Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Menyusuri petualangan nenek moyang

Polynesian voyaging society berusaha menguasai kembali ketrampilan navigasi serta semangat hawaii lama. dengan perahu layar hokule's, tanpa alat-alat navigasi menjalani route hawaii tahiti.

1 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMENTARA peringatan dwi abad kemerdekaan AS menarik begitu banyak orang, maka Hohle'a - sebuah perahu layar berbadan dua terapung-apung di lautan Pasifik yang sepi antara Hawaii dan Tahiti. Peraliu yang 60 kaki panjangnya ini (bintang kegembiraan), menjalani kembah rute yang mungkin ditempuh para pelaut ketika menemukan Hawaii kira-kira 800 tahun yang lalu. Hokule'a berlayar tanpa peta, kompas atau alat-alat pelayaran lain. Dalam eksperimen ini, Polynesian Voyaging Society, pembuat Hokule'a, berusaha menguasai kembali ketrampilannavigasi serta semangat Hawaii lama. Society didirikan dengan keyakinan bahwa orang-orang Polynesia sudah bergaul dengan perahu macam itu lebih dari 3.000 tahun lalu, berabad-abad sebelum orang Eropa mengarungi lautan. Presiden Society Ben Finney, antropolog dan staf peneliti universitas East West Center, Hawaii, sudah memimpikan pelayaran itu lebih dari 10 tahun. Katanya, ini adalah pendekatan eksperimentil untuk membongkar salah satu masalah yang paling banyak menimbulkan perdebatan dalam sejarah Polynesia: bagaimana pulau-pulau Polynesia mula-mula ditemukan dan dihuni, hanya suatu kebetulan atau memang direncanakan. Sudah lama orang percaya, penemuan dan penghunian ini adalah hasil pelayaran bolak-balik yang direncanakan. Tetapi seorang ahli Selandia Baru, Andrew Sharp, mengandaikan orang-orang Polynesia tidak punya sarana berlayar jauh ke pulau-pulau tak dikenal, lantas meniti kembali pulang. Sharp percaya, pelayaran lebih dari beberapa ratus mil itu terjadi karena adanya perahu-perahu nyasar di lautan dan terdampar di sebuah pulau. Atau sekelompok orang yang diasingkan oleh masyarakatnya, pergi tanpa arah, kemudian menemukan daratan. Dan jalan kembali sudah tertutup karena tidak punya ketrampilan navigasi serta perahu yang kokoh. Menurut Finney, penilaian Sharp atau penilaian lain baik yang positif terhadap kemampuan orang-orang Polynesia berlayar, didasarkan atas data yang kurang tentang pemakaian perahu samudera dan kemampuan navigasi. Dalam tulisannya New Perspective on Polynesian Voyaging (1967) Finney mengatakan: "Sampai sekarang sumber yang tersedia adalah laporan sketsa orang Eropa yang pertama datang ke daerah ini. Isinya sering tidak jelas. Kalau dikutip secara selektif bisa dipakai untuk menguatkan kedua pendapat yang bertentangan itu". Ia mengatakan pula, satu-satunya cara mendapatkan data yang bisa dipercaya adalah dengan membuat perahu tiruan dan mempelajari tingkah lakunya. Inilah yang muncul di kepala Finney ketika ia bersama tiga orang temannya membuat sebuah perahu layar berbadan dua yang panjangnya 40 kaki di tahun 1966. Perahu ini adalah kakaknya Hokule'a yang sekarang. Dari percobaan ini ia menyimpulkan: pelayaran pulang pergi ke Tahiti dengan perahu layar adalah sangat mungkin. Tetapi kemungkinan penggunaan dayung, haruslah dikesampingkan. Finney mengingatkan bahwa eksperimennya tidak bisa digunakan sebagai bukti untuk menguatkan atau menggugurkan kedua anggapan tersebut. Eksperimen itu hanya membuktikan bahwa pelayaran macam itu mungkin terjadi. Berhasil tidaknya pelayaran perahu samudera besar ke Tahiti pulang-pergi tidak membuktikan (atau membktikan) anggapan itu. Yang jelas, kemungkinan terjadinya pelayaran itu didramatisir hingga bisa membangkitkan kembali harga diri orang Hawaii-Amerika. Pada saat itulah ide Polynesian Voyaging Society muncul (1972). Dalam rangkaian diskusi dengan seniman Hawaii, Herb Kawainui Kane, dan sarjana Hawaii, Thomas Holmes, gagasan itu berkembang ke arah pembentukan organisasi non-profit untuk melayarkan perahu macam itu ke Tahiti pulang-pergi. Sebagai persiapan, mereka menganalisa percobaan Finney yang terdahulu dan mempelajari imitasi yang dibuat dengan komputer, hasil kerja para sarjana universitas Minnesota. Para peneliti mempelajari dengan komputer arus samudera dan arah angin lalu menyimpulkan bahwa perahu yang terapung -- baik dari jurusan Marquesas maupun Tahiti -- tidak akan mencapai Hawaii. Angin pasat alias angin musim akan mendorong jauh ke arah barat. "Mencapai Hawaii dari arah selatan pasti disengaja. Tidak mungkin secara kebetulan", kata mereka. Mereka juga menyatakan bahwa tema nyanyian Hawaii dan Tahiti yang diperkuat oleh bukti-bukti arkeologis dan linguistik menunjukkan, bahwa pelayaran pulang-pergi Hawaii-Tahiti sebenarnya terjadi antara 500-800 tahun yang lalu. Menurut Kenneth Emory, antropolog Polynesia dari Bishop Museum, para pelaut Polynesia tinggal di pulau-pulau Marquesas dan Societies sekitar masa kelahiran Isa Alrnasih. Dari pulau-pulau itulah, dengan menggunakan perahu besar berbadan dua seperti Hokule'a, mereka menemukan kepulauan Hawaii dan berdiam di sana. Dari Marquesas sekitar tahun 500-700 Masehi dan dari Tahiti sekitar tahun 1300 Masehi. Tradisi Hawaii kuno ini menceritakan keberangkatan melalui satu jalur yang dikenal sebagai Ka-ala-i-Kahiki - jalur ke Tahiti. Bahkan nama Hawaii pun berasal dari bahasa Tahiti, turunan dari Havaiki - nama lama sebuah pulau terbesar kedua di kepulauan Societies yang sekarang bernama Raiatea. "Pulau ini nampaknya menjadi pusat kebudayaan dalam lingkungan kepulauan Societies pada masa pelayaran Tahiti-Hawaii itu", kata Kane. Kane, anggota senior Lembaga Tehnologi dan Pengembangan East West, menandaskan pula bahwa perahu layar terletak di jantung kebudayaan Polynesia. Tanpa itu tak ada apa yang disebut Polynesia. Kepulauan Society terletak dekat jantung Polynesia, suatu daerah segitiga di Pasifik, mulai dari New Zealand, Easter sampai Hawaii. Dengan perahu besar yang panjangnya hampir 100 kaki, dirancang oleh orang yang belum kenal logam, nenek moyang orang Hawaii menyelesaikan penghunian daerah ini, yang menurut Dr Emory sudah sejak abad ke-12 sebelum Masehi di Tonga. Pada saat pendatang Eropa sampai ke Pasifik, mereka terheran-heran di sambut oleh orang-orang berperahu, wakil masyarakat Polynesia. Kalau dipertimbangkan menurut konteks waktunya, Kane percaya bahwa ketrampilan pendatang pertama ini dapat dibandingkan dengan keahlian yang dibutuhkan orang untuk mendarat di bulan sekarang. Tapi tehnologi Barat, dengan logam dan mesiunya, merupakan pukulan fatal bagi harga diri orang Polynesia dan mengakibatkan disintegrasi kebudayaan mereka. Emory, seorang antropolog Polynesia, menunjukkan kurangnya kepercayaan orang-orang Hawaii terhadap kebudayaan sendiri menyebabkan mereka meninggalkan bentuk-bentuk yang memegang peranan penting dalam kehidupan mereka. "Kalau suatu obyek penting dibiarkan hilang dan dilupakan seperti perahu, semua kebudayaan yang berhubungan dengan obyek itu akan hilang juga", katanya. Situasi yang bikin frustrasi inilah yang mendorong didirikannya Polynesian Voyaging Society. Tujuan organisasi ini melakukan penelitian bagaimana para pelaut Polynesia menghuni Hawaii serta pulau-pulau lain di Pasifik dengan menyelidiki sistim navigasi serta kebudayaan lainnya yang menyebabkan kemampuan mereka melakukan pelayaran. Sebelum pelayaran Hokule'a dimulai bulan April, mereka sudah merintis melaksanakan tujuan itu. Sebelum berangkat, Hokule'a sudah berlayar lebih dari 1.500 mil laut di perairan Hawaii. Lebih dari 100 orang Hawaii belajar belayar, sebagaimana dilakukan nenek-moyang mereka. Hokule'a juga dibuat sebagai kelas terapung untuk belajar Hawaiiana - peranan yang akan dijalankannya sekembali dari Tahiti bulan Agustus nanti. David Lewis, seorang peneliti navigasi, hampir 10 tahun lamanya berguru kepada 6 orang pribumi. Salah seorang gurunya, Tevake, tahun 1970 pamit padakeluarganya, karena merasa sudah tua dan tidak berguna lagi. Ia pergi ke laut dan tidak pernah kembali. Ke-6 guru Lewis adalah sekelompok kecil pribumi yang masih mempraktekkan cara berlayar seperti yang dilakukan nenek moyang mereka dulu. Umumnya mereka tinggal di daerah yang paling belakangan mendapat pengaruh kebudayaan barat. Ruang kelasnya adalah perahu yang sedang berlayar di lautan. Mereka tidak kenal alat navigasi seperti kompas, peta dan lain sebagainya. Lewis diajari melihat dan merasakan lingkungan terbuka sebagaimana dilihat dan dirasakan oleh para gurunya. Mereka mengenal lebih dari 150 bintang dan posisinya di cakrawala sebagai kompas dan tanda dari pulau-pulau di kawasan itu. Mereka mengenal alun dan gelombang lautan, burung-burung pengail di darat, bentuk-bentuk awan warna air laut untuk menandai jarak daratan yang dituju. Pengenalan mereka yang intim dengan alam tidaklah mengherankan. "Sementara orang lain masih takut meninggalkan pantai, orang Polynesia sudah berhadapan dengan laut sebagai satu-satunya dunia mereka. Dewa-dewa mereka adalah alam - nenek-moyang yang menganugerahkan kekuatan dan keberhasilan berlayar dan hidup, menjaga keseimbangan dengan kekuatan-kekuatan alam", kata Kane. Sekarang sudah langka orang mempraktekkan cara berlayar seperti itu. Soalnya karena dulu kepandaian ini hanya diturunkan di antara keluarga terhormat saja. Kedua, karena tehnologi barat telah menyebabkan disintegrasi dalam kebudayaan mereka. Tahun ini, eksperimen seperti yang pernah dilancarkan tahun 1966 oleh Finney, dilakukan lagi. Rupanya orang Polynesia sudah mempunyai ilmu berlaut amat tinggi, jauh sebelum orang Eropa mengarungi lautan. Inilah kesimpulan penelitian David Lewis. Katanya, orang-orang berkulit sawo matang ini dulu berlayar tanpa alat-alat navigasi atau pun logam. Alamlah yang menjadi peta, kompas, serta pengukur jarak. Kepekaan akan gejala alam, erat hubungannya dengan kepercayaan mereka akan alam - bukan sebagai suatu yang menakutkan tetapi yang serba ramah. Mereka menjaga harmoni dengan alam. Percobaan ini tidak hanya bernilai ilmiah, tetapi juga kulturil. Di samping mencoba keberhasilan berlayar tanpa alat-alat navigasi, juga dites efisiensi makanan tradisionil yang suka dibawa orang dulu, kepandaian para awak kapal berlayar tanpa dimanjakan oleh fasilitas dunia modern seperti kompas, peta dan lain sebagainya. Juga diteliti binatang dan tumbuhan yang hidup. Nilai kulturilnya? Membangkitkan kembali harga diri orang Hawaii-Amerika.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus