Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah bangunan bersejarah berubah fungsi menjadi tempat nongkrong.
Pengelola gedung berkoordinasi dengan tim cagar budaya pemerintah sebelum merenovasi bangunan.
Para pengunjung tertarik datang karena merasakan suasana zaman dulu.
DUDUK di sebuah kursi di beranda Pos Bloc, Jakarta Pusat, Rifki Abdul Aziz asyik menatap layar telepon selulernya. Selasa malam, 22 Februari lalu, ia pertama kali nongkrong di bangunan cagar budaya yang dulu bernama Post en Telegraaf itu. Sebelum bersantai di beranda, Rifki dan kawannya mencicipi makanan yang dijual di sana. “Unik, ada gedung tua yang bisa menjadi tempat nongkrong,” tutur Rifki, 28 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pos Bloc diresmikan Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pada 10 Oktober 2021. Terdapat 26 gerai usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di bangunan itu. Mereka berjualan aneka makanan dan minuman serta sandal dan pakaian. Di gedung itu juga terdapat studio foto dengan konsep jadul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Ruang Kreatif Pos, perusahaan patungan antara PT Radar Ruang Riang dan PT Pos Properti Indonesia, merenovasi Gedung Filateli Jakarta itu dan mengubahnya menjadi ruang kreatif. PT Radar Ruang Riang pula yang membangun ruang kreatif M Bloc Space dengan memanfaatkan bekas perumahan karyawan dan gudang tempat produksi uang milik Percetakan Uang Republik Indonesia di Blok M, Jakarta Selatan.
Pengunjung di The Hallway, Pasar Kosambi, Bandung, 3 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia
Suasana bangunan kuno sangat terasa begitu memasuki Pos Bloc. Lantai great hall masih beralas marmer. Rangka atapnya berbahan kayu dan jendela berbentuk persegi panjang terdapat di bagian atas dekat dengan atap. Di great hall juga terdapat tribun berbahan kayu. Tempat duduk tersebut kerap digunakan pengunjung untuk nongkrong dan berswafoto.
Great hall diapit dua taman yang disebut taman timur dan barat. Di taman timur terdapat sebuah prasasti dari batu dan marmer bertulisan “Amanat Pahlawan” bertanggal 27 September 1959.
Marketing and sales executive PT Ruang Kreatif Pos, Meidyana Ayuningtyas, menyebutkan renovasi Gedung Filateli menjadi Pos Bloc dilakukan sejak Mei 2021. Sebelum perbaikan dimulai, Ruang Kreatif berkoordinasi dengan tim cagar budaya dan sejarawan karena gedung tersebut tergolong cagar budaya. “Renovasinya sekitar tiga bulan saja karena kami hanya merapikan dan menambahkan tanpa mengubah struktur bangunan aslinya,” ujarnya kepada Gangsar Parikesit dari Tempo.
Pengelola mengganti dan menambahkan sejumlah lampu agar ruangan lebih terang. Beberapa sekat dibuat sebagai pembatas antargerai. Taman bagian barat yang sudah ada dirapikan dengan ditambahi tanaman, lampu, dan tempat duduk.
Meidyana mengatakan masih ada material bangunan yang belum lengkap saat pihaknya merenovasi Gedung Filateli, seperti kaca warna-warni atau biasa disebut kaca patri yang terdapat di bagian atas pintu depan great hall. Ada beberapa bagian yang bolong di jendela itu. “Susah mencari kaca patrinya karena kami harus mengembalikan ke bentuk dan warna aslinya,” tuturnya.
Untuk menarik minat pengunjung, pengelola Pos Bloc bekerja sama dengan beragam komunitas, di antaranya Yoga Gembira dan komunitas pound fit atau olahraga cardio jam session yang terinspirasi permainan drum seperti Suka Pound dan Pound with Micin. Acara hiburan juga digelar dengan kerja sama sejumlah musikus.
Menurut Meidyana, beragam acara yang diadakan bersama komunitas bisa menarik pengunjung. Pada hari kerja, jumlah pengunjung rata-rata lebih dari 1.000. Sedangkan pada akhir pekan, jumlahnya bisa mencapai 3.000. “Karena komunitas ini kan punya massa dan saat mereka datang ke sini tidak kami perkenankan membawa makanan-minuman dari luar,” ucapnya.
Ruang Kreatif menerapkan sistem bagi hasil dengan para pedagang di Pos Bloc yang merupakan pelaku UMKM lokal. Namun Meidyana enggan menyebutkan persentase bagi hasil antara pengelola dan pedagang.
Pengelola berencana mengembangkan bagian lain Gedung Filateli yang terletak di Jalan Pos Nomor 2, Jakarta Pusat, itu. Pos Bloc, yang luasnya 2.400 meter persegi, adalah hasil pengembangan tahap pertama. Pengembangan tahap berikutnya akan dilakukan pada Juli mendatang dengan merenovasi bangunan seluas sekitar 6.000 meter persegi.
Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta Iwan Henry Wardhana mengatakan pihaknya menerbitkan Surat Rekomendasi Pemugaran No. 2478/-1.853.15 pada 18 Mei 2021 bagi PT Pos Properti untuk memugar Gedung Filateli. Surat rekomendasi itu terbit setelah mendapat pertimbangan Tim Sidang Pemugaran DKI. Penerbitan surat rekomendasi itu adalah bagian dari upaya pemerintah melindungi bangunan cagar budaya.
Gedung Filateli adalah bangunan cagar budaya yang dilindungi sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta Nomor 475 Tahun 1993 tentang Penetapan Bangunan-bangunan Bersejarah di DKI Jakarta sebagai Cagar Budaya. “Jadi pengerjaan renovasinya harus memperhatikan prinsip pelestarian,” kata Iwan.
Gedung Filateli dulu adalah kantor pos pertama yang didirikan kongsi dagang Hindia Belanda (VOC) di Batavia pada 26 Agustus 1746 di bawah pemerintahan Gubernur Jenderal Gustaaf W. Baron van Imhoff. Ketika pusat pemerintahan digeser ke Weltevreden (Sawah Besar, Jakarta Pusat), kantor pos dipindahkan ke Waterlooplein di lantai dasar Istana Daendels. Kemudian kantor pos dipindahkan lagi ke Posweg di antara Schooburg (Gedung Kesenian Jakarta) di sebelah timur dan Kleine Klooster di sebelah barat.
Bangunan lawas yang disulap menjadi tempat kongko tak cuma ada di Ibu Kota. Di Kota Bandung, misalnya, lantai 2 Pasar Kosambi disulap menjadi tempat nongkrong, The Hallway. Lantai tersebut tak ditempati pedagang sehingga lorong-lorongnya terasa senyap. Denyut kehidupan pasar hanya terasa di lantai 1. Pengunjungnya pun tak ramai.
Pasar tradisional itu kemudian bersalin rupa. Rilly Robbi Gusadi dan Faizal Budiman, yang akrab disapa Bob, mengubah lantai 2 Pasar Kosambi menjadi tempat nongkrong kekinian. Mereka terinspirasi Pasar Santa dan M Bloc Space di Jakarta Selatan.
Robbi, Bob, dan dua teman mereka merenovasi lantai 2 pasar tersebut sejak 2017. Mereka patungan mengecat dan memperbaiki bangunan dengan dana masing-masing Rp 5 juta. Nahas, kebakaran basement pasar pada 18 Mei 2019 mengakibatkan dinding yang telah dicat menghitam karena asap dan jelaga. Mereka pun mengecat ulang tembok tersebut.
Penyanyi dan aktor Eddi Brokoli bersama kawan-kawannya nongkrong di The Hallway, Pasar Kosambi, Bandung, 3 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia
Robbi dan Bob membuat deretan tengah di bagian belakang kios tanpa sekat untuk tempat makan dan minum. Bagian tengah digunakan untuk salon, kios aksesori, juga perlengkapan dekorasi rumah. The Hallway bahkan memiliki area pertunjukan musik serta pameran seni atau foto.
Awalnya mereka membuka empat kios sepatu dan pakaian di bagian belakang. Lalu jumlah kios itu berkembang menjadi 20 pada 2019. Kini terdapat 140 toko yang berjajar di lima lorong Pasar Kosambi.
Robbi menuturkan, salah satu keuntungan penggunaan gedung tua sebagai tempat nongkrong ialah biaya sewanya murah. Tarif sewa seluruh lantai 2 Pasar Kosambi Rp 350 juta per tahun. Biaya sewa itu ditanggung 140 gerai di The Hallway. Harga sewa kios berukuran 7,8 meter persegi di sana Rp 14 juta per tahun. Namun, ucap dia, tarif sewa yang terbilang murah itu tidak sepadan dengan anggaran renovasi lantai 2 yang sebesar Rp 2 miliar. “Sekarang tahun kedua belum balik modal, nanti tahun ketiga mulai profit,” tuturnya kepada Anwar Siswadi dari Tempo.
Jumlah pengunjung The Hallway kini berkisar 30-35 ribu orang per bulan. Robbi dan Bob berencana memperluasnya karena mereka optimistis tempat itu bisa berkembang.
Kepala Pasar Kosambi Yayan Agustina mengatakan kehadiran The Hallway meramaikan pasar tradisional yang berdiri pada 1915 itu. Pasar baru dibangun enam lantai pada 1993 dan lantai 3-6 masih kosong. "The Hallway baru memakai tiga perempat area dan mau diperluas," ujarnya.
Gedung tua lain di Kota Bandung yang berubah fungsi adalah Gedung Gas Negara yang terletak di Jalan Braga. Sejak 6 Agustus 2020, gedung yang dibangun arsitek R.L.A. Schoemaker pada 1930 itu disulap menjadi Gas Block, restoran dengan penginapan enam kamar di bagian belakangnya.
General Manager Gas Block Suhaya Sahni mengatakan pengelola berencana menambah 15 kamar di lantai atas gedung yang berstatus bangunan cagar budaya itu. Pengelola telah berkoordinasi dengan tim cagar budaya Kota Bandung mengenai rencana itu. "Kami tidak mengubah apa pun yang ada di gedung ini," tuturnya.
Menurut Sahni, sisi historis gedung itu menjadi nilai jual bagi pengunjung. Pelancong yang menginap di hotel lain bahkan kerap berkunjung ke restoran tersebut demi merasakan suasana gedung yang dulu merupakan perkantoran.
Interior di dalam bangunan heritage yang dijadikan kafe Gasinc dan penginapan Gas Inn di Gas Block Braga, Bandung, 3 Maret 2022. TEMPO/Prima mulia
Kota Makassar tak ketinggalan. Pengelola warung kopi Goedang Sumba di Jalan Sumba, Pattunuang, Kecamatan Wajo, mengubah gudang yang dibangun pada 1969 menjadi tempat kongko.
Pemilik Goedang Sumba, Hery Ponawar Rawuh, mengatakan bangunan yang pernah menjadi tempat penyimpanan kaca itu kosong selama 26 tahun. Pria 55 tahun ini membersihkan bekas gudang seluas 500 meter persegi itu pada Mei 2020. Atap seng diganti dengan aluminium. Kayu penahan atap yang rapuh juga diganti.
Hery kemudian menjadikan bekas gudang itu kedai kopi bernuansa klasik dengan menu khas perdesaan, seperti kopi susu, teh, jus buah, ubi goreng, dan pisang goreng. Ia juga memajang sejumlah sepeda motor antik, seperti Vespa, Honda Win, Honda 70, dan Yamaha RX King, serta sepeda ontel. “Jadi pengunjung bisa mengingat zaman dulu,” katanya kepada Didit Hariyadi dari Tempo.
Salah seorang pengunjung, Amar, memilih nongkrong di kafe itu karena tertarik pada deretan sepeda motor tua yang dipajang. Pria 40 tahun ini bisa kongko di warung kopi itu hingga tiga kali sepekan bersama kawan-kawannya dari komunitas Vespa. “Enak nongkrong di sini, privasi terjaga dan tak formal,” tuturnya.
Hery Ponawar Rawuh, pemilik warung kopi Goedang Sumba, di Jalan Sumba, Pattunuang, Kecamatan Wajo, Kota Makassar, 23 Februari 2022. TEMPO/Didit Hariyadi
Tekodeko Koffiehuis di kawasan Kota Lama Semarang juga memanfaatkan bangunan tua sebagai kedai kopi. Bangunan bercat putih itu memiliki dua lantai. Kosen dan jendelanya berbahan kayu berwarna cokelat pelitur, menguatkan kesan klasiknya. Sebagian lantainya berbahan marmer.
Pengelola Tekodeko Koffiehuis, Jessie Setiawati, menyebutkan bangunan itu didirikan pada 1880-an. Gedung itu bekas rumah keluarga bangsawan. Kawasan Kota Lama dulu dihuni banyak bangsawan dan pengusaha Belanda. Pada 1930, bangunan itu beralih fungsi menjadi pabrik kosen dan pernah menjadi tempat tinggal.
Pada 2013, pemilik kedai kopi membeli rumah seluas 500 meter persegi itu dan merenovasinya tanpa mengubah bentuk aslinya. Kayu rangka atap dan genting dipertahankan. Fasad griya itu dikembalikan ke warna aslinya, yakni hijau tua. Pemiliknya berkonsultasi dengan tim cagar budaya Kota Semarang.
Kafe itu dibuka pada 2015. Misi awalnya adalah menghidupkan kembali bangunan cagar budaya di Kota Lama Semarang. Bisnis kedai kopi pun dipilih. Saat itu pengunjung belum seramai sekarang karena kawasan Kota Lama kerap terendam banjir. “Dulu jumlah pengunjungnya 30 persen dari sekarang," ujar Jessie kepada Jamal A. Nashr dari Tempo.
Menu andalannya kopi akulturasi Semarang, yang merujuk pada percampuran budaya di kota itu, yaitu Cina, Belanda, Arab, dan Jawa. Salah satunya Kopi Gendis yang terbuat dari kopi, susu, dan gula jawa.
Saraswati, seorang pengunjung, tertarik nongkrong di sana karena ingin menikmati suasana bangunan klasik. Gedung tua juga apik dijadikan tempat berfoto. "Jadi terbawa nuansa zaman dulu,” tutur perempuan 29 tahun itu.
Suasana di Tekodeko Koffiehuis, Semarang, Agustus 2021. Facebook.com/ Tekodeko Koffiehuis
Di Kota Surabaya, Coffee Toffee Pos Simpang memanfaatkan gedung tua kantor pos yang merupakan bangunan cagar budaya. Kafe yang dibuka pada 2013 itu dikelola mantan Wakil Wali Kota Surabaya, Arif Afandi.
Setelah selesai menjabat wakil wali kota pada 2010, Arif mencoba berbisnis kafe, tapi belum menemukan lokasi yang strategis. Lalu ia mendapat informasi peluang kemitraan dengan PT Pos Indonesia untuk memanfaatkan aset perusahaan milik negara itu.
Mantan pemimpin redaksi Jawa Pos itu tertarik menyewa tempat di Kantor Pos Simpang karena itu bangunan bersejarah dan berada di jantung Kota Pahlawan. Namun tak mudah baginya untuk merenovasi bangunan cagar budaya tipe C tersebut. Ia dan Dinas Pariwisata Surabaya sempat bersilang pendapat mengenai rencana pemugaran.
Pemerintah Kota Surabaya baru menerbitkan izin usaha jika bangunan itu memiliki izin mendirikan bangunan (IMB). Arif tak bisa menunjukkan IMB karena gedung yang didirikan pada 1800-an itu adalah bangunan cagar budaya. Pos Indonesia juga tidak mengantongi sertifikat. “Karena alas haknya belum disertifikatkan, saya pun tidak bisa mengurus IMB,” ia mengenang.
Akhirnya ada jalan tengah. Pos Indonesia mengeluarkan pernyataan bahwa bangunan Kantor Pos Simpang adalah aset Pemerintah Kota Surabaya. Izin usaha pun terbit. Arif lalu merenovasi interior gedung tanpa mengubah bentuk bangunan. Halaman gedung diubah untuk tempat kursi pengunjung.
Pegiat sejarah Kota Surabaya, Nanang Purwono, mengatakan belum ditemukan catatan kapan persisnya Kantor Pos Surabaya Simpang dibangun. Gedung itu didirikan Belanda setelah bagian jalan Anyer-Panarukan di wilayah Surabaya rampung dibangun. Gedung itu dibangun sebagai kantor telepon dan telegram. “Setelah Indonesia merdeka, gedung itu dinasionalisasi dan pengelolaannya diserahkan kepada PT Pos,” katanya kepada Kukuh S. Wibowo dari Tempo.
Pemanfaatan gedung tua sebagai kedai kopi juga dilakoni Kuncarsono Prasetyo. Pria 46 tahun itu mengubah rumah yang berdiri sejak 1907 di Jalan Makam Peneleh 46, Surabaya, menjadi Cafe Lodji Besar.
Ia menemukan rumah itu secara tidak sengaja dalam iklan di Internet ketika hendak mencari tempat untuk usaha konfeksinya. Ia tertarik memiliki rumah seluas 350 meter persegi dengan paviliun itu. Apalagi bangunan seharga Rp 1,5 miliar itu menyimpan sejarah Pertempuran Surabaya. “Akhirnya rumah ini saya beli dengan skema KPR (kredit pemilikan rumah),” ujarnya.
Kuncarsono mulai memugar rumah tersebut pada 2014. Ia ingin mengembalikan rumah itu ke bentuk aslinya sesuai dengan foto bertahun 1924. Beberapa bangunan tambahan, seperti atap teras, dicopot. Pagar besi yang hilang diganti dengan pagar tembok dan dikembalikan ke bentuk semula.
Ia mengubah teras dan ruang tamu menjadi kafe. Sejak kafe itu berdiri, banyak pegiat sejarah datang. Kafe itu pun menjadi tempat diskusi tentang sejarah. Daya tarik Lodji Besar bertambah karena di seberangnya terdapat Makam Peneleh, kuburan orang-orang penting pada masa penjajahan Belanda. Di sekitar kafe juga terdapat bekas rumah Oemar Said Tjokroaminoto dan rumah kelahiran Presiden Sukarno.
Buka sejak pukul 11.00 sampai larut malam, kafe yang jadi tempat nongkrong itu banyak dikunjungi selepas magrib. Seorang pengunjung, Muhammad Chotib, 70 tahun, mulanya datang untuk sekadar minum kopi. Namun, setelah mengetahui banyak pegiat sejarah sering berdiskusi di situ, ia makin intens datang. Ia mengatakan ayahnya, Abdul Azis, adalah salah satu pejuang dalam Pertempuran Surabaya. Ia pun menjadi akrab dengan Kuncarsono cs. “Saya pernah diajak diskusi dan disuruh cerita soal peran ayah saya di perang Surabaya,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo