Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal karya-karya fotografi Angki Purbandono.
Karya fotografi yang menggunakan teknik scanography.
Melawan pemahaman bahwa fotografi harus menggunakan kamera.
FOTO kemasan obat berwarna putih dengan ukuran 188 x 120 sentimeter itu terpajang di dinding ruang pameran galeri Biasa Art, Ubud, Bali. Foto yang sama juga terpajang di sebelahnya, tapi dengan ukuran yang lebih kecil: 167 x 50 sentimeter. Ukuran asli dari kedua kemasan obat ini sekitar beberapa sentimeter saja. Tapi, dengan teknik scanography, seniman Angki Purbandono melipatgandakan ukuran bungkus obat tersebut hingga ratusan kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kemasan obat yang paling besar berasal dari Eropa. Masih tersisa tujuh butir obat dari total 28 butir tablet yang ada. Selain itu, terdapat tulisan “norethindrone and ethinyl estradiol tablets, UPS”. Istilah ini merujuk pada obat anti-kehamilan atau alat kontrasepsi. “Ditemukan secara tidak sengaja di tempat sampah,” kata Angki Purbandono kepada Tempo melalui sambungan telepon, Rabu, 2 Maret lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya berjudul Anti Pregnant itu adalah salah satu karya Angki dalam pameran “Stories from The Store Room #2” di Biasa Art yang berlangsung pada 22 Februari-31 Maret 2022. Angki membuat karya-karya foto dalam pameran tunggalnya itu dengan teknik scanography. Alih-alih menggunakan kamera, Angki meletakkan obyek yang ingin diambil citranya menggunakan scanner (mesin pemindai).
Seniman yang tinggal di Yogyakarta ini menuturkan karya Anti Pregnant memiliki kesan personal. Ia menemukan dua bungkus pil anti-kehamilan saat masih berada di Seoul, Korea Selatan, pada 2006. Alat kontrasepsi itu digunakan oleh rekan perempuannya di Korea Selatan.
Angki Purbandono. Dok. Pribadi
Karya Angki yang lain adalah Soju, berukuran cukup besar, 120 x 241 sentimeter. Karya ini merupakan foto botol minuman khas Korea, soju. Botol itu dipoles cat warna-warni, seperti merah, kuning, dan biru. Pada pameran kali ini, Angki hanya menampilkan karya tentang soju tersebut.
Sebetulnya, Angki membuat sepuluh karya foto tentang minuman keras asal Korea itu. Di antaranya, botol soju yang dibungkus beberapa balon karet, botol soju dengan gambar bintang dan hewan lucu, botol yang berisi pengatur suhu, hingga botol soju yang dibungkus gambar angka dan huruf Korea. “Karya soju merupakan representasi budaya minum orang Korea. Setiap bulan saya memfoto satu botol soju berbagai bentuk,” ujarnya.
Karya lain yang juga berlatar Korea adalah Korean Candy. Ini merupakan karya foto bungkus permen yang ditemukannya di jalanan Seoul. Angki membuat dua foto dari bungkus permen.
Korean Candy menampilkan warna oranye menyala dan yang satunya berwarna perak bergaris merah. Cahaya neon dari dalam kotak berbahan pelat besi membuat karya ini dinamis, meski dua dimensi dari benda sehari-hari. “Ini karya-karya awal mulai masuk pasar seni rupa,” tuturnya.
Sebelumnya, Angki juga pernah membuat pameran tunggal di Biasa Art pada 2008 dengan judul “Happy Scan” sepulang dia dari Korea Selatan. Selanjutnya pada 2009 ia terbang ke Jepang untuk belajar lebih dalam tentang mesin pemindai yang dijadikan alat fotografi. “Ingin melawan pemahaman orang bahwa foto harus menggunakan kamera,” katanya.
Saat kuliah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Angki mengambil program studi fotografi pada Fakultas Seni Media Rekam. Meski kuliahnya tak sampai lulus, ketertarikan pria kelahiran Kendal, Jawa Tengah, pada 1971 ini pada dunia fotografi tidak pernah padam.
Saat itu Angki pun kemudian memilih hidup di sejumlah komunitas seni di Yogyakarta. Angki tumbuh pada komunitas seni Cemeti Art House dan Mes 56. Hingga 2005, ia tidak sengaja menemukan pola fotografi dengan mesin scanner ketika melihat teman satu rumah kontrakannya sedang memindai naskah.“Saya coba scan korek api, hingga akhirnya menjadi sebuah foto. Eureka, ini penemuan,” tuturnya.
Karya awal Angki berjudul Am Happy yang dibuat pada 2005 juga ditampilkan dalam pameran “Stories from The Store Room #2”. Obyeknya terbuat dari kabel bekas yang disambung dengan beberapa pecahan mainan anak, seperti orang-orangan, kaki palsu, dan pengait berbahan plastik. Karya ini yang membuatnya mendapatkan beasiswa ke Korea Selatan yang difasilitasi oleh Cemeti Art House. “Nama scanography baru muncul pada 2010. Ini menjadi respons atas apa yang saya lihat dan terjadi pada kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Anti Pregnant #2 karya Angki Purbandono di galeri Biasa Art, Ubud, 1 Maret 2022. TEMPO/Made Argawa
Sebelum menggunakan teknik scanography, Angki yang tidak memiliki kamera sempat bereksperimen dengan foto. Saat itu, ia pergi ke studio foto dan berfoto dengan beberapa pakaian, seperti atlet, tentara, polisi, haji, hingga foto untuk wisuda. Waktu itu, Angki sedang bersemangat untuk melawan keyakinan bahwa foto harus menggunakan kamera.
Foto-foto yang dihasilkan dari studio itu dia kumpulkan pada ruang tamu rumahnya dan disandingkan dengan foto pernikahan. Konsepnya adalah foto sebagai identitas dari pemilik rumah. “Karya seni foto bukan perkara menekan tombol shutter kamera saja,” katanya.
Teknik foto scanography telah membawa Angki mengunjungi beberapa negara, seperti Korea Selatan, Malaysia, Jerman, hingga Selandia Baru, untuk berpameran tunggal ataupun kolaborasi. “Pameran ‘Stories from The Store Room #2’ adalah sisa karya dari pameran tunggal ‘Happy Scan’ pada 2008,” ucapnya.
Pada 2012, Angki sempat tersandung kasus narkotik, yakni penggunaan ganja, hingga dia divonis hukuman setahun penjara dan mendapatkan remisi dua bulan. Saat menjalani hukuman penjara, Angki juga tetap berkarya dan membawa perlengkapan mesin pemindai ke dalam penjara. “Untungnya diperbolehkan oleh kepala penjara,” tuturnya.
Saat ini teknik scanography Angki tidak banyak berubah secara bentuk dan ide kreatif. Hanya pada teknik cetak foto dari mesin pemindai. Angki menyebutkan saat ini ia sudah bisa langsung mencetak pada papan akrilik. Dulu saat baru memulai, ia harus mencetak foto pada media kaca film lantas dijepit dengan papan akrilik.
Pengunjung pameran foto karya Angki Purbandono di galeri Biasa Art, Ubud, 1 Maret 2022. TEMPO/Made Argawa
“Bagian belakang pakai akrilik putih, depan transparan. Untuk penggunaan lampu penerang saat ini sudah pakai jenis LED (light-emitting diode),” ujarnya. “Tim saya juga sudah menemukan bahan akrilik yang bisa mengatur pencahayaan, sehingga foto menjadi tajam.”
Selain berkarya, kini Angki berfokus menjaga kesehatannya. Jantung pria berambut sebahu ini sudah dipasangi tiga buah ring. “Atur pola hidup saja, banyak olahraga ringan,” katanya.
Administrator galeri Biasa Art, Widi Astuti, mengatakan tujuan pameran “Stories from The Store Room #2” adalah memberikan penyegaran bagi dunia seni di Bali karena sebelumnya kondisinya lesu karena dampak pandemi Covid-19. “Sengaja kami buka untuk umum, agar dunia seni khususnya di Bali kembali bergairah,” ujarnya.
Menurut Widi, karya Angki paling diminati yang memakai teknik scanography oleh kolektor dan museum adalah seri Soju. “Selain itu, Anti Pregnant,” ucapnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo