"GHEA" memang pelangi jumputan -- dan terbaik untuk tahun 1986-1987. Perancang koleksi pakaian jadi wanita merk itu, siapa lagi kalau bukan Ghea Sukasah. Dalam acara di Balai Sidang Senayan, Jakarta, Sabtu barusan, Ghea menerima Piala Aparel, patung logam warna perak. Ia mengalahkan lima nominator: Biyan, Itang Yunasz, Ramli, Samuel Wattimena, dan Prayudi Admodirjo -- yang pada 1985-1986 merebut Aparel I. Pada tahun ini, untuk kedua kalinya, Aparel sebuah lagi diraih Lily Salim --untuk penjualan pakaian jadi wanita terlaris. Untuk kategori "terlaris" datanya dipantau dari penjual, yang di tokonya minimal menjual karya tiga perancang sekaligus. "Ghea menyerap trend dengan mempertahankan ciri rancangannya dan pemakaian motif tradisional," tutur Cynthia Sujanto, salah seorang juri. Para juri nan 13 redaktur mode itu dari Femina, Pertiwi, Sarinah, Mode, Kartini, Rias, Kompas, Suara Pembaruan, dan Berita Buana. Kriteria juri: kreativitas, kesinambungan berkarya, penyesuaian dengan trend, konsistensi garis desain, mutu produk, dan pemakaian bahan dalam negeri. "Tujuan Piala Aparel adalah untuk mengarahkan mode kita agar tak melenceng. Jangan tukang jiplak pun disebut perancang," kata Cynthia. Tapi boleh saja si perancang berkiblat ke Barat, asal ciri Indonesia dipertahankannya. Ghea, 32 tahun, belajar merancang selama tiga tahun di London. Menurut dia jika ingin berstatus sebagai perancang busana, harus memiliki identitas. "Kalau hanya sebagai pengusaha pakaian, ya, beli mesin saja, nyontek, lalu bikin produksi masal," kata ibu dua anak itu. Ghea yang berdarah Sunda-Belanda dan gemar melukis itu kemudian mengambil unsur etnis -- sebagai ciri rancangan. Mulanya, dia menggaet motif-lurik Jawa dan tenunan Bali. Kain bergaris-garis ini diubahnya jadi "etnik style". Misalnya, rok lebar blus longgar pakai ikat pinggang perak. Atau cukup batik yang diikat di pinggang, sebagai rok -- mirip kostum perempuan desa mencuci ke sungai. Sejak itu Ghea mulai dikerling. "Seringkali rumah saya digedor tengah malam. Ada teman mendesak dibuatkan baju karena ia akan menghadiri undangan," katanya. Suatu kali Ghea terpikat pada motif pelangi jumputan, yang biasa dikenakan sebagai selendang dan kemben oleh si Mbok di Jawa Tengah. Ia juga tertarik pada motif pelangi Tana Toraja. Tapi ada masalah: proses ikat dan celupnya itu dikerjakan dengan tangan. Butuh waktu. "Kalau saya mau bikin sepuluh baju, berapa lama saya mesti menunggu?" ujar Ghea. Di samping itu, bahan voilissima jumputan tak tahan lama. Warnanya mudah bluwek. Kemudian ia mencetak dengan mesin, di atas bahan rayon, katun, dan silk. Lalu warna dan motifnya dimodifikasikan. Sejak 1986, busana bermotif pelangi jumputan itu tergantung di berbagai pusat perbelanjaan, dan menghias beberapa majalah. Kini fans karya Ghea, antara lain Nyonya Rahmi Hatta, Dewi Soekarno, Nyonya Hartini, Nyonya Ginandjar Kartasasmita, Marissa Haque, Zoraya Perucha. "Saya punya koleksi jumputan Ghea sekitar 12 potong. Warna dan modelnya macam-macam. Saya suka baju itu, karena mencerminkan Indonesia," cerita Perucha. Bukan bahannya saja. Citra tentang penggunaannya juga diubah. Jumputan, misalnya, tak hanya cocok berpasangan dengan jarik. Ghea mengubah jumputan menjadi celana pendek, rok dan blus, sampai gaun panjang. Untuk tahun 1987-1988, trend mode yang bersiluet langsing, warna-warna pastel dan celana balon mengilhaminya dalam mengubah bahan tradisional. "Sekarang produk saya berkisar 1.850 potong per bulan," kata Ghea. Pegawainya dari dua kini sudah 40 orang. Sedangkan produksi Lily Salim, dengan merk Rosella, laku sekitar 6.000 potong per bulan. Dan titik berat harganya Rp 25 rlbu, kecuali sutera sejumlah 300 potong, berharga sampai Rp 100 ribu. Tapi biasanya Lily mengolah batik dan dapat dikembangkan ke mana maunya. Wanita bertubuh kecil ini bermain dengan motif batik sejak 1973, setelah belajar manajemen dan mode 10 tahun di Jerman Barat. Dalam mencipta, Lily bertahan pada yang sederhana. "Dan saya tak mau bikin yang heboh-heboh," ujarnya tertawa. Sebab, katanya, ibu rumah tangga ada yang enggan atau tak mau membeli pakaian seperti itu. Sedangkan pakaian extraordinary cocok untuk mereka yang banyak kesempatan pamer. Misalnya, peragawati dan artis film. Yang menggembirakan, termasuk Lily, bahwa sejak 1980 para wanita di sini mulai bangga mengenakan busana hasil desainer Indonesia. "Ketika 1973 saya datang ke Indonesia, pakaian ready to wear dianggap barang murahan," kata Lily. "Sejak para perancang itu muncul, kini jenis baju yang dijual juga bertambah," kata sumber di pemasaran Sarinah di Jalan Thamrin, Jakarta. Misalnya karya Arthur Harlan, laku 100 potong per bulan. Disusul karya Ratna Dumilah dan Poppy Dharsono. Nama desainer memang sedang berkibar. Menurut Mien R. Uno 46 tahun, ide memberikan Aparel itu bagus sekali -- ibarat Citra di film. Nama perancang busana, seperti di karya seni lainnya, sudah waktunya dikukuhkan dan dihargai. "Sekaligus konsumen bangga memakai karya mereka," tambah pengajar di sekolah mode itu. Mien, yang juga direktris sekolah pengembangan pribadi John Robert Powers cabang Indonesia, kalau ke luar negeri, getol memasukkan pakaian perancang Indonesia ke dalam kopornya. Keberadaan para perancang itu dimulai sekitar 1979 -- setelah Grup Femina mengadakan Lomba Perancang Mode. Kemudian muncullah nama-nama seperti Samuel Wattimena dan Itang Yunasz. "Lomba itu untuk menggali bakat-bakat muda," kata Pia Alisjahbana, pencetusnya. Bunga Surawijaya Laporan Erlina Sukarno & Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini