Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEPAS tengah hari yang panas terik, Maulida Rahma melipir ke Nimna Book Café di Jalan Sukahaji 126, Bandung, Jawa Barat. Mahasiswa teknik industri di Institut Teknologi Bandung berusia 20 tahun itu memilih duduk berlesehan di belakang meja kecil di sebuah panggung berlatar rak kayu yang penuh berisi buku.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak tahu soal Nimna dari Internet sekitar setahun lalu, Maulida rutin mampir di kafe buku tersebut. “Suasana dan tempatnya nyaman dengan tema book cafe. Jadi enak kalau buat belajar atau buka laptop,” katanya kepada Tempo, Senin, 7 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nimna, dari bahasa Sanskerta yang berarti “dalam”, didirikan Agnes Stephania, 39 tahun, dan Della Angelina, 35 tahun. Dua saudari sepupu itu merintisnya pada 2016. Nimna menggunakan kursi dan meja serta hiasan plafon dari kayu pohon pinus.
Para pengunjung bisa memilih duduk di teras atau di dalam ruangan berpenyejuk udara dengan iringan musik jazz bosanova. Menempati ruangan seluas 80 meter persegi yang bagian depannya berjendela dan berpintu kaca, mereka memposisikan rak buku serta panggung di ruang depan dan belakang.
Agnes menyebutkan saat ini ada sekitar 2.000 judul buku yang memenuhi rak. Setiap buku diberi label seperti di perpustakaan. Jenisnya pun beragam, dari komik, buku cerita yang disertai pop-up, novel, sejarah, politik, budaya, hingga desain arsitektur.
Sebagian besar buku adalah koleksi Agnes dan Della yang mereka angkut dari rumah. Ratusan lainnya hasil hibah dari berbagai pihak, juga ada buku titipan untuk dibaca secara gratis. Sebelum dipajang, buku-buku itu diperiksa dulu isinya untuk dipastikan layak dibaca umum.
Buka pada pukul 09.00-21.00 WIB dengan hari libur tiap Selasa, Agnes mengungkapkan, kafe itu dikunjungi 200-300 orang per minggu. Para pengunjungnya beragam. Pada akhir pekan, biasanya datang pengunjung keluarga. Di hari kerja, umumnya yang datang adalah kalangan pegawai dan mahasiswa.
Sebagian pengunjung mencari buku untuk belajar kelompok, seperti mahasiswa arsitektur dan kedokteran. Ada juga pekerja yang meminta izin untuk mengadakan rapat daring dengan menggunakan fasilitas Wi-Fi Internet gratis. Tentu saja, sambil beraktivitas, para pengunjung memesan makanan dan minuman.
Nimna Book Café tidak memberlakukan aturan yang ketat bagi pengunjung. Para tamu bebas memilih dan membaca buku sambil makan dan minum, duduk atau tiduran. Menurut Della, sudah lazim ada buku yang halamannya tersiram minuman atau rusak setelah dipakai bocah cilik. “Orang tuanya ada yang meminta maaf, kami terima,” ujarnya.
Namun mereka menolak permintaan seorang pelanggan yang ingin membawa pulang serial komik Mahabharata karena selalu gagal tuntas membacanya di tempat. “Kami sedari awal tidak meminjamkan buku,” tutur Agnes.
Agnes, yang besar di keluarga pembaca buku, semasa sekolah menengah atas pernah berangan-angan punya suatu tempat untuk membaca buku dengan santai. “Dulu bayangannya bukan kafe, cuma tempat pojok kecil yang ada bukunya tapi bisa membaca sambil minum kopi atau teh,” ucapnya.
Semasa kuliah arsitektur di Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, ia suka berkunjung ke tempat penyewaan buku atau perpustakaan di sekitar kampus. Idenya pun berkembang hingga ia melanjutkan studi S-2 di luar negeri. “Sebenarnya tempat yang tidak terlalu ramai tapi enak buat ngumpul atau melamun,” katanya. “Jikapun banyak orang, suasananya tidak lantas menjadi gaduh.”
Nimna Book Cafe di kawasan Sukahaji, Bandung, Jawa Barat, 10 Oktober 2024./TEMPO/Prima Mulia
Della menjelaskan, Nimna berkapasitas 30 orang tapi pengunjung bisa lebih banyak dalam acara khusus. Misalnya acara kumpul komunitas literasi, peluncuran buku oleh penulisnya, pembacaan puisi, menggambar untuk anak, dan konser musik akustik. Nimna juga beberapa kali menjadi lokasi pemotretan pranikah pasangan serta pengambilan gambar untuk video musik dan iklan produk.
Adapun sajian kuliner yang mereka siapkan menunya antara lain aneka kopi dan teh panas ataupun dingin serta mocktail. Kemudian pada daftar makanannya ada olahan kentang, naco, olahan telur untuk sarapan, pasta, dan nasi goreng.
Menu spesialnya adalah resep olahan Agnes, yaitu piadina, roti pipih khas Italia dengan isian yang bisa dipilih, seperti sayuran, daging, dan ikan tuna. Harga menunya berkisar Rp 12-60 ribu.
Nimna Book Café hampir ditutup karena terkena dampak pandemi Covid-19, Della dan Agnes memutuskan melanjutkan usaha itu karena sudah punya pelanggan. Untuk meningkatkan jumlah pengunjung, Nimna yang dikelola enam pegawai itu menjual merchandise. Rencana lain adalah pengembangan menu yang sedang diuji coba Agnes berupa pasta Jepang alias wafu.
•••
KAFE buku alias book cafe adalah tempat yang menggabungkan fungsi toko buku atau perpustakaan dengan kedai kopi, sehingga pengunjung bisa membaca buku sambil menikmati minuman dan makanan. Bahkan beberapa kafe buku juga kerap menggelar acara literasi, seperti bedah buku, diskusi, dan nonton bareng film.
Kehadiran kafe buku semakin marak di sejumlah kota di Indonesia belakangan ini. Selain Nimna Book Café di Bandung, ada salah satu kafe buku di Jakarta yang kerap direkomendasikan para selebgram buku: Ruma Coffeatery. Para pengunjung bisa menikmati hidangan atau menyesap kopi sambil membaca buku di kedai tersebut.
Ketika pertama kali dibuka di Jalan Cipaku, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 2019, kedai itu awalnya menawarkan konsep makan prasmanan. Namun, sejak 2020, konsep itu berubah. “Kami ganti konsep lebih ke coffee shop yang sampai sekarang ini masih berjalan,” kata Martri Indra Isworo, Manajer Operasional Ruma Coffeatery.
Ruma Coffeatery menawarkan tempat yang nyaman untuk work from cafe atau WFC, dengan fasilitas stopkontak dan jaringan Wi-Fi. Koleksi buku, Indra menerangkan, baru ada setelah kedai itu membuka cabang di Jalan Bangka, Jakarta Selatan.
Kedai kedua Ruma Coffeatery itu berada di compound space, yaitu ruang kreatif terbuka yang diisi berbagai toko. Tempatnya pun lebih minimalis dan hanya menjual minuman. “Karena minimalis, kami taruh 200-300 buku di rak,” ujarnya.
Indra mengungkapkan, pengunjung di cabang kedua ini cukup antusias atas kehadiran buku-buku. Ada yang datang secara individu, ada pula yang berkelompok bersama komunitasnya untuk membaca buku di kafe.
“Pernah ada pengunjung yang datang membaca buku sampai menandai halamannya,” ucap Indra. “Besoknya datang lagi buat nerusin membaca.”
Beberapa pengunjung pun berinisiatif mendonasikan buku untuk menambah koleksi di rak bacaan kafe tersebut. Sebagian besar buku di Ruma Coffeatery kini merupakan pemberian pengunjung. Di antaranya buku biografi, novel, dan kumpulan cerita pendek.
Operational Manager Martri Indra Isworo di Ruma Coffeatery, Jakarta, 15 Oktober 2024./TEMPO/Martin Yogi Pardamean
Melihat besarnya minat pengunjung untuk membaca, pemilik Ruma Coffeatery kemudian menempatkan rak berisi buku-buku di cabang terbaru di Blok M, Jakarta Selatan, dan di kedai pertamanya di Jalan Cipaku.
Koleksi bukunya pun beragam. Namun, Indra menjelaskan, buku-buku di Jalan Bangka yang paling lengkap, dari buku anak hingga dewasa. “Karena di Bangka pengunjungnya hampir semua kalangan, tua, muda, gen Z juga ada,” katanya.
Indra mengungkapkan, tak ada masalah bila pengunjung berlama-lama di kafe. Untuk mengoptimalkan pendapatan, pihaknya berfokus pada penjualan camilan. Biasanya, di awal pemesanan, pengunjung selalu ditawari membeli camilan.
Kudapan yang tersedia antara lain singkong dan pisang goreng serta tahu cabai garam yang menjadi menu best seller. Jika pengunjung ingin makan makanan berat, Ruma Coffeatery menyediakan beberapa hidangan, yaitu soto Betawi, rawon, dan smoked brisket.
Buku-buku di Ruma Coffeatery pun boleh dipinjam tanpa biaya sewa. Syaratnya cukup mudah. Pengunjung hanya perlu meninggalkan nomor telepon seluler yang aktif. Mereka diberi izin membawa pulang buku selama empat-lima hari.
•••
KAFE buku juga hadir di Yogyakarta. Salah satunya Kebun Buku – Art, Books & Coffee di Jalan Minggiran, Suryodiningratan. Sejak dibuka pada pukul 11.00 hingga 18.00, kedai dua lantai itu tak pernah sepi. Saban hari, selalu ada yang datang, dari yang sekadar mengobrol dan memesan aneka seduhan kopi hingga yang serius membaca buku di tengah keriuhan percakapan pengunjung lain.
“Di sini yang utama adalah buku dan pameran seni. Sajian menu hanya pelengkap,” kata Junedi, pengelola Kebun Buku, kepada Tempo, Kamis, 10 Oktober 2024.
Sajian menunya sederhana. Ada aneka kopi yang diseduh lewat mesin espreso. Pengunjung yang tak menyukai kopi bisa memesan teh dan kudapan kentang goreng. Namun, yang spesial, koleksi buku yang mereka sajikan adalah buku-buku impor bekas berbahasa Inggris.
Ada dua ruangan bersekat yang digunakan untuk memajang buku. Satu ruangan berbatasan dengan dapur berisi buku-buku nonfiksi yang merupakan koleksi pribadi. Kebanyakan adalah buku biografi. “Biasanya yang butuh referensi datang ke sini. Kadang-kadang ada juga penulis,” ujar Junedi.
Sementara itu, di ruangan yang agak lebar, rak buku dari kayu memenuhi dua sisi dinding. Membentuk huruf L, rak-rak itu dipenuhi koleksi buku fiksi berupa novel berbagai genre, dari romansa, horor, petualangan, hingga konspirasi. Di antaranya aneka karya Ben Elton, Dan Brown, Janet Evanovich, J.K. Rowling, Sebastian Faulks, dan Clare Francis.
Semua buku itu didatangkan dari Belanda oleh pemilik sekaligus pendiri Kebun Buku, Hans Knegtmans, warga Belanda. Kebetulan di kota tempat tinggalnya, Leiden, ada bangunan yang dijadikan tempat mengumpulkan buku-buku yang berasal dari mereka yang sudah bosan lalu mendermakan koleksinya. Ada pula yang menyumbangkan koleksi buku warisan orang tuanya yang meninggal.
Orang-orang yang berminat bisa mengambil setidaknya 10 buku. Tak terkecuali Knegtmans. Ia mengambil dalam jumlah banyak. “Saya hanya mengambil buku berbahasa Inggris untuk dikirim kemari, karena orang-orang di sini jarang suka membaca buku berbahasa Belanda,” tutur Knegtmans, 71 tahun, yang baru pulang dari Leiden.
Kebun Buku di Suryodiningratan, Yogyakarta, 10 Oktober 2024./TEMPO/Pito Agustin Rudiana
Dalam setahun, setidaknya satu kali buku-buku itu dikirim. Sekali kirim bisa mencapai seribuan buku. Sampai di Kebun Buku, buku-buku tersebut dipajang untuk dibaca para pengunjung. Tak hanya membacanya di tempat, pengunjung juga bisa membelinya sehingga bisa dibawa pulang.
Harga buku-buku impor bekas itu berkisar Rp 20-60 ribu. “Dan saya tahu sulit untuk ketemu (buku impor) di sini. Kalau ada, harganya mahal sekali. Jadi saya berusaha membantu supaya orang di sini bisa baca buku yang baik dengan harga tidak terlalu tinggi,” ujar Knegtmans, pensiunan pekerja sosial.
Mayoritas pembelinya adalah mahasiswa, anggota komunitas buku, dan pencinta buku. Mereka tak hanya berasal dari Yogyakarta, tapi juga berbagai kota lain di Tanah Air. Salah satunya Fauzan, mahasiswa dari Bandung. Akun Instagram Kebun Buku yang mengantar rasa penasarannya untuk singgah ketika berlibur di Yogyakarta. “Saya baru pertama kali ke sini,” katanya.
Sebelum di Yogyakarta, Knegtmans bersama temannya membuka toko buku impor di Bali. Karena jumlah pengunjungnya sedikit, pada 2014 Knegtmans memutuskan pindah ke Yogyakarta.
Knegtmans bertemu dengan seniman Sigit Bapak, lalu mereka mendirikan Kebun Buku yang semula bernama Kebun Bibi. Nama itu mereka ambil dari salah satu karya instalasi Sigit. Knegtmans merasa senang usahanya di Yogyakarta mendapat respons bagus. Banyak penyuka dan pemburu buku impor yang datang ke tempatnya.
Lima tahun kemudian, setelah Sigit tak lagi bergabung, nama Kebun Bibi berubah menjadi Kebun Buku. Hingga kini, selain memiliki koleksi buku impor, Kebun Buku selalu menghadirkan karya-karya perupa di ruang dan dindingnya. Ada aneka lukisan, karya instalasi, juga gambar mural di tembok luar bangunan. Karya-karya itu berganti tiap dua bulan.
•••
KEHADIRAN kafe buku juga mewarnai kegiatan literasi di Kota Malang, Jawa Timur. Salah satunya kafe buku Oase Cafe & Literacy. Kafe ini berlokasi di Jalan Joyoutomo V Blok F Nomor 1, Merjosari, Kecamatan Lowokwaru, Malang.
Oase Cafe menjadi tempat asyik untuk berdiskusi, mengobrol, dan membedah buku. Sebagian besar pengunjungnya berstatus mahasiswa, akademikus, pelajar, dan aktivis. Lokasinya strategis, dekat dengan kampus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Universitas Brawijaya, dan Universitas Negeri Malang.
Buka mulai pukul 10.00 sampai 02.00 WIB, Oase Cafe menawarkan minuman dan kudapan dengan harga yang cukup ramah di kantong, berkisar Rp 8.000-14.000. “Bisa minum teh hangat saja seharga Rp 5.000,” kata Al Muiz Liddinillah, pemilik Oase Cafe, berpromosi.
Muiz bersama tiga temannya mendirikan kafe itu pada Januari 2017. Mereka patungan untuk menyewa tempat dan membeli perlengkapan kafe. Muiz mengungkapkan, ia dan ketiga temannya mendirikan Oase Cafe karena kecintaan mereka pada dunia literasi.
Saat masih menjadi mahasiswa, mereka mendirikan komunitas literasi Gubuk Tulis. Mereka kerap berdiskusi dengan beragam tema sosial dari warung kopi ke warung kopi. Di antara diskusi, Muiz juga berdagang buku. Hasil penjualan buku mereka gunakan untuk membiayai aktivitas Gubuk Tulis.
Setelah lulus kuliah, Muiz bersama ketiga temannya merintis Oase Cafe. Sekitar tiga tahun berjalan, pandemi Covid-19 menghantam bisnis mereka. Akhirnya ketiga teman Muiz memilih mundur dan menyerahkan pengelolaan kepada Muiz. “Sekarang mulai merangkak naik, pulih 60 persen. Pengunjung setiap hari 45-60 orang,” ujar Muiz.
Sejak berdiri, Oase Cafe boleh dibilang menjadi salah satu episentrum kegiatan literasi di Malang. Komunitas Gubuk Tulis, Gusdurian Malang, Perempuan Bergerak, dan Duta Damai Jawa Timur menjadi pelanggan tetap kafe buku tersebut. Mereka kerap menggelar berbagai acara, seperti bedah buku, diskusi, dan nonton bareng film.
Sejumlah tokoh pernah mereka hadirkan. Di antaranya indonesianis John Roosa; penulis buku Menjerat Gus Dur, Virdika Rizky Utama; sastrawan Soesilo Toer (adik sastrawan Pramoedya Ananta Toer); dan akademikus Monash University, Australia, Nadirsyah Hosen alias Gus Nadir.
OASE Cafe & Literacy yang menyediakan berbagai buku sastra dan filsafat untuk dibaca gratis di Malang, Jawa Timur, 12 Oktober 2024./Tempo/Eko Widianto
Muiz menjelaskan, kehadiran para tokoh itu menyedot perhatian pengunjung. Ia tak bisa lupa ketika jumlah pengunjung membeludak dalam acara bedah buku karya Gus Nadir. “Sebanyak 200 orang hadir. Hanya bisa menampung 100 orang, selebihnya di luar,” tutur alumnus Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang itu.
Oase Cafe menyediakan beragam buku yang bisa dibaca dan dipinjam secara cuma-cuma. Sebagian besar berupa buku sastra dan filsafat. Buku koleksi Oase Cafe didominasi sumbangan dari komunitas, pegiat literasi, dan penerbit. Pengunjung yang meminjam buku diminta meninggalkan kartu identitas. “Dulu longgar, bisa dibawa pulang, tapi ternyata 30-an buku tidak kembali. Hilang,” ucap Muiz.
Oase Cafe juga membuka toko buku. Toko Buku Oase dengan tagline “aku membaca, aku tak sendiri” menyediakan beragam buku dari penerbit Marjin Kiri, Obor, LKiS, Diva Press, Mata Bangsa, Globalindo, Alvabet, Pelangi Sastra, Kota Tua, Intrans, Langgar, Interlude, hingga penerbit indie lain.
Toko Buku Oase memberikan potongan harga bagi para pegiat literasi serta anggota komunitas sastra dan komunitas kajian lain. “Kami mendukung setiap kegiatan yang diselenggarakan komunitas yang berjejaring dengan Oase,” kata Muiz.
Setelah masa pandemi berakhir, Muiz mengungkapkan, geliat literasi dan komunitas agak menurun. Mahasiswa dan anak muda lebih menyukai aktivitas di media sosial dengan menampilkan beragam foto dan video di dunia maya. Sedangkan sebagian pengunjung dari kalangan pelajar sekadar minum dan bermain game bersama-sama temannya. Sebagian terlihat mengisap rokok. “Secara halus ditulari virus literasi. Kadang kami ajak ngobrol dan membaca buku yang tersedia di sini,” tutur Muiz.
Melalui Toko Buku Oase dan Oase Cafe & Literacy, Muiz menginisiasi berdirinya Oase Institute dan Oase Store. Oase Institute menjadi wadah penelitian dan pemberdayaan masyarakat. Adapun Oase Store merupakan lokapasar untuk toko buku Oase dan beragam produk kriya.
Oase Cafe & Literacy bersama komunitas Perempuan Bergerak dan Gusdurian menyelenggarakan Sekolah Literasi Gubuk Tulis untuk melatih penulis baru dan membuat konten di media sosial. Pada 2018, mereka menggelar bazar buku di Perpustakaan Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, berjudul “Proliterasiku; Literasi untuk Kemajuan”.
Mereka juga menyajikan pentas teater dan pelatihan bersama Ken Zuraida dari Bengkel Teater dan bedah buku. Toko Buku Oase dan Oase Cafe mendukung musikus pelaku dunia kreatif dan menjadi panggung bagi sejumlah musikus Malang, seperti Kerabat Swara, Han Farhani, dan Kak Fey.
Salah seorang pengunjung, Delta Nisfhu, mengaku mengenal Oase Cafe dari teman sesama mahasiswa. Ia diajak mengerjakan tugas kuliah di kafe itu pada medio 2021. “Suasananya enak untuk nugas, tenang dan ada fasilitas Wi-Fi yang memadai. Lokasinya dekat dengan kampus,” ujar mahasiswa akhir Universitas Negeri Malang itu.
Sebulan terakhir, Delta juga menggelar acara nonton bareng film dokumenter Kutukan Nikel karya Watchdoc di kafe buku tersebut. Sekretaris Jenderal Persatuan Pers Mahasiswa Indonesia Dewan Kota Malang ini pun kerap berinteraksi dengan teman-teman mahasiswa di Oase Cafe.
Namun Delta tak selalu membaca buku yang disediakan Oase Cafe. Kadang dia membawa buku sendiri untuk ia baca di kedai tersebut. “Kemarin saya baca novel Lemah Tanjung,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Anwar Siswadi (Bandung), Pito Agustin Rudiana (Yogyakarta), Eko Widianto (Malang) berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak artikel ini terbit di bawah judul "Geliat Literasi di Kafe Buku"