KUSNI KASDUT
Oleh: Parakitri
Penerbit: P.T. Gramedia, Jakarta, 1979, 318 halaman, 18 x 11 cm.
REVOLUSI meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem
nilai baru. Revolusi yang sungguh-sungguh serba besar penuh
kepahlawanan dan diliputi romantik. Hanya sedikit orang merenung
mempertanyakan segala sesuatu dalam revolusi itu. Kebanyakan
bertindak, larut tanpa bentuk di dalamnya dan menggagau-gagau
mencari identitas yang terus terlepas. Seorang di antara pencari
itu adalah Kusni, yang kemudian meng-Kasdut-kan dirinya.
Revolusi pun menyusun kembali antar hubungan para pesertanya,
menurut pola demokratik menuju persamaan martabat. Seorang anak
kaum miskin, seperti almarhum Mayor Dullah dari Surabaya (yang
gugur di Ambon ketika menumpas RMS), dapat beristrikan seorang
gadis tamatan HBS lima tahun. Di dalam tataan sosial
pra-revolusi jelas itu mustahil.
Demikian pula Kusni, seorang anak yatim keluarga petani miskin.
Tanpa revolusi, mustahil dia dapat beristrikan seorang gadis
Indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan
sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih (Parakitri menulisnya
Eddy Ningsih). Padahal golongan Indo pra-revolusi hanya berada
sedikit di bawah puncak piramid sosial -- yang diduduki kaum
Belanda totok.
Penjara
Tapi Kusni masih tetap mengidap trauma asal sosialnya yang
terpijak-pijak: kelahirannya yang separuh sah dan kemiskinan
keluarganya yang menghantuinya terus. Tak pelak lagi kompleks
rendah diri merupakan warisan kelahirannya. Keberhasilannya
selama bergejolaknya revolusi menekan kompleks tersebut. Sesudah
revolusi kompleks itu menyembul lagi ke permukaan.
Sementara itu Kusni mencintai, mengagumi, bakan memuja
Edhiningsih. Itu melahirkan keinginan memanjakan istri tersebut.
Malangnya ia ditolak masuk TNI. Pertama, karena tak resmi
terdaftar dalam salah satu kesatuan. Kedua, cacat pada kaki
kirinya, akibat tembakan Belanda.
Dengan kegagalan itu dan kegagalan mencari pekerjaan yang
sepadan dengan martabatnya yang baru, terbentuklah rasa telah
diperlakukan tak adil. Seperti ampas tebu yang dicampakkan ke
keranjang sampah setelah manisnya habis disesap. Ini menimbulkan
obsesi untuk merebut sendiri keadilan dengan sepucuk pistol di
tangan, untuk membenarkan diri memperoleh reeki yang tak halal.
Terlebih lagi baginya membiarkan istri dan anak terlantar,
melukai rasa kehormatannya, dan memperdalam rasa rendah dirinya.
Demikianlah kegagalan sosial ekonomi dan keterdamparan
psikologi telah mengantarnya memasuki dunia hitam.
Dan sebetulnya ia tak sendiri. Masih banyak Kusni-kusni lain.
Seorang di antaranya Bir Ali yang tertembak pada pertengahan
tahun 60-an. Semasa revolusi mereka ditugaskan melakukan
hal-hal, yang waktu itu, dianggap perbuatan kepahlawanan. Tapi
selewat revolusi terpaksa dinilai kembali sebagai tindak pidana.
Cerita duka demikian memang bisa didengar di mana pun -- setelah
sebuah revolusi usai. Memang revolusi merupakan
penjungkir-balikan segala nilai.
Dan Kusni? Dengan segala keramahan Usman, Mulyadi dan Abu Bakar
mengundangnya masuk, bahkan memberikan posisi memimpin
kepadanya. Kebetulan, ia memang dilahirkan dengan garisah
(instink) memimpin. Dan seperti buah terlarang, hal itu memang
manis dan membuat ketagihan. Seperti pula seorang morfinis Kusni
tak dapat berhenti. Jeweran kuping seorang yang dikasihi dan
dihormatinya, Subagio pun tak mempan.
Pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi, membuatnya
memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan yang sah.
Hanya untuk menghindari penangkapanlah ia membunuh -- kalau
menurut anggapannya telah terlalu terpaksa. Ia bukan seorang
pembunuh pathologik seperti Eddie Sampak dari Cianjur. Ia tak
pernah terperosok ke dalam homoseksulitas seperti Henky
Tupanwael. Minggatnya dari penjara, boleh dianggap karena
obsesi: kengeriannya disekap.
Sebenarnya di relung hatinya masih mengerlip seberkas cahaya.
Itu bisa dilihat dari usahanya menyelamatkan dua orang plonco
dunia kejahatan, Roi dan Yoji, dari kehancuran total. Kusni
berhasil menyelamatkan mereka. Juga, kelakuannya sebagai napi
cukup baik. Ia tak pernah berkelahi dengan sesama napi, dan
kalau tak terpaksa tak pernah melawan petugas.
Dan buku tentang Kusni ini telah ditulis Parakitri dengan
sentuhan ajaib. Ia telah menulis suatu roman kehidupan yang
baik. Berpegang pada fakta hingga detil-detilnya -- sejauh itu
dapat ditelusuri kembali -- sekaligus memberikan daya-citra pada
hal-hal yang gelap -- dalam kerangka konsistensi logika dan
psikologi, tentu.
Dapat diduga, dalam beberapa kali wawancaranya, mustahil
Parakitri dapat dengan tuntas menguras segala detik kehidupan
tokohnya. Karena itu darinya diminta kekuatan citra. Sebab,
betapa pun roman itu tanggungjawab terakhir ada pada Parakitri
-- bukan Kusni. Dan Parakitri berhasil bukan saja menyajikan
roman yang lancar gaya bahasa dan jalan kisahnya, melainkan juga
gigantik, kepahlawanan dan romantik revolusi. Menghindari
kronologi yang mengundang kejemuan, penulis menggunakan teknik
kilas balik (flash backs) cukup hidup.
Dewi Justitia
Barangkali buku Parakitri ini memberikan snapshots revolusi yang
lebih cermat-realistik, dibanding Surabaya-nya Idroes. Tapi
kedua buku itu memang lahir di zaman yang berbeda.
Agaknya Dewi Justitia (dewi keadilan) yang menggiurkan itu
sekali-sekali perlu minta sesajen. Dan Kusni dituntut sebagai
sesajen oleh Sang Dewi Hukuman seumur hidup terlalu ringan
bagi seorang napi kaliber Kusni. Apakah setelah Kusni ditembak
masyarakat menjadi lebih baik dan lebih aman, itu soal lain.
Menjelang akhir tahun 1949 saya mondar-mandir dari pangkalan
saya di Kawi Selatan ke Kota Malang. Operasi gerilya terpaksa
diteruskan di kota-kota pendudukan, setelah gencatan senjata
selalu dilanggar Belanda. Ketika itu saya sempat bertemu dua
atau tiga kali dengan Kusni -- ketika itu lebih dikenal sebagai
Si Kancil. Ia memang dikenal berani dan banyak akal.
Setelah awal 1950 Kusni tak terdengar lagi beritanya, sampai ia
menjadi berita dalam peristiwa pembunuhan Ali Badjened -- saya
lihat potretnya terpacak di surat kabar. Kesan saya ketika
bertemu di masa perjuangan dulu itu ia seorang pemuda yang
simpatik, ramah, tapi sangat pendiam. Ia seorang anak revolusi
yang baik ketika itu. Menyedihkan, sang Ibu tak membekalinya
dengan japamantra kekebalan, hingga ia terjerumus dalam sisi
yang gelap.
Betapa pun catatan kejahatannya, almarhum Kusni lebih saya
hormati ketimbang tuan-tuan Quisling yang kini menikmati buah
manis. Memang sejarah penuh ironi!
S.I. Poeradisastra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini