Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Si Babe Di Ujung Itu

Pak Ahmad, sering disebut "babe" menggunakan ujung Jl. Surabaya sbg bengkel mobil. Ia dibantu 15 orang anak. Sebagian bekas anak buahnya banyak yang sudah mandiri.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH VW keluan tahun 50-an masuk di jalan Surabaya Ujung Jakarta. Siang itu hujan lebat nampaknya akan segera turun. Pengemudi mobil itu tergopoh-gopoh turun. Ia menggamit pak Amad (57 tahun) yang baru saja santai menikmati sebotol bir dingin. Kap mesin dibuka dan pak Amad menghampiri. Gerak geriknya serba tenang, yang mengisyaratkan bahwa ia ada "menyimpan" sesuatu: paling tidak sekedar silat Betawi tentu ia punya. Tak lama mereka bicara, pak Amad pun mafhum. "Saya tinggal dulu, be", ujar sopir itu dan bergegas pergi meninggalkan mobilnya. Pak Amad (anak Betawi tulen) sehari-hari memang suka disebut "Babe" oleh orang di sekitar itu maupun para langganannya. Boleh dicatat, jalan Surabaya di Jakarta ini selain cukup beken buat kaum pelancong maupun pencandu barang antik (tempatnya sudah dipugar DKI), sejak lama juga jadi sasaran kunjungan orang bermobil, karena ada "klinik mobil" di ujungnya. Minum Oli Klinik si roda 4 itu buka praktek hampir 12 jam sehari, termasuk pada hari Minggu juga. Mau disebut sebagai usaha pribadi pak Amad, sebenarnya bengkel ini juga merupakan suatu bentuk kerjasama. Saat ini ada 15 tenaga (umumnya karena putus sekolah) yang mendampingi pak Amad. Sedikitnya ada 40 orang pernah mencicipi penggodogan "ilmu perbengkelan" dari pak Amad selama ini, yaitu sejak 1958 pelataran ujung jalan Surabaya itu disulap pak Amad sebagai lapangan kerja (Lokasinya memang memungkinkan, karena jalan buntu itu cukup luas, tanpa mengganggu arus lalu lintas yang berseliweran di depannya). Mereka itu kini sudah berpencar ke seantero kota, membuka praktek sendiri-sendiri. Mereka berasal dari berbagai pelosok Jakarta. Jadi bukan cuma dari kampung dekat jalan Surabaya itu. Bahkan ada yang dari Bogor, Banten. Cuma jangan salah faham, meski pak Amad menerima siapa saja untuk nimbrung bekerja, tak sendirinya ia memperlakukannya sebagai majikan dan buruh. Ia tak pernah mau mendikte. Yang dilakukannya ketika ada orang baru muncul ialah: "Sehari dua saya perhatikan saja tingkah lakunya. Kalau memang dia kepingin kerja, mau belajar, silakan tanya. Saya juga nggak pelit sama apa yang saya tahu", katanya. "Yang penting punya fisik yang kuat, jujur dan ada kemauan bekerja", tambahnya. Memang ada pemeo yang menyebut bila supir itu suka minum oli, montir makan onderdil. Tapi "tradisi" itu amat tak disukai pak Amad. Bukannya ia tak perlu duit, tapi "kepercayaan orang nggak bisa dibeli", katanya. Sehari-hari pelataran jalan Surabaya Ujung ini tampak selalu disinggahi mobil-mobil bengek. Umumnya untuk urusan kecil-kecilan saja. Karena Pak Amad sudah kenal mobil puluhan tahun, dia dapat menilai kwalitas mobil. Baginya mobil Jepang dan Eropa sama saja. "Yang membedakan kwalitet adalah perawatannya", ujarnya "sedangkan perawatan tergantung pemakaiannya. Kalau mobil sudah dipakai sampai Km 1500 sudah harus diservis", lanjutnya. Meskipun ia bisa terima mobil dari merek apa saja, satu jenis mobil akan ditampiknya: "Yang pakai disel saya nyerah", kata pak Amad, "karena urusannya ruwet dan saya tak punya alat untuk itu". Sudah selarna ini ia buka bengkel, diakuinya bukan tak sanggup melengkapi diri. "Kalau dihitung sudah 10 peti ini alat-alat yang kita punya", katanya menunjuk sebuah peti berukuran 2 x 2 M. Lalu ke mana saja menguapnya peralatan itu? "Ya, begitu deh", sahutnya sembari tersenyum pahit, "misalnya ini hari kita beli, dua tiga hari lagi ada aja yang nyabet". Maksudnya: dicuri orang. Sehingga tak heran bila peralatan yang ada padanya kini hanya 30% dari kebutuhan sebenarnya. Hubungan bisnis dengan para pemilik mobil pun tak kurang ikut membuat kantongnya kian peot. Begini ceritanya. Ada seorang minta mobilnya disehaLkan lagi. Kondisi kendaraan itu sudah parah sekali. Pak Amad biasanya sungkan minta panjar, sehingga ia biasa mengerjakan sesuatu dengan merogoh kantongnya lebih dulu. Mobil itupun bisa jalan lagi. Tapi ketika si empunya disodori kwitansi, lantas main cap tembak: ntar, 'sok. Maksudnya, nanti deh, besok deh. "Berulang kali begitu, ambles dah modal saya", keluhnya. Sementara itu mobil dibiarkan saja oleh pemiliknya nongkrong, bahkan berbulan-bulan tak pernah dilongok lagi. Tapi sebaliknya, pak Amad juga tak mudah tergoda ketika ada yang menawarkannya modal. Ia malah menunjukkan rasa takut. "Soalnya saya ogah direpotin hutang", katanya, "bukan melulu hutang duitnya, tapi hutang budi itu yang nggak kebayar". Tapi itu tak berarti Amad sudah keburu puas dengan apa yang dihadapinya sekarang. Sambil menjahit celananya yang koyak, ayah dari 9 anak ini mengungkapkan satu keinginannya: "Sebetulnya saya masih bercita-cita bikin industri rakyat". Ia mengingat beberapa tahun silam, "saya pernah bikin kompor anti-meledak". Itu dikerjakan dari bahan-bahan bekas onderdil mobil, dan mutunya sempat diuji dengan jaminan satu tahun. Pasarannya lumayan, sampai ada pesanan dari luar Jawa. Ketika usahanya hampir berkembang, ia tak berkutik oleh munculnya saingan serta makin sulitnya mendapat baja. Ia kemudian tak berpaling lagi dari urusan kerja bengkel itu. Penghasilannya sehari kini paling banter rata-rata Rp 1.500. "Dengan duit segitu, apa yang bisa saya lakukan lagi, selain cuma buat hidup sehari-hari di rumah", ulasnya. Riwayatnya bergaul dengan mobil sudah dialaminya sejak masa kanak-kanak. Ayahnya bekerja sebagai supir pada seorang Belanda. Amad hanya sempat sekolah dasar, dan pada usianya yang muda pula mengikuti jejak ayahnya sebagai supir pada seorang Belanda yang lain. Di zaman Jepang pernah pula ikut main tonil (bersama Rd Mochtar, Miss Rukiah dll) serta merangkap kerja di film sebagai supir. Meski ia merasa tak sempat punya jasa ketika perang kemerdekaan, ("kecil-kecilan aja sih, sekedar nyelundupin senjata untuk gerilya", katanya), Amad menganggap ada satu pengalamannya yang sulit dilupakan. "Saya ikut mendorong mobilnya Presiden Sukarno waktu selesai pidato di stadion Ikada", tuturnya. Ia kemudian bekerja sebagai pengemudi di NV Melan di Cikini. Di sini ia beroleh kesempatan luas mengerjakan perbaikan mobil juga. Ada 14 mobil perusahaan itu yang sekaligus dipercayakan urusan reparasinya ke tangan An,ad Mulai dari sinilah ia membawa sejumlah anak kampungnya di Surabaya ujung itu untuk membantunya. Pekerjaannya ternyata bukan hanya di sekitar bengkel, tapi juga meliputi kerajinan: membuat gesper, kopel, sarung peluru. Perusahaan tempat ia bekerja itu, katanya, "lumayan majunya, tapi gara-gara keuntungan nampaknya kurang bisa dimanfaatkan, akhirnya saya merasa nasib saya ikut terombang-ambing. Lalu saya minta berhenti". Maka mulailah Amad dengan lembaran barunya di pelataran ujung jalan Surabaya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus