ZATNYA belum jelas tapi khasiatnya bisa nyata. Begitulah
gambaran jamu menurut orang yang mempergunakannya. Bahan obat
yang digunakan secara tradisionil ini, boleh dikatakan tak
terbatas. Di samping tanaman dan tumbuh-tumbuhan, binatang juga
digunakan, yang hidup di air maupun di darat. Meskipun tumbuhan
yang terkenal berkhasiat hanya beberapa, seperti kunyit, daun
jambu, cabe lempuyang, temulawak, kumis-kucing, saledri dan
sambiloto, tapi menurut catatan ada sekitar 1000 jenis dari
40.000 macam tumbuh-tumbuhan yang digunakan para pendahulu kita
sebagai alat untuk menangkis atau menghalau berbagai penyakit.
Mulai dari penyakit panas, menceret sampai kencing-manis.
Mahalnya harga obat-obatan modern dan ternyata ada beberapa
penyakit yang belum bisa disembuhkannya secara cespleng,
berbagai fihak sudah sejak lama beranggapan tiba saatnya untuk
meneliti isi dan khasiat obat-obatan yang diwarisi nenek-moyang
itu. Departemen Kesehatan terutama yang diharapkan untuk
mengerjakan pekerjaan tersebut, karena dialah yang punya modal
dan peralatan, di samping memang tugas pemerintah untuk
melindungi dan mempertinggi mutu kesehatan masyarakat. Namun
sampai sekarang belum terdengar adanya usaha nyata ke arah itu.
Niat untuk memperdalam pengetahuan mengenai obat tradisionil ini
menyala terus. Di Semarang dari tanggal 9 sampai 11 Desember
yang lalu untuk pertama kali diselenggarakan Simposium Obat
Tradisionil, yang diorganisir Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro. Utusan dari berbagai daerah
berdatangan, lebih dari 200 orang dan sekitar 50 pembicara maju
ke mimbar memperdengarkan hasil penelitian dan pandangan mereka
mengenai berbagai macam jamu, termasuk tumbuh-tumbuhan yang
tidak dikenal sebagai bahan obat tradisionil. Sayang bahwa
meskipun pokok pembicaraan mengenai obat tradisionil, tak
seorang pun ahli jamu ataupun para peracik jamu diundang untuk
bicara dalam pertemuan di Hotel Siranda, hotel termewah di kota
Semarang itu. Dokter dan para ahli farmasi saja yang
berkesempatan di situ. Memang ada pembicara dari pabrik jamu
"Air Mancur", tapi dia hanya mengungkapkan pemeriksaan mutu jamu
buatannya dan kebetulan pabrik jamu ini jadi sponsor dari
simposium. Lagi pula para pembicara kebanyakan adalah
dokter-dokter atau ahli farmasi yang muda-muda, yang tampaknya
belum begitu tertarik membahas jenis obat ini.
Masuknya kertas kerja untuk pertemuan ini nampaknya tidak
melalui seleksi, hingga dr Rudi Syarief Sumadilaga, salah
seorang pimpinan sidang, mengutarakan perlunya sebuah pertemuan
susulan untuk membicarakan bagaimana metode yang semestinya
kalau membuat kertas kerja. Termasuk caracara yang tepat dalam
melakukan percobaan klinis. Sebab katanya simposium seperti itu
sedapat mungkin akan diadakan lagi dalam waktu mendatang. Memang
ada pembicara yang hanya mengutip buku-buku yang pernah memuat
daftar tumbuhan yang dikatakan bisa menyebuhkan penyakit
ini-itu. Tapi ini kemudian mendapat sanggahan dari pembicara
lain, "supaya saudara pembicara hati-hati untuk mengatakan
sesuatu bahan tumbuhan bisa menyembuhkan, tanpa melalui sesuatu
percobaan". Sementara yang lain ada pula membuat percobaan
seperti ini. Dia mau melihat pengaruh jamu-peluntur terhadap
janin. Dia mengambil telur ayam yang sudah bertunas, kemudian
dia masukkan jamu peluntur ke dalam lobang udara yang terdapat
pada ujung telur. Lantas dia paparkan hasil penelitiannya dengan
ilustrasi berbagai slide tentang matinya anak-ayam sebelum
menetas. "Dengan metode penelitian seperti itu, saya tidak bisa
mengutarakan setuju atau tidak, sebab, telur yang dikotori
dengan debu jamu tentu akan mati", kata seorang dokter.
Orang Tua Mereka
Beberapa kertas kerja yang bertolak dari hasil pengamatan dengan
angka-angka dari Bali, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara nampaknya
memang cukup menarik, sekalipun baru merupakan pekerjaan
permulaan dalam usaha mengetahui isi dan khasiat jamu. "Kucai
dipakai oleh masyarakat sebagai anticonvulsant obat kejang-panas
terutama pada anak-anak. Dan dari data-data pengamatan klinis
ternyata ada kecenderungan untuk menunjang kebenaran anggapan
masyarakat tersebut, meskipun perlu penyelidikan lanjut mengenai
khasiat tumbuhan kucai ini", urai BH Moningka dan teman-temannya
dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Ada 196 orang pasien
cilik yang jadi bahan pengamatannya. Ada yang sempat bertanya
dengan tajam kepada pembicara. "Apakah saudara sudah mencobakan
kucai itu kepada tikus percobaan sebelum menggunakannya kepada
pasien. Sebab kalau belum, ini namanya tidak etis!". Moningka
menjawab dengan pintarnya untuk orang yang rupanya kurang
menyimak pembicaraan. "Saya tidak memberikan mereka kucai, orang
tua mereka sendiri yang memberikannya", katanya. Orang riuh
tertawa.
Dari Puskesmas Kalibawang, Jawa Tengah, Soemantri mengetengahkan
penelitiannya mengenai obat kembung, penambah nafsu makan,
penurun-panas dan anti-diare. Bahan-bahan yang digunakan -
sebagaimana lazim digunakan masyarakat - antara lain kapur,
minyak kayu putih dan daun singkong. Angka-angka yang
diketengahkannya menunjukkan adanya manfaat obat tersebut.
Dari Bali dr I Gusti Ngurah Anom Murdhana melaporkan tentang
pengamatannya terhadap 19 orang penduduk di sebuah desa dekat
Denpasar. Dia mencatat bahwa obat-obatan tradisionil di situ
dipakai oleh penduduk sebagai pertolongan pertama sebelum mereka
berangkat ke Puskesmas. Tiadanya uang, misalnya membuat penduduk
lebih dulu mengatasi sendiri penyakitnya. Dari data-data yang
dikemukakan Murdhana untuk berbagai penyakit, panas misalnya,
sebagian besar (84%) bisa tertolong dengan obat asli, yang
menggunakan daun sentul, daun waluh, daun jambu, tapak kuda,
beras, akar paku, bawang merah, kunyit dan kencur.
Hampir semua pembicara yang menjadi optimis dengan kenyataan
yang mereka temukan terbentur pada soal fasilitas peralatan
dalam rangka mencari tahu zat apa gerangan yang ada dalam
sesuatu bahan jamu. Dan kalau tertumbuk pada soal ini mereka
kemudian berpaling kepada Departemen Kesehatan, sebagai lembaga
yang bisa memberikan bimbingan dan bantuan.
Meskipun hasil-hasil yang diketengahkan masih bersifat sangat
dasar, tapi hasil yang kecil ini banyak berguna dalam usaha
mempelajari jamu-jamuan. "Sebagai simposium pertama hasilnya
cukup. "Niat untuk mempelajari jamu itu saja kan sudah cukup",
komeritar Darmi Suparto, pengusaha jamu yang suka muncul di
layar TV, sepulangnya dia dari menghadiri simposium. Di Jakarta,
isteri pensiunan Brigjen Polisi Suparto ini sejak beberapa bulan
yang lalu turut membantu Bagian Penyakit Dalam RSCM untuk sebuah
proyek percobaan klinis daun sambiloto dan kumis-kucing sebagai
obat kencing manis. Ada 30 orang pasien akan diamati dalam
proyek ini. Dalam dua bulan mendatang diharapkan hasil
penelitian ini sudah dapat diketahui. Tukang jamu Darmi Suparto
menyumbangkan jamu kencing manis yang sudah dimasukkan ke dalam
kapsul untuk proyek para dokter tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini