SEMENTARA peringatan dwi abad kemerdekaan AS menarik begitu
banyak orang, maka Hohle'a - sebuah perahu layar berbadan dua
terapung-apung di lautan Pasifik yang sepi antara Hawaii dan
Tahiti. Peraliu yang 60 kaki panjangnya ini (bintang
kegembiraan), menjalani kembah rute yang mungkin ditempuh para
pelaut ketika menemukan Hawaii kira-kira 800 tahun yang lalu.
Hokule'a berlayar tanpa peta, kompas atau alat-alat pelayaran
lain. Dalam eksperimen ini, Polynesian Voyaging Society, pembuat
Hokule'a, berusaha menguasai kembali ketrampilannavigasi serta
semangat Hawaii lama. Society didirikan dengan keyakinan bahwa
orang-orang Polynesia sudah bergaul dengan perahu macam itu
lebih dari 3.000 tahun lalu, berabad-abad sebelum orang Eropa
mengarungi lautan.
Presiden Society Ben Finney, antropolog dan staf peneliti
universitas East West Center, Hawaii, sudah memimpikan pelayaran
itu lebih dari 10 tahun. Katanya, ini adalah pendekatan
eksperimentil untuk membongkar salah satu masalah yang paling
banyak menimbulkan perdebatan dalam sejarah Polynesia: bagaimana
pulau-pulau Polynesia mula-mula ditemukan dan dihuni, hanya
suatu kebetulan atau memang direncanakan.
Sudah lama orang percaya, penemuan dan penghunian ini adalah
hasil pelayaran bolak-balik yang direncanakan. Tetapi seorang
ahli Selandia Baru, Andrew Sharp, mengandaikan orang-orang
Polynesia tidak punya sarana berlayar jauh ke pulau-pulau tak
dikenal, lantas meniti kembali pulang. Sharp percaya, pelayaran
lebih dari beberapa ratus mil itu terjadi karena adanya
perahu-perahu nyasar di lautan dan terdampar di sebuah pulau.
Atau sekelompok orang yang diasingkan oleh masyarakatnya, pergi
tanpa arah, kemudian menemukan daratan. Dan jalan kembali sudah
tertutup karena tidak punya ketrampilan navigasi serta perahu
yang kokoh.
Menurut Finney, penilaian Sharp atau penilaian lain baik yang
positif terhadap kemampuan orang-orang Polynesia berlayar,
didasarkan atas data yang kurang tentang pemakaian perahu
samudera dan kemampuan navigasi. Dalam tulisannya New
Perspective on Polynesian Voyaging (1967) Finney mengatakan:
"Sampai sekarang sumber yang tersedia adalah laporan sketsa
orang Eropa yang pertama datang ke daerah ini. Isinya sering
tidak jelas. Kalau dikutip secara selektif bisa dipakai untuk
menguatkan kedua pendapat yang bertentangan itu".
Ia mengatakan pula, satu-satunya cara mendapatkan data yang bisa
dipercaya adalah dengan membuat perahu tiruan dan mempelajari
tingkah lakunya. Inilah yang muncul di kepala Finney ketika ia
bersama tiga orang temannya membuat sebuah perahu layar berbadan
dua yang panjangnya 40 kaki di tahun 1966. Perahu ini adalah
kakaknya Hokule'a yang sekarang. Dari percobaan ini ia
menyimpulkan: pelayaran pulang pergi ke Tahiti dengan perahu
layar adalah sangat mungkin. Tetapi kemungkinan penggunaan
dayung, haruslah dikesampingkan.
Finney mengingatkan bahwa eksperimennya tidak bisa digunakan
sebagai bukti untuk menguatkan atau menggugurkan kedua anggapan
tersebut. Eksperimen itu hanya membuktikan bahwa pelayaran macam
itu mungkin terjadi. Berhasil tidaknya pelayaran perahu samudera
besar ke Tahiti pulang-pergi tidak membuktikan (atau
membktikan) anggapan itu. Yang jelas, kemungkinan terjadinya
pelayaran itu didramatisir hingga bisa membangkitkan kembali
harga diri orang Hawaii-Amerika.
Pada saat itulah ide Polynesian Voyaging Society muncul (1972).
Dalam rangkaian diskusi dengan seniman Hawaii, Herb Kawainui
Kane, dan sarjana Hawaii, Thomas Holmes, gagasan itu berkembang
ke arah pembentukan organisasi non-profit untuk melayarkan
perahu macam itu ke Tahiti pulang-pergi. Sebagai persiapan,
mereka menganalisa percobaan Finney yang terdahulu dan
mempelajari imitasi yang dibuat dengan komputer, hasil kerja
para sarjana universitas Minnesota. Para peneliti mempelajari
dengan komputer arus samudera dan arah angin lalu menyimpulkan
bahwa perahu yang terapung -- baik dari jurusan Marquesas maupun
Tahiti -- tidak akan mencapai Hawaii. Angin pasat alias angin
musim akan mendorong jauh ke arah barat. "Mencapai Hawaii dari
arah selatan pasti disengaja. Tidak mungkin secara kebetulan",
kata mereka.
Mereka juga menyatakan bahwa tema nyanyian Hawaii dan Tahiti
yang diperkuat oleh bukti-bukti arkeologis dan linguistik
menunjukkan, bahwa pelayaran pulang-pergi Hawaii-Tahiti
sebenarnya terjadi antara 500-800 tahun yang lalu. Menurut
Kenneth Emory, antropolog Polynesia dari Bishop Museum, para
pelaut Polynesia tinggal di pulau-pulau Marquesas dan Societies
sekitar masa kelahiran Isa Alrnasih. Dari pulau-pulau itulah,
dengan menggunakan perahu besar berbadan dua seperti Hokule'a,
mereka menemukan kepulauan Hawaii dan berdiam di sana. Dari
Marquesas sekitar tahun 500-700 Masehi dan dari Tahiti sekitar
tahun 1300 Masehi.
Tradisi Hawaii kuno ini menceritakan keberangkatan melalui satu
jalur yang dikenal sebagai Ka-ala-i-Kahiki - jalur ke Tahiti.
Bahkan nama Hawaii pun berasal dari bahasa Tahiti, turunan dari
Havaiki - nama lama sebuah pulau terbesar kedua di kepulauan
Societies yang sekarang bernama Raiatea. "Pulau ini nampaknya
menjadi pusat kebudayaan dalam lingkungan kepulauan Societies
pada masa pelayaran Tahiti-Hawaii itu", kata Kane.
Kane, anggota senior Lembaga Tehnologi dan Pengembangan East
West, menandaskan pula bahwa perahu layar terletak di jantung
kebudayaan Polynesia. Tanpa itu tak ada apa yang disebut
Polynesia. Kepulauan Society terletak dekat jantung Polynesia,
suatu daerah segitiga di Pasifik, mulai dari New Zealand, Easter
sampai Hawaii. Dengan perahu besar yang panjangnya hampir 100
kaki, dirancang oleh orang yang belum kenal logam, nenek moyang
orang Hawaii menyelesaikan penghunian daerah ini, yang menurut
Dr Emory sudah sejak abad ke-12 sebelum Masehi di Tonga. Pada
saat pendatang Eropa sampai ke Pasifik, mereka terheran-heran di
sambut oleh orang-orang berperahu, wakil masyarakat Polynesia.
Kalau dipertimbangkan menurut konteks waktunya, Kane percaya
bahwa ketrampilan pendatang pertama ini dapat dibandingkan
dengan keahlian yang dibutuhkan orang untuk mendarat di bulan
sekarang.
Tapi tehnologi Barat, dengan logam dan mesiunya, merupakan
pukulan fatal bagi harga diri orang Polynesia dan mengakibatkan
disintegrasi kebudayaan mereka. Emory, seorang antropolog
Polynesia, menunjukkan kurangnya kepercayaan orang-orang Hawaii
terhadap kebudayaan sendiri menyebabkan mereka meninggalkan
bentuk-bentuk yang memegang peranan penting dalam kehidupan
mereka. "Kalau suatu obyek penting dibiarkan hilang dan
dilupakan seperti perahu, semua kebudayaan yang berhubungan
dengan obyek itu akan hilang juga", katanya.
Situasi yang bikin frustrasi inilah yang mendorong didirikannya
Polynesian Voyaging Society. Tujuan organisasi ini melakukan
penelitian bagaimana para pelaut Polynesia menghuni Hawaii serta
pulau-pulau lain di Pasifik dengan menyelidiki sistim navigasi
serta kebudayaan lainnya yang menyebabkan kemampuan mereka
melakukan pelayaran.
Sebelum pelayaran Hokule'a dimulai bulan April, mereka sudah
merintis melaksanakan tujuan itu. Sebelum berangkat, Hokule'a
sudah berlayar lebih dari 1.500 mil laut di perairan Hawaii.
Lebih dari 100 orang Hawaii belajar belayar, sebagaimana
dilakukan nenek-moyang mereka. Hokule'a juga dibuat sebagai
kelas terapung untuk belajar Hawaiiana - peranan yang akan
dijalankannya sekembali dari Tahiti bulan Agustus nanti.
David Lewis, seorang peneliti navigasi, hampir 10 tahun lamanya
berguru kepada 6 orang pribumi. Salah seorang gurunya, Tevake,
tahun 1970 pamit padakeluarganya, karena merasa sudah tua dan
tidak berguna lagi. Ia pergi ke laut dan tidak pernah kembali.
Ke-6 guru Lewis adalah sekelompok kecil pribumi yang masih
mempraktekkan cara berlayar seperti yang dilakukan nenek moyang
mereka dulu. Umumnya mereka tinggal di daerah yang paling
belakangan mendapat pengaruh kebudayaan barat.
Ruang kelasnya adalah perahu yang sedang berlayar di lautan.
Mereka tidak kenal alat navigasi seperti kompas, peta dan lain
sebagainya. Lewis diajari melihat dan merasakan lingkungan
terbuka sebagaimana dilihat dan dirasakan oleh para gurunya.
Mereka mengenal lebih dari 150 bintang dan posisinya di
cakrawala sebagai kompas dan tanda dari pulau-pulau di kawasan
itu. Mereka mengenal alun dan gelombang lautan, burung-burung
pengail di darat, bentuk-bentuk awan warna air laut untuk
menandai jarak daratan yang dituju.
Pengenalan mereka yang intim dengan alam tidaklah mengherankan.
"Sementara orang lain masih takut meninggalkan pantai, orang
Polynesia sudah berhadapan dengan laut sebagai satu-satunya
dunia mereka. Dewa-dewa mereka adalah alam - nenek-moyang yang
menganugerahkan kekuatan dan keberhasilan berlayar dan hidup,
menjaga keseimbangan dengan kekuatan-kekuatan alam", kata Kane.
Sekarang sudah langka orang mempraktekkan cara berlayar seperti
itu. Soalnya karena dulu kepandaian ini hanya diturunkan di
antara keluarga terhormat saja. Kedua, karena tehnologi barat
telah menyebabkan disintegrasi dalam kebudayaan mereka.
Tahun ini, eksperimen seperti yang pernah dilancarkan tahun 1966
oleh Finney, dilakukan lagi.
Rupanya orang Polynesia sudah mempunyai ilmu berlaut amat
tinggi, jauh sebelum orang Eropa mengarungi lautan. Inilah
kesimpulan penelitian David Lewis. Katanya, orang-orang berkulit
sawo matang ini dulu berlayar tanpa alat-alat navigasi atau pun
logam. Alamlah yang menjadi peta, kompas, serta pengukur jarak.
Kepekaan akan gejala alam, erat hubungannya dengan kepercayaan
mereka akan alam - bukan sebagai suatu yang menakutkan tetapi
yang serba ramah. Mereka menjaga harmoni dengan alam.
Percobaan ini tidak hanya bernilai ilmiah, tetapi juga kulturil.
Di samping mencoba keberhasilan berlayar tanpa alat-alat
navigasi, juga dites efisiensi makanan tradisionil yang suka
dibawa orang dulu, kepandaian para awak kapal berlayar tanpa
dimanjakan oleh fasilitas dunia modern seperti kompas, peta dan
lain sebagainya. Juga diteliti binatang dan tumbuhan yang hidup.
Nilai kulturilnya? Membangkitkan kembali harga diri orang
Hawaii-Amerika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini