Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

Roman kehidupan kusni kasdut

Pengarang: parakitri (tahi simbolon) jakarta: gramedia, 1979 resensi oleh: s.i. poeradisastra. (bk)

8 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KUSNI KASDUT Oleh: Parakitri Penerbit: P.T. Gramedia, Jakarta, 1979, 318 halaman, 18 x 11 cm. REVOLUSI meruntuhkan sistem nilai lama dan menyusun sistem nilai baru. Revolusi yang sungguh-sungguh serba besar penuh kepahlawanan dan diliputi romantik. Hanya sedikit orang merenung mempertanyakan segala sesuatu dalam revolusi itu. Kebanyakan bertindak, larut tanpa bentuk di dalamnya dan menggagau-gagau mencari identitas yang terus terlepas. Seorang di antara pencari itu adalah Kusni, yang kemudian meng-Kasdut-kan dirinya. Revolusi pun menyusun kembali antar hubungan para pesertanya, menurut pola demokratik menuju persamaan martabat. Seorang anak kaum miskin, seperti almarhum Mayor Dullah dari Surabaya (yang gugur di Ambon ketika menumpas RMS), dapat beristrikan seorang gadis tamatan HBS lima tahun. Di dalam tataan sosial pra-revolusi jelas itu mustahil. Demikian pula Kusni, seorang anak yatim keluarga petani miskin. Tanpa revolusi, mustahil dia dapat beristrikan seorang gadis Indo dari keluarga menengah, sekali pun telah diindonesiakan sebagai Sri Sumarah Rahayu Edhiningsih (Parakitri menulisnya Eddy Ningsih). Padahal golongan Indo pra-revolusi hanya berada sedikit di bawah puncak piramid sosial -- yang diduduki kaum Belanda totok. Penjara Tapi Kusni masih tetap mengidap trauma asal sosialnya yang terpijak-pijak: kelahirannya yang separuh sah dan kemiskinan keluarganya yang menghantuinya terus. Tak pelak lagi kompleks rendah diri merupakan warisan kelahirannya. Keberhasilannya selama bergejolaknya revolusi menekan kompleks tersebut. Sesudah revolusi kompleks itu menyembul lagi ke permukaan. Sementara itu Kusni mencintai, mengagumi, bakan memuja Edhiningsih. Itu melahirkan keinginan memanjakan istri tersebut. Malangnya ia ditolak masuk TNI. Pertama, karena tak resmi terdaftar dalam salah satu kesatuan. Kedua, cacat pada kaki kirinya, akibat tembakan Belanda. Dengan kegagalan itu dan kegagalan mencari pekerjaan yang sepadan dengan martabatnya yang baru, terbentuklah rasa telah diperlakukan tak adil. Seperti ampas tebu yang dicampakkan ke keranjang sampah setelah manisnya habis disesap. Ini menimbulkan obsesi untuk merebut sendiri keadilan dengan sepucuk pistol di tangan, untuk membenarkan diri memperoleh reeki yang tak halal. Terlebih lagi baginya membiarkan istri dan anak terlantar, melukai rasa kehormatannya, dan memperdalam rasa rendah dirinya. Demikianlah kegagalan sosial ekonomi dan keterdamparan psikologi telah mengantarnya memasuki dunia hitam. Dan sebetulnya ia tak sendiri. Masih banyak Kusni-kusni lain. Seorang di antaranya Bir Ali yang tertembak pada pertengahan tahun 60-an. Semasa revolusi mereka ditugaskan melakukan hal-hal, yang waktu itu, dianggap perbuatan kepahlawanan. Tapi selewat revolusi terpaksa dinilai kembali sebagai tindak pidana. Cerita duka demikian memang bisa didengar di mana pun -- setelah sebuah revolusi usai. Memang revolusi merupakan penjungkir-balikan segala nilai. Dan Kusni? Dengan segala keramahan Usman, Mulyadi dan Abu Bakar mengundangnya masuk, bahkan memberikan posisi memimpin kepadanya. Kebetulan, ia memang dilahirkan dengan garisah (instink) memimpin. Dan seperti buah terlarang, hal itu memang manis dan membuat ketagihan. Seperti pula seorang morfinis Kusni tak dapat berhenti. Jeweran kuping seorang yang dikasihi dan dihormatinya, Subagio pun tak mempan. Pengalaman tertangkap Belanda semasa revolusi, membuatnya memandang penjara sebagai lembaga tempat penyiksaan yang sah. Hanya untuk menghindari penangkapanlah ia membunuh -- kalau menurut anggapannya telah terlalu terpaksa. Ia bukan seorang pembunuh pathologik seperti Eddie Sampak dari Cianjur. Ia tak pernah terperosok ke dalam homoseksulitas seperti Henky Tupanwael. Minggatnya dari penjara, boleh dianggap karena obsesi: kengeriannya disekap. Sebenarnya di relung hatinya masih mengerlip seberkas cahaya. Itu bisa dilihat dari usahanya menyelamatkan dua orang plonco dunia kejahatan, Roi dan Yoji, dari kehancuran total. Kusni berhasil menyelamatkan mereka. Juga, kelakuannya sebagai napi cukup baik. Ia tak pernah berkelahi dengan sesama napi, dan kalau tak terpaksa tak pernah melawan petugas. Dan buku tentang Kusni ini telah ditulis Parakitri dengan sentuhan ajaib. Ia telah menulis suatu roman kehidupan yang baik. Berpegang pada fakta hingga detil-detilnya -- sejauh itu dapat ditelusuri kembali -- sekaligus memberikan daya-citra pada hal-hal yang gelap -- dalam kerangka konsistensi logika dan psikologi, tentu. Dapat diduga, dalam beberapa kali wawancaranya, mustahil Parakitri dapat dengan tuntas menguras segala detik kehidupan tokohnya. Karena itu darinya diminta kekuatan citra. Sebab, betapa pun roman itu tanggungjawab terakhir ada pada Parakitri -- bukan Kusni. Dan Parakitri berhasil bukan saja menyajikan roman yang lancar gaya bahasa dan jalan kisahnya, melainkan juga gigantik, kepahlawanan dan romantik revolusi. Menghindari kronologi yang mengundang kejemuan, penulis menggunakan teknik kilas balik (flash backs) cukup hidup. Dewi Justitia Barangkali buku Parakitri ini memberikan snapshots revolusi yang lebih cermat-realistik, dibanding Surabaya-nya Idroes. Tapi kedua buku itu memang lahir di zaman yang berbeda. Agaknya Dewi Justitia (dewi keadilan) yang menggiurkan itu sekali-sekali perlu minta sesajen. Dan Kusni dituntut sebagai sesajen oleh Sang Dewi Hukuman seumur hidup terlalu ringan bagi seorang napi kaliber Kusni. Apakah setelah Kusni ditembak masyarakat menjadi lebih baik dan lebih aman, itu soal lain. Menjelang akhir tahun 1949 saya mondar-mandir dari pangkalan saya di Kawi Selatan ke Kota Malang. Operasi gerilya terpaksa diteruskan di kota-kota pendudukan, setelah gencatan senjata selalu dilanggar Belanda. Ketika itu saya sempat bertemu dua atau tiga kali dengan Kusni -- ketika itu lebih dikenal sebagai Si Kancil. Ia memang dikenal berani dan banyak akal. Setelah awal 1950 Kusni tak terdengar lagi beritanya, sampai ia menjadi berita dalam peristiwa pembunuhan Ali Badjened -- saya lihat potretnya terpacak di surat kabar. Kesan saya ketika bertemu di masa perjuangan dulu itu ia seorang pemuda yang simpatik, ramah, tapi sangat pendiam. Ia seorang anak revolusi yang baik ketika itu. Menyedihkan, sang Ibu tak membekalinya dengan japamantra kekebalan, hingga ia terjerumus dalam sisi yang gelap. Betapa pun catatan kejahatannya, almarhum Kusni lebih saya hormati ketimbang tuan-tuan Quisling yang kini menikmati buah manis. Memang sejarah penuh ironi! S.I. Poeradisastra

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus