Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Buku tentang kehidupan warga Indo di Magelang pada 1920-1940an
Populasi warga Indo di Magelang pada masa kolonial cukup banyak.
Buku ini membahas posisi warga Indo yang sering dianggap kelas dua oleh warga Belanda totok.
ANDRIES Schell de Nijs, umurnya 80-an tahun, adalah indo Belanda-Jawa. Ia kini warga Barcelona, Spanyol. Ia kelahiran Magelang, Jawa Tengah, dan menghabiskan masa kecilnya di kota sejuk itu. Ayahnya adalah seorang totok Belanda yang menjadi serdadu Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL. Ibunya asli Ambarawa, yang bekerja sebagai perawat di hospital militair (rumah sakit tentara) Magelang. Pada 1950, keluarganya mengikuti program repatriasi (pemulangan) ke Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2016, setelah 74 tahun meninggalkan Magelang, Andries Schel de Nijs menapaktilasi kota kelahirannya. Oleh Bagus Priyana, koordinator Komunitas Kota Toea Magelang, ia dibawa berkeliling untuk mencari rumah masa kecilnya. Andries hanya ingat dia dulu tinggal di kawasan Rembrandtland—kawasan perumahan perwira militer. “Mulanya saya bawa ke alun-alun. Dia ingat ada watertoren (menara air). Dia juga ingat pernah diajak ibunya dari alun-alun berjalan ke gereja. Tapi selebihnya lupa,” kata Bagus. Bagus menduga rumah masa kecil Andries kini terletak di kompleks perumahan tentara di Jalan Badaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya ajak dia menyusuri Badaan Kidul lalu menuju kompleks perumahan petinggi tentara. Di sana ada sekitar 11 rumah Belanda, salah satunya menjadi Museum Sudirman. Lainnya ditempati oleh Gubernur Akademi Militer dan perwira-perwira kita. Saya ajak Andries satu per satu berjalan, berdiri di depan 11 rumah itu,” tutur Bagus. Bagus ingat di sebuah rumah Andries terlihat terhenyak. ”Wah, ini rumah tetangga saya, Mr Wizig. Saya dulu sering mengganggu saat tidur siang, naik pohon berteriak-teriak,” ujar Bagus, menirukan Andries. Akhirnya dekat Plengkung Baru (terowongan buatan yang di atasnya ada viaduk saluran air) Andries menatap sebuah rumah. “Dia lama sekali tertegun. Saya biarkan memorinya berjalan. Akhirnya tangannya menunjuk-nunjuk sambil setengah berteriak: ‘Ya, ini dulu rumah saya. Dia menangis’,” ujar Bagus.
Foto keluarga serdadu KNIL bersama istrinya yang orang Jawa dan anak-anaknya, di Magelang, 1920. KITLV
Kisah Andries menjadi lampiran buku yang ditulis Tedy Hernawan, sejarawan, yang juga mengenal Andries. Buku ini menjelaskan kehidupan warga Indo Magelang pada 1920-1940-an. Magelang adalah kota tangsi, kota garnisun, kota yang menjadi pusat militer Belanda. Juga kota yang menjadi awal gerakan misionaris di Jawa. Buku ini memaparkan bagaimana misionaris dan tentara adalah pekerjaan yang membuat awalnya banyak orang Eropa datang ke Magelang. Banyak tentara totok Eropa kemudian mengawini perempuan setempat dan membentuk sebuah lapisan sosial baru: kalangan Indo. Buku ini berusaha menyodorkan fakta bagaimana kalangan Indo karena berdarah campuran mendapat tekanan sosial dan mental dari kalangan totok. Sebuah rasisme dan diskriminasi terjadi. Tedy bahkan mengatakan, bagi Andries, ingatan tentang orang-orang totok adalah sesuatu yang traumatis.
Melalui studi arsip-arsip pemerintah Belanda, majalah-majalah, dan surat kabar 1920-1930-an, Tedy merekonstruksi kehidupan kaum Indo Magelang. Data memperlihatkan bahwa sebagian besar kaum Indo yang lahir di Magelang sampai 1945-an belum pernah melihat Belanda. Sebagian besar orang Indo di Magelang berasal dari keluarga militer dan tinggal di tangsi-tangsi militer. Mereka banyak bekerja sebagai serdadu KNIL yang didirikan 1933, atau melakoni berbagai pekerjaan wiraswasta yang menunjang perekonomian Magelang.
Buku ini tidak secara langsung menyajikan ketegangan-ketegangan sosial antara warga Belanda totok dan warga Indo. Alih-alih menyajikan panorama kaum Indo yang tersisih dari pergaulan totok, Tedy memusatkan pada gaya hidup orang Indo di Magelang. Menurut Tedy, agar “diterima” sebagai bagian Belanda, warga Indo berjuang keras mengadopsi gaya hidup masyarakat Eropa. Pada titik inilah Teddy berbicara tentang imajinasi modernitas Eropa.
Tedy menjelaskan salah satu cara menjadi orang Eropa bagi orang Indo adalah menyelami gaya hidup terbaru Eropa. Data memperlihatkan di Magelang saat itu muncul toko-toko busana, toko parfum, salon yang menyediakan jasa potongan rambut Eropa terkini, toko tas, dan apa pun sedang in di Belanda. Tedy mendapatkan data pada 1920 nilai impor busana dari Belanda ke Magelang sampai sebesar 2 juta gulden.
Kaum Indo juga mengikuti acara-acara di Societet de Eendracht. Di sana laki-laki bermain billiar dan para perempuan mengikuti demo-demo kecantikan atau kelas-kelas dansa. Akan halnya di Jalan Grooteweg banyak toko-toko menjual minuman dan makanan kaleng, seperti margarin Blue Band yang didatangkan dari Belanda. Menonton bioskop adalah juga bagian hiburan dari warga Indo. Magelang memiliki dua bioskop: Roxy Theater dan Alhambra Theater yang selalu memutar film Amerika Serikat. Mendengarkan musik klasik di radio adalah bagian sehari-hari para Indo. Radio penting bagi warga Belanda dan Indo, sampai-sampai di Magelang saat itu terdapat cabang Radio van Wingen Belanda. Hadirnya studio-studio fotografi seperti Midori—Japansch Fotografisch Atelier—juga memunculkan kegemaran potret keluarga.
Betapapun sudah berusaha menyesuaikam gaya hidup, tetap terdapat gap antara kaum totok dan Indo. Andries, misalnya, dikisahkan tak suka berenang di badplaats (kolam renang) Hotel Lotse—karena di situ selalu banyak anak totok yang selalu menimbulkan masalah. Andries lebih suka ke kolam renang militer di Pisangan. “Saat Andries bercerita tentang hal itu sepertinya ia memendam sesuatu yang menyakitkan di masa kecil,” kata Bagus. Tedy sendiri menyinggung pada 1920 masyarakat Indo Magelang sampai mendirikan Partai IEV (partai orang Indo) yang aktif menyuarakan hak-hak warga Indo. Sayang bagian ini tidak dieksplorasi lebih banyak.
Bagian menarik adalah mengenai pastor Johannes van der Steur. Tidak banyak buku yang mengulas Van der Steur. Biografi Van der Steur sesungguhnya bisa menjadi kajian tersendiri. Van der Steur bisa disebut pelopor panti asuhan di Indonesia. Ia mendirikan panti asuhan Oranje Nassau di Magelang—yang sebagian besar menampung anak-anak Indo yang lahir dari pergundikan tapi tidak diakui. Van der Steur sampai keluar-masuk desa-desa di Magelang mencari anak-anak Indo yang telantar. Di panti asuhannya mereka lalu diberikan pendidikan kejuruan. Di Magelang, Tedy menjelaskan, terdapat dua lapisan Indo: kaya dan miskin. Anak-anak dan remaja Indo yang tinggal di panti asuhan Van der Steur tergolong papa. “Saya masih merawat kuburan Van der Steur sampai sekarang,” tutur Bagus.
Buku ini penting, terlebih akhir-akhir ini terjadi “rame-rame“ di Belanda tentang “Periode Bersiap” yang tak digunakan sebagai tema utama dalam pameran revolusi Indonesia yang diadakan di Rijksmuseum Belanda. “Periode Bersiap” adalah istilah dalam perspektif Belanda untuk menengarai adanya pembunuhan terhadap warga Belanda dan Indo yang dilakukan laskar-laskar pada 1945-1949. Apakah Magelang juga dilanda kekerasan “Periode Bersiap”? Andries tidak menceritakan adanya kekerasan itu. Dia hanya mengatakan saat Jepang datang pada 1942 keluarganya diungsikan pembantunya ke kampung selama tiga tahun. Dan ayahnya menjalani kerja paksa di Burma. “Setelah ayahnya balik ke ke Magelang, Andries sempat menyebutkan ayahnya ditahan lagi, tapi apakah oleh tentara Republik atau bukan, saya tidak tahu,” ucap Bagus. Penelitian Tedy sendiri hanya membahas warga Indo di Magelang hanya sampai saat Jepang masuk, tidak menyinggung sedikit pun tentang “Periode Bersiap”.
Tedy misalnya tak membahas sekolah Katolik dan asrama putri Muntilan yang dikelola biarawati Fransiskan dan pernah menjadi tema novel Romo Mangunwijaya. Sekolah Katolik ini mengalami nasib tragis. Saat Jepang datang, sekolah dibubarkan dan para biarawati masuk ke kamp internir. Setelah Jepang hengkang, sekolah dan asramanya dibumihanguskan oleh laskar. “Tapi sejauh data-data belum pernah saya menemukan info adanya pembunuhan terhadap warga Belanda dan Indo di Magelang pada masa-masa itu,” tutur Bagus.
Foto keluarga blasteran Indonesia-Belanda di Jawa, 1900. KITLV
Bagus mengakui panti asuhan Van der Steur pasti menjadi target karena mayoritas berisi orang Indo. “Saat Jepang masuk, Romo Van der Steur dipenjarakan di Cimahi. Dan sebagian penghuni panti asuhan diungsikan ke Bandungan, Semarang. Di kawasan itu juga terdapat sekolah Ambon, tempat anak-anak serdadu KNIL asal Ambon dan Flores bersekolah. Tapi saya belum pernah dengar ada serangan-serangan terhadap mereka,” ujar Bagus. Akan halnya Gunawan Witjaksono, warga Magelang, ingat almarhum ayahnya pernah bercerita bahwa kakek buyutnya yang bernama Haji Nurhasim banyak dititipi sertifikat tanah oleh para warga Belanda dan Indo yang ikut repatriasi. “Mereka berharap bisa kembali lagi. Tapi ternyata mereka tak balik. Oleh kakek buyut saya surat-surat tanah itu diserahkan ke pemerintah Republik,” tutur Gunawan.
Menurut Bagus, para Indo yang datang mengunjungi Magelang banyak yang ingin bernostalgia. Selain Andries, ada lima lagi orang Indo lain dari Belanda yang pernah diantarnya mencari rumah masa kecil. Salah satunya adalah Oma Ivonne. “Umurnya 89 tahun saat saya pada 2018 bertemu. Oma Ivonne malah 76 tahun meninggalkan Magelang,” kata Bagus. Menurut Bagus—yang juga memberi kata pengantar buku Teddy, Oma Ivonne bisa berbahasa Jawa dan Indonesia secara lancar. Oma Ivonne, papanya Belanda pengusaha tapioka di Magelang. Ibunya Jawa,” tutur Bagus.
Oma Ivonne memiliki dua saudari. Pada 1940-an kedua saudarinya tinggal bersama orang tuanya di daerah Galagah, Banjarnegara, sementara dirinya tinggal bersama neneknya di Kampung Botton, Magelang. Saat repatriasi, Oma Ivonne ikut ayahnya ke Belanda, sementara ibu dan dua adiknya tetap di Jawa. Di Belanda ia menjadi sopir bus. Pada 2018, ia mencari adik-adiknya dan ternyata hanya satu orang yang bernama Joyce. “Bersama Oma Ivonne saya lalu mencari rumah neneknya di Kampung Botton. Saya mempertemukan Oma Ivonne dengan Oma Martha, warga Kampung Botton keturunan Manado yang saat itu berumur 90 tahun. Mereka bercakap dalam bahasa Belanda. Ternyata Oma Marta masih ingat rumah Indo,” kata Bagus.
Bagus mengenang saat itu hujan rintik. Oma Ivonne, yang setahun lalu meninggal, memakai payung tercenung lama di depan sebuah rumah di samping gang kecil. “Ini rumah saya dulu,” ujarnya lirih. Kemudian tiba-tiba Oma Ivonne berjalan sendiri di pojok. “Saya ingat di sini dulu ada seorang perempuan Indo yang berjualan bubur. Dia setiap hari mengenakan kebaya putih, berjarit batik.”
Dalam Bayang-bayang Modernitas: Orang-orang Indo di Kota Magelang pada Akhir Masa Kolonial
Penulis: Tedy Harmawan
Penerbit: Terang, 2021
Jumlah Halaman: 176
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo