Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Jamu: Berkhasiat Tapi Belum Jelas

Simposium obat tradisional diselenggarakan di Semarang. Diorganisir bagian Farmakologi Fak. Kedokteran Undip. perlu pedoman penyusunan kertas kerja.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ZATNYA belum jelas tapi khasiatnya bisa nyata. Begitulah gambaran jamu menurut orang yang mempergunakannya. Bahan obat yang digunakan secara tradisionil ini, boleh dikatakan tak terbatas. Di samping tanaman dan tumbuh-tumbuhan, binatang juga digunakan, yang hidup di air maupun di darat. Meskipun tumbuhan yang terkenal berkhasiat hanya beberapa, seperti kunyit, daun jambu, cabe lempuyang, temulawak, kumis-kucing, saledri dan sambiloto, tapi menurut catatan ada sekitar 1000 jenis dari 40.000 macam tumbuh-tumbuhan yang digunakan para pendahulu kita sebagai alat untuk menangkis atau menghalau berbagai penyakit. Mulai dari penyakit panas, menceret sampai kencing-manis. Mahalnya harga obat-obatan modern dan ternyata ada beberapa penyakit yang belum bisa disembuhkannya secara cespleng, berbagai fihak sudah sejak lama beranggapan tiba saatnya untuk meneliti isi dan khasiat obat-obatan yang diwarisi nenek-moyang itu. Departemen Kesehatan terutama yang diharapkan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut, karena dialah yang punya modal dan peralatan, di samping memang tugas pemerintah untuk melindungi dan mempertinggi mutu kesehatan masyarakat. Namun sampai sekarang belum terdengar adanya usaha nyata ke arah itu. Niat untuk memperdalam pengetahuan mengenai obat tradisionil ini menyala terus. Di Semarang dari tanggal 9 sampai 11 Desember yang lalu untuk pertama kali diselenggarakan Simposium Obat Tradisionil, yang diorganisir Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro. Utusan dari berbagai daerah berdatangan, lebih dari 200 orang dan sekitar 50 pembicara maju ke mimbar memperdengarkan hasil penelitian dan pandangan mereka mengenai berbagai macam jamu, termasuk tumbuh-tumbuhan yang tidak dikenal sebagai bahan obat tradisionil. Sayang bahwa meskipun pokok pembicaraan mengenai obat tradisionil, tak seorang pun ahli jamu ataupun para peracik jamu diundang untuk bicara dalam pertemuan di Hotel Siranda, hotel termewah di kota Semarang itu. Dokter dan para ahli farmasi saja yang berkesempatan di situ. Memang ada pembicara dari pabrik jamu "Air Mancur", tapi dia hanya mengungkapkan pemeriksaan mutu jamu buatannya dan kebetulan pabrik jamu ini jadi sponsor dari simposium. Lagi pula para pembicara kebanyakan adalah dokter-dokter atau ahli farmasi yang muda-muda, yang tampaknya belum begitu tertarik membahas jenis obat ini. Masuknya kertas kerja untuk pertemuan ini nampaknya tidak melalui seleksi, hingga dr Rudi Syarief Sumadilaga, salah seorang pimpinan sidang, mengutarakan perlunya sebuah pertemuan susulan untuk membicarakan bagaimana metode yang semestinya kalau membuat kertas kerja. Termasuk caracara yang tepat dalam melakukan percobaan klinis. Sebab katanya simposium seperti itu sedapat mungkin akan diadakan lagi dalam waktu mendatang. Memang ada pembicara yang hanya mengutip buku-buku yang pernah memuat daftar tumbuhan yang dikatakan bisa menyebuhkan penyakit ini-itu. Tapi ini kemudian mendapat sanggahan dari pembicara lain, "supaya saudara pembicara hati-hati untuk mengatakan sesuatu bahan tumbuhan bisa menyembuhkan, tanpa melalui sesuatu percobaan". Sementara yang lain ada pula membuat percobaan seperti ini. Dia mau melihat pengaruh jamu-peluntur terhadap janin. Dia mengambil telur ayam yang sudah bertunas, kemudian dia masukkan jamu peluntur ke dalam lobang udara yang terdapat pada ujung telur. Lantas dia paparkan hasil penelitiannya dengan ilustrasi berbagai slide tentang matinya anak-ayam sebelum menetas. "Dengan metode penelitian seperti itu, saya tidak bisa mengutarakan setuju atau tidak, sebab, telur yang dikotori dengan debu jamu tentu akan mati", kata seorang dokter. Orang Tua Mereka Beberapa kertas kerja yang bertolak dari hasil pengamatan dengan angka-angka dari Bali, Jawa Tengah dan Sulawesi Utara nampaknya memang cukup menarik, sekalipun baru merupakan pekerjaan permulaan dalam usaha mengetahui isi dan khasiat jamu. "Kucai dipakai oleh masyarakat sebagai anticonvulsant obat kejang-panas terutama pada anak-anak. Dan dari data-data pengamatan klinis ternyata ada kecenderungan untuk menunjang kebenaran anggapan masyarakat tersebut, meskipun perlu penyelidikan lanjut mengenai khasiat tumbuhan kucai ini", urai BH Moningka dan teman-temannya dari Universitas Sam Ratulangi, Manado. Ada 196 orang pasien cilik yang jadi bahan pengamatannya. Ada yang sempat bertanya dengan tajam kepada pembicara. "Apakah saudara sudah mencobakan kucai itu kepada tikus percobaan sebelum menggunakannya kepada pasien. Sebab kalau belum, ini namanya tidak etis!". Moningka menjawab dengan pintarnya untuk orang yang rupanya kurang menyimak pembicaraan. "Saya tidak memberikan mereka kucai, orang tua mereka sendiri yang memberikannya", katanya. Orang riuh tertawa. Dari Puskesmas Kalibawang, Jawa Tengah, Soemantri mengetengahkan penelitiannya mengenai obat kembung, penambah nafsu makan, penurun-panas dan anti-diare. Bahan-bahan yang digunakan - sebagaimana lazim digunakan masyarakat - antara lain kapur, minyak kayu putih dan daun singkong. Angka-angka yang diketengahkannya menunjukkan adanya manfaat obat tersebut. Dari Bali dr I Gusti Ngurah Anom Murdhana melaporkan tentang pengamatannya terhadap 19 orang penduduk di sebuah desa dekat Denpasar. Dia mencatat bahwa obat-obatan tradisionil di situ dipakai oleh penduduk sebagai pertolongan pertama sebelum mereka berangkat ke Puskesmas. Tiadanya uang, misalnya membuat penduduk lebih dulu mengatasi sendiri penyakitnya. Dari data-data yang dikemukakan Murdhana untuk berbagai penyakit, panas misalnya, sebagian besar (84%) bisa tertolong dengan obat asli, yang menggunakan daun sentul, daun waluh, daun jambu, tapak kuda, beras, akar paku, bawang merah, kunyit dan kencur. Hampir semua pembicara yang menjadi optimis dengan kenyataan yang mereka temukan terbentur pada soal fasilitas peralatan dalam rangka mencari tahu zat apa gerangan yang ada dalam sesuatu bahan jamu. Dan kalau tertumbuk pada soal ini mereka kemudian berpaling kepada Departemen Kesehatan, sebagai lembaga yang bisa memberikan bimbingan dan bantuan. Meskipun hasil-hasil yang diketengahkan masih bersifat sangat dasar, tapi hasil yang kecil ini banyak berguna dalam usaha mempelajari jamu-jamuan. "Sebagai simposium pertama hasilnya cukup. "Niat untuk mempelajari jamu itu saja kan sudah cukup", komeritar Darmi Suparto, pengusaha jamu yang suka muncul di layar TV, sepulangnya dia dari menghadiri simposium. Di Jakarta, isteri pensiunan Brigjen Polisi Suparto ini sejak beberapa bulan yang lalu turut membantu Bagian Penyakit Dalam RSCM untuk sebuah proyek percobaan klinis daun sambiloto dan kumis-kucing sebagai obat kencing manis. Ada 30 orang pasien akan diamati dalam proyek ini. Dalam dua bulan mendatang diharapkan hasil penelitian ini sudah dapat diketahui. Tukang jamu Darmi Suparto menyumbangkan jamu kencing manis yang sudah dimasukkan ke dalam kapsul untuk proyek para dokter tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus