugas ACC di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta.
Kantor ACC Kemayoran cukup luas, berisi 3 meja lengkap dengan
radar, peralatan pengawas yang cukup modern dan beberapa
telepon yang dapat berhubungan langsung dengan pelabuhan
Singapura, Palembang, Semarang, Ujung Pandang dan beberapa
pelabuhan lain. Telepon itu juga berhubungan langsung dengan
pilot dalam pesawat. Ada 4 telex penerima dan sebuah telex
pengirim. Ruangan disejuki oleh AC dan nyaman.
Di ACC Kemayoran itu, meja yang dilengkapi radar masing-masing
mengawasi satu area yaitu sektor barat, sektor selatan dan
sektor terminal. Sektor terminallah yang paling sibuk. Karena
konsentrasi diperlukan secara maksimal untuk mengendalikan
pesawat-pesawat yang ada di arealnya. Kadang-kadang dalam waktu
yang sama seorang petugas harus dapat mengendalikan lebih dari
20 pesawat. Si petugas dapat pula terlibat sedemikian rupa
sehingga tak mengetahui apa yang terjadi di belakangnya. "Dalam
keadaan tersebut jangan heran bila telepon dibanting habis
dipakai," kata Ratri Purnomo (28 tahun), seorang petugas ACC
Kemayoran.
Ratri telah menjalankan tugasnya selama 6 tahun. Ia membanggakan
tugasnya itu sebagai kerja yang menuntut kemampuan untuk
mengolah masalah secara cepat dan menyimpulkannya dengan jitu
-- untuk kepentingan para pilot. "Pekerjaan ini penuh
ketegangan, seni improvisasi, karena itu sangat mengasyikkan.
Tidak semua orang bisa melakukan pekerjaan semacam ini," ujarnya
dengan bangga.
Selama bertugas, lelaki kelahiran Yogya yang kini masih kuliah
di Fakultas Psikologi UI ini, pernah membuat kesalahan. Waktu
itu seorang rekannya tidak hadir, sehingga ia harus mengawasi
radar terminal maupun radar selatan. Karena perhatiannya pecah,
hampir saja terjadi tabrakan. Untung pada saat yang tepat
seorang senior lainnya muncul, menghindarkan malapetaka
tersebut. Yang berhak mempergunakan radar adalah petugas senior
yang telah memiliki radar lisence. "Setelah kejadian itu selesai
rasanya lemas dan badan penuh keringat. Tetapi petugas ACC tidak
ada yang tidak pernah melakukan kesalahan," kata Ratri.
Meskipun bangga pada pekerjaannya, Ratri masih kecewa pada
gajinya. Gaji pokoknya sebagai pegawai negeri golongan B sebesar
Rp 30 ribu. Ditambah berbagai tunjangan dan setelah dikurangi
dengan pajak dan asuransi, ia terima bersih Rp 60 ribu setiap
bulan. "Kita belum puas, sebab tidak sesuai dengan tanggung
jawab yang kita pikul," katanya menjelaskan. Tetapi ia menyadari
rupanya sistem gaji di Indonesia memang hanya memperhatikan
tingkatan pendidikan saja bukan tanggungjawab.
Alex Kismoyo (26 tahun) rekan Ratri juga mengeluh. "Penghasilan
yang kita peroleh, belum sesuai dengan tanggungjawab kita,
kadang-kadang gaji kita sama dengan gaji tukang sapu Kemayoran
yang telah bekerja bertahun-tahun. Jadi keahlian kita belum
dihargai," ujarnya. Ia melukiskan bahwa pekerjaannya seringkali
diganggu oleh hal itu.
Sekali peristiwa, sebuah pesawat memasuki wilayah udara
Indonesia tanpa melapor lebih dahulu. Alex yang sedang sibuk
memperhatikan kedatangan sebuah pesawat tiba-tiba tercengang
melihat kedua pesawat telah bertemu di atas radar. Ia jadi
panik, tidak bisa berbuat apa-apa kecuali berteriak-teriak:
"Bagaimana nih, saya tidak sanggup!" Untung ada senior yang
sedang istirahat dan kemudian mengambil alih, sehingga tabrakan
bisa dihindarkan. Padahal beberapa menit saja terlambat tubrukan
di udara pasti terjadi.
Approacb Control Center (APP) ada di tingkat 3 menara pengawas
Lapangan Udara Internasional Halim Perdanakusuma. Dalam ruangan
itu bertugas 5 karyawan. Dalam keadaan cuaca buruk, APP
menggantikan kedudukan menara pengawas dan memimpin pesawat
untuk landing atau take off: "Pada saat-saat ramai kita
berhati-hati, bila hanya 2 atau 3 pesawat justru kadang-kadang
meleng," kata seorang petugas yang bernama Bambang kepada TEMPO.
Soal gaji nampaknya juga menjadi persoalan petugas APP.
"Pokoknya gaji kita hanya cukup untuk makan saja," kata Gino
Purwanto, yang telah bekerja 9 tahun. Namun menurut Bambang,
tugasnya cukup mengasyikkan. "Enaknya bila pulang tidak ada
pikiran tentang pekerjaan, karena tidak perlu membuat tugas atau
menyiapkan bahan untuk keesokan harinya. Pekerjaan ini tidak
mungkin membuat kita berdosa, karena tidak mungkin melakukan
korupsi," katanya sambil tertawa lebar.
"Kadangkala terjadi pertengkaran antara petugas APP dengan
petugas menara, karena APP ingin agar pesawat yang satu mendarat
lebih dulu dan kami ingin pesawat yang lain take off," kata
Tadius, di menara pengawas di Halim. Tetapi itu soal biasa. Di
musim haji, ia harus kerja keras sebab pesawat setiap waktu
mendarat atau tinggal landas. Untunglah kamar kerjanya yang
berbentuk lingkaran setinggi sekitar 35 meter dengan 3 "meja"
(satu untuk senior dan 2 junior) tidak membosankan. Cukup waktu
untuk ngobrol atau menyanyi-nyanyi kecil. Kesempatan di masa
depan pun lumayan, karena setelah beberapa tahun menjadi senior
ia akan dididik lagi untuk menjadi pengawas APP.
"Kami sangat senang pada pekerjaan ADC (menara pengawas), sebab
kami adalah sutradara di belakang layar," kata Bambang Purwono
(33 tahun), senior ADC (Aerodrom Control Service) di Lapangan
Udara AL Juanda (Surabaya). Ia sudah bertugas selama 14 tahun.
Di tahun 1968, lelaki kelahiran Wonosobo yang sudah berputra dua
ini mengalami peristiwa yang mendebarkan. Saat itu sudah sekitar
pukul 19.00 WIB. Petugas menara sudah pulang semua, karena
jadwal penerbangan sudah habis. Tiba-tiba ia mendengar deru
pesawat dan lampu kelap-kelip di atas Kota Surabaya. Menjauh
mendekat selama 3 kali. Bambang tergugah, ia lari ke menara
pengawas. Ia memperoleh keterangan bahwa AL dan AU tidak sedang
mengadakan latihan. Lalu ia mencoba menyalakan lampu hijau dan
kuning, sebagai tanda bahwa di tempat itu ada lapangan udara.
Tidak diduga kemudian pesawat itu mengharnpiri, berputar-putar,
dan akhirnya mendarat atas bimbingannya.
Ternyata pesawat tersebut adalah Beecheraft King Air N 890 K,
milik Amerika Serikat dalam perjalahan Jakarta-Denpasar. Rupanya
Lapangan Ngurah Rai sudah tutup. Ia bermaksud kembali ke
Jakarta, tetapi lampu-lampu di Taman Hiburan Rakyat (THR) telah
disangkanya -- lapangan udara. Sementara bahan bakar sudah
menipis, tidak mungkin lagi ke Jakarta. Kalau tidak ada Bambang,
sudah pasti akan mengadakan pendaratan darurat. "Kejadian itulah
yang paling berkesan dalam karier saya sebagai petugas kontrol,"
kata lelaki itu mengenangkan.
Pahlawan Tak Dikenal
Pengalaman yang menjengkelkan juga banyak. Terutama kalau ada
pilot yang bandel, jadwal jadi rusak. Diakuinya yang
kadang-kadang suka bandel adalah pilot ABRI. Bayangkan, sudah
diatur secermat mungkin, tahu-tahu nyelonong mendarat atau
berangkat tanpa menghiraukan instruksi. Kemacetan sarana
penghubung juga mendongkolkan. Juga kalau AC di ruangan kontrol
mati, para petugas akan merasa seperti dipanggang. Gaji Dengan
pangkat pegawai sipil golongan IIC ia hanya mendapat Rp 40 ribu
plus insentif Rp 5 ribu setiap bulan. Toh ia mencintai
pekerjaan, terutama karena ada rasa kebanggaan. Seperti kata
Tuti Murseni (36 tahun) Pelda Kowal yang menjabat Kepala Urusan
ADC selama 15 tahun. "Dari 20 orang yang dites waktu masuk dulu,
yang diterima hanya 10 orang, itu merupakan prestasi bagi saya,"
kata Tuti.
Cholid (35 tahun), petugas Air Traffic Control di Lapangan Udara
Ngurah Rai, Denpasar, mengatakan bahwa tugasnya lebih penting
dari tugas pilot. Pendidikan pun sama dengan pendidikan pilot.
Kalau pilot Garuda mogok, orang-orang masih bisa bepergian
dengan pesawat lain. Tapi kalau polisi lalu-lintas udara mogok,
penerbangan akan macet, tidak satu pesawat pun yang bisa tinggal
landas atau berlabuh. Maka ia berani mengibaratkan pekerjaannya
sebagai "pahlawan tak dikenal".
Paling Aman
Justru karena tanggung jawabnya itu ia menjadi betah. "Polisi
udara swasta kan tidak ada," ujarnya. Ia bangga apabila petunjuk
yang diberikannya dituruti oleh pilot. Selama 12 tahun bekerja
ia jarang berhadapan dengan cuaca buruk di Lapangan Ngurah Rai.
Kalaupun terjadi, tidak berlangsung lama. Apalagi peralatan di
Ngurah Rai terbilang lengkap. Terutama yang bernama Instrumen
Landing System. Ia berani mengatakan bahwa Pelabuhan Ngurah Rai
paling aman dibanding pelabuhan-pelabuhan udara lainnya.
Made Gargita (32 tahun) yang sudah 8 tahun menjadi petugas Air
Traffic Control di Ngurah Rai menceritakan bagaimana kecelakaan
pesawat di Gunung Lingkar (dekat Surabaya) baru-baru ini
terjadi. Hal itu karena pilot tidak melaporkan posisinya di atas
laut. Menara di Ngurah Rai sebenarnya bisa menuntun sesuai
dengan informasi yang diberikan pilot. Tapi rupanya informasi
pilot itu salah. Posisi sebenarnya ada di atas gunung. Semua
percakapan pilot dengan petugas pengawas di bawah direkam oleh
Black Box. Seandainya terjadi kecelakaan dapat diteliti siapa
sebenarnya yang salah.
Sujito (39 tahun), juga seorang petugas di Ngurah Rai,
mengatakan sejak alat pengaman di Surabaya dipindahkan ke Ngurah
Rai, pekerjaan jadi bertumpuk. Sebab dengan begitu semua pesawat
dari dan ke Surabaya harus diatur dari Ngurah Rai. Belum lagi
mengatur pesawat yang numpang lewat di kota buaya itu. Tapi ini
memang sudah merupakan tugas dari seorang "pahlawan tak
dikenal". Ia hanya menyayangkan, setelah tugas berat, masih ada
tugas lain lagi -- yakni harus mengurus kenaikan pangkat
sendiri. Ia mengeluh bahwa gaji kecil, tugas berat, tanggungj
awab paling besar. "Bayangkan berapa nyawa harus diselamatkan,"
ujarnya. Sujito mengatakan bahwa perbandingan gaji antara
petugas ATC dengan pilot adalah 1 : 15. Padahal tanggungjawab
sama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini