SEBUAH VW keluan tahun 50-an masuk di jalan Surabaya Ujung
Jakarta. Siang itu hujan lebat nampaknya akan segera turun.
Pengemudi mobil itu tergopoh-gopoh turun. Ia menggamit pak Amad
(57 tahun) yang baru saja santai menikmati sebotol bir dingin.
Kap mesin dibuka dan pak Amad menghampiri. Gerak geriknya serba
tenang, yang mengisyaratkan bahwa ia ada "menyimpan" sesuatu:
paling tidak sekedar silat Betawi tentu ia punya. Tak lama
mereka bicara, pak Amad pun mafhum. "Saya tinggal dulu, be",
ujar sopir itu dan bergegas pergi meninggalkan mobilnya. Pak
Amad (anak Betawi tulen) sehari-hari memang suka disebut "Babe"
oleh orang di sekitar itu maupun para langganannya. Boleh
dicatat, jalan Surabaya di Jakarta ini selain cukup beken buat
kaum pelancong maupun pencandu barang antik (tempatnya sudah
dipugar DKI), sejak lama juga jadi sasaran kunjungan orang
bermobil, karena ada "klinik mobil" di ujungnya.
Minum Oli
Klinik si roda 4 itu buka praktek hampir 12 jam sehari, termasuk
pada hari Minggu juga. Mau disebut sebagai usaha pribadi pak
Amad, sebenarnya bengkel ini juga merupakan suatu bentuk
kerjasama. Saat ini ada 15 tenaga (umumnya karena putus sekolah)
yang mendampingi pak Amad. Sedikitnya ada 40 orang pernah
mencicipi penggodogan "ilmu perbengkelan" dari pak Amad selama
ini, yaitu sejak 1958 pelataran ujung jalan Surabaya itu disulap
pak Amad sebagai lapangan kerja (Lokasinya memang memungkinkan,
karena jalan buntu itu cukup luas, tanpa mengganggu arus lalu
lintas yang berseliweran di depannya). Mereka itu kini sudah
berpencar ke seantero kota, membuka praktek sendiri-sendiri.
Mereka berasal dari berbagai pelosok Jakarta. Jadi bukan cuma
dari kampung dekat jalan Surabaya itu. Bahkan ada yang dari
Bogor, Banten.
Cuma jangan salah faham, meski pak Amad menerima siapa saja
untuk nimbrung bekerja, tak sendirinya ia memperlakukannya
sebagai majikan dan buruh. Ia tak pernah mau mendikte. Yang
dilakukannya ketika ada orang baru muncul ialah: "Sehari dua
saya perhatikan saja tingkah lakunya. Kalau memang dia kepingin
kerja, mau belajar, silakan tanya. Saya juga nggak pelit sama
apa yang saya tahu", katanya. "Yang penting punya fisik yang
kuat, jujur dan ada kemauan bekerja", tambahnya. Memang ada
pemeo yang menyebut bila supir itu suka minum oli, montir makan
onderdil. Tapi "tradisi" itu amat tak disukai pak Amad. Bukannya
ia tak perlu duit, tapi "kepercayaan orang nggak bisa dibeli",
katanya.
Sehari-hari pelataran jalan Surabaya Ujung ini tampak selalu
disinggahi mobil-mobil bengek. Umumnya untuk urusan
kecil-kecilan saja. Karena Pak Amad sudah kenal mobil puluhan
tahun, dia dapat menilai kwalitas mobil. Baginya mobil Jepang
dan Eropa sama saja. "Yang membedakan kwalitet adalah
perawatannya", ujarnya "sedangkan perawatan tergantung
pemakaiannya. Kalau mobil sudah dipakai sampai Km 1500 sudah
harus diservis", lanjutnya. Meskipun ia bisa terima mobil dari
merek apa saja, satu jenis mobil akan ditampiknya: "Yang pakai
disel saya nyerah", kata pak Amad, "karena urusannya ruwet dan
saya tak punya alat untuk itu".
Sudah selarna ini ia buka bengkel, diakuinya bukan tak sanggup
melengkapi diri. "Kalau dihitung sudah 10 peti ini alat-alat
yang kita punya", katanya menunjuk sebuah peti berukuran 2 x 2
M. Lalu ke mana saja menguapnya peralatan itu? "Ya, begitu deh",
sahutnya sembari tersenyum pahit, "misalnya ini hari kita beli,
dua tiga hari lagi ada aja yang nyabet". Maksudnya: dicuri
orang. Sehingga tak heran bila peralatan yang ada padanya kini
hanya 30% dari kebutuhan sebenarnya.
Hubungan bisnis dengan para pemilik mobil pun tak kurang ikut
membuat kantongnya kian peot. Begini ceritanya. Ada seorang
minta mobilnya disehaLkan lagi. Kondisi kendaraan itu sudah
parah sekali. Pak Amad biasanya sungkan minta panjar, sehingga
ia biasa mengerjakan sesuatu dengan merogoh kantongnya lebih
dulu. Mobil itupun bisa jalan lagi. Tapi ketika si empunya
disodori kwitansi, lantas main cap tembak: ntar, 'sok.
Maksudnya, nanti deh, besok deh. "Berulang kali begitu, ambles
dah modal saya", keluhnya. Sementara itu mobil dibiarkan saja
oleh pemiliknya nongkrong, bahkan berbulan-bulan tak pernah
dilongok lagi. Tapi sebaliknya, pak Amad juga tak mudah tergoda
ketika ada yang menawarkannya modal. Ia malah menunjukkan rasa
takut. "Soalnya saya ogah direpotin hutang", katanya, "bukan
melulu hutang duitnya, tapi hutang budi itu yang nggak kebayar".
Tapi itu tak berarti Amad sudah keburu puas dengan apa yang
dihadapinya sekarang. Sambil menjahit celananya yang koyak, ayah
dari 9 anak ini mengungkapkan satu keinginannya: "Sebetulnya
saya masih bercita-cita bikin industri rakyat". Ia mengingat
beberapa tahun silam, "saya pernah bikin kompor anti-meledak".
Itu dikerjakan dari bahan-bahan bekas onderdil mobil, dan
mutunya sempat diuji dengan jaminan satu tahun. Pasarannya
lumayan, sampai ada pesanan dari luar Jawa. Ketika usahanya
hampir berkembang, ia tak berkutik oleh munculnya saingan serta
makin sulitnya mendapat baja. Ia kemudian tak berpaling lagi
dari urusan kerja bengkel itu. Penghasilannya sehari kini paling
banter rata-rata Rp 1.500. "Dengan duit segitu, apa yang bisa
saya lakukan lagi, selain cuma buat hidup sehari-hari di rumah",
ulasnya.
Riwayatnya bergaul dengan mobil sudah dialaminya sejak masa
kanak-kanak. Ayahnya bekerja sebagai supir pada seorang Belanda.
Amad hanya sempat sekolah dasar, dan pada usianya yang muda pula
mengikuti jejak ayahnya sebagai supir pada seorang Belanda yang
lain. Di zaman Jepang pernah pula ikut main tonil (bersama Rd
Mochtar, Miss Rukiah dll) serta merangkap kerja di film sebagai
supir. Meski ia merasa tak sempat punya jasa ketika perang
kemerdekaan, ("kecil-kecilan aja sih, sekedar nyelundupin
senjata untuk gerilya", katanya), Amad menganggap ada satu
pengalamannya yang sulit dilupakan. "Saya ikut mendorong
mobilnya Presiden Sukarno waktu selesai pidato di stadion
Ikada", tuturnya.
Ia kemudian bekerja sebagai pengemudi di NV Melan di Cikini. Di
sini ia beroleh kesempatan luas mengerjakan perbaikan mobil
juga. Ada 14 mobil perusahaan itu yang sekaligus dipercayakan
urusan reparasinya ke tangan An,ad Mulai dari sinilah ia membawa
sejumlah anak kampungnya di Surabaya ujung itu untuk
membantunya. Pekerjaannya ternyata bukan hanya di sekitar
bengkel, tapi juga meliputi kerajinan: membuat gesper, kopel,
sarung peluru.
Perusahaan tempat ia bekerja itu, katanya, "lumayan majunya,
tapi gara-gara keuntungan nampaknya kurang bisa dimanfaatkan,
akhirnya saya merasa nasib saya ikut terombang-ambing. Lalu saya
minta berhenti". Maka mulailah Amad dengan lembaran barunya di
pelataran ujung jalan Surabaya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini