Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Budi daya keramba jaring apung di Danau Maninjau pernah dicemooh saat diperkenalkan pada 1992.
Jumlah keramba di Danau Maninjau terus bertambah karena masih dianggap menjanjikan secara bisnis.
Warga ingin ada sumber ekonomi alternatif jika diminta meninggalkan budi daya keramba.
RANGKAIAN petak keramba jaring apung berbaris di permukaan air Danau Maninjau di Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Lokasi umumnya adalah tepian pantai dan terpencar tak berpola hampir mengelilingi danau vulkanis yang memiliki tepian sepanjang 52,7 kilometer itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keramba jaring apung itu mendominasi budi daya perikanan di Danau Maninjau sejak pertama kali diperkenalkan pada 1992. Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Agam pada 2022, jumlah keramba untuk budi daya ikan nila saat ini sebanyak 23.359 petak. Jumlahnya tak pernah turun dari tahun ke tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut pengajar di Universitas Bung Hatta, Padang, Hafrijal Syandri, konsep budi daya keramba ini mirip seperti yang digunakan petani keramba di Waduk Cirata, Jawa Barat.Meski ada kemiripan bentuk, budi daya di Maninjau dan Cirata punya masalah dan tantangan berbeda karena jenis danaunya.
Fajri, warga pemilik keramba di Nagari Sungai Batang, mengatakan biaya membangun keramba lebih kurang Rp 8-9 juta. Untuk membangun dua petak berukuran 10 x 10 meter, dibutuhkan setidaknya 16 batang besi dan 10 drum. Harga besi Rp 150 ribu per batang, sementara satu drum Rp 250 ribu. Harga jaringnya bergantung ukuran. Untuk kebutuhan petak 5 x 10 meter, harganya Rp 3,5-4 juta. Harga benih nila Rp 130 per ekor.
Keramba 10 x 10 meter setidaknya membutuhkan 10 ribu benih. Dengan masa panen tiga setengah-empat bulan, pakan ikan atau pelet yang dibutuhkan 1,5 atau 2 ton. Harga per sak pelet ukuran 50 kilogram adalah Rp 530-580 ribu. “Perbedaan harga tergantung kandungan nutrisinya,” katanya. Keramba 10 x 10 meter membutuhkan pakan 2 ton atau sekitar Rp 22 juta.
Hasil yang didapat per petak, Fajri menjelaskan, sangat bergantung pada jumlah benih dan jumlah kematian ikan selama proses pembesaran. Faktor kualitas air juga berpengaruh. Benih yang disebar belum tentu bertahan sampai usia siap panen. Kalau yang ditebar 10 ribu benih, yang bisa bertahan sampai panen sebanyak 6.000-7.000 ikan.
Menurut Fajri, jika tak ada musibah tubo belerang dan pembalikan massa air, keuntungan bersih yang didapatkan petani bisa mencapai Rp 4-5 juta per petak. Pendapatan ini diperoleh dengan asumsi bahwa pembesaran ikan dilakukan sendiri dan tidak mempekerjakan orang lain.
Meski pernah dicemooh saat diperkenalkan, budi daya keramba kini banyak dilakukan warga sekitar Maninjau. “Banyak diikuti karena secara bisnis kelihatan menguntungkan,” ucap Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Agam Rosva Deswira saat ditemui di Bukittinggi, Rabu, 11 September 2024.
Rosva menerangkan, penghasilan bersih dari satu petak keramba bisa mencapai Rp 800 ribu per bulan. Guna memenuhi kebutuhan sehari-hari, satu keluarga cukup memiliki 10 petak keramba. Adapun 20 petak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan keperluan pendidikan. Memiliki lebih dari jumlah itu, petani keramba sudah masuk kategori jutawan dan bisa membeli mobil jip Rubicon.
Hendri, warga Jorong Gasang, Nagari Maninjau, juga bekerja di mata rantai keramba, yaitu sebagai tenaga pembibitan. Pekerjaan lain di mata rantai ini adalah pemberi pakan, penyuplai pelet, petugas panen ikan, dan tenaga penjualan ke pasar. Panen keramba bisa membutuhkan 10 orang. Upah yang diterima bergantung pada kesepakatan dengan pemilik keramba.
Belum bisa ditaksir berapa orang yang menikmati keuntungan langsung dari keramba jaring apung di Danau Maninjau ini. Rosva belum memiliki taksirannya. Walneg S. Jas, pengusaha yang lahir di Koto Gadang dan kini tinggal di Jakarta, menaksir jumlah warga yang bergantung pada keramba secara langsung sekitar 2.000 orang. Populasi Kecamatan Tanjung Raya sebanyak 37 ribu jiwa.
Tak diragukan lagi bahwa keramba meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar danau. Menurut Wali Nagari Maninjau Harmen Yasin, salah satu indikasinya adalah makin banyak rumah permanen dan bagus yang berada di sekeliling danau. “Banyak yang bisa menyekolahkan dan menyejahterakan anak mereka,” tuturnya.
Fajri juga merasakan manisnya kue ekonomi dari keramba ini. Ia dan adiknya lebih beruntung daripada kakaknya karena bisa melanjutkan pendidikan. Fajri bisa kuliah di Medan. “Alhamdulillah, karena keramba,” katanya saat ditemui di rumahnya, Kamis, 12 September 2024.
Namun limbah keramba yang berupa sisa pelet dalam jumlah banyak dan mengendap bertahun-tahun berkontribusi terhadap pencemaran danau terbesar kedua di Ranah Minang ini. Akibatnya, status air Danau Maninjau masuk kategori hipertrofik dan membuat obyek pariwisata yang berkembang pada 1970-an itu kolaps. Air yang kotor juga berdampak pada daya tahan ikan dan keuntungan yang didapatkan.
Bukan hanya kisah manis yang datang dari petani keramba. Cerita sedih biasanya datang saat terjadi tubo belerang atau pembalikan massa air yang menyebabkan kematian ikan secara massal. Hafrijal menjelaskan, pencemaran danau oleh pakan ikan yang mengendap bertahun-tahun memperparah musibah ini.
Hafrijal menambahkan, tubo belerang dan pembalikan massa air ini terjadi lima tahun sekali sebelum ada keramba. Saat warga memulai budi daya keramba di danau pada 1990-an, kadang-kadang fenomena alam ini terjadi dua kali dalam setahun. Saat petaka datang, jumlah ikan yang mati bisa mencapai hitungan ton.
Air danau yang keruh juga membuat tak semua benih bisa bertahan di dalam keramba sampai masa panen tiba tiga-empat bulan berikutnya. Hal ini mengurangi keuntungan yang bisa didapatkan petani keramba.
Hendri menambahkan, faktor lain yang juga membuat keuntungan tak sebesar sebelumnya adalah harga pakan yang meroket dibanding ha- ga benih dan harga jual ikan. Ia mengingat beberapa tahun lalu harga pakan masih Rp 45 ribu per sak. Kini harganya melonjak menjadi Rp 450-560 ribu per sak.
Hafrijal menerangkan, kerisauan akan pencemaran air danau inilah yang mendorong Pemerintah Kabu paten Agam meluncurkan gerakan Save Maninjau pada 2008. Program itu berupa rencana penyedotan sedimen pelet di dasar danau, pengurangan keramba hingga 6.000 petak sebagai jumlah yang bisa ditoleransi, dan penciptaan sumber ekonomi alternatif agar petani berpaling dari budi daya keramba.
Namun, Hafrijal mengimbuhkan, masa sulit yang dihadapi petani ini memang tak lantas membuat petani hengkang dari budi daya keramba. Kerugian akibat kematian ikan massal tak membuat mereka jera. Sebab, saat musibah tubo belerang dan pembalikan massa air berlalu, air danau cenderung lebih jernih.
Fajri menyinggung soal kematian ikan massal pada 2016. Tubo belerang saat itu menyebabkan 3.000 ton ikan mati. Akibat peristiwa itu, petani libur delapan bulan sampai setahun. Namun danau menjadi lebih jernih sehingga petani yang punya modal bisa kembali ke danau untuk menebus kerugian. Menurut Fajri, warga seperti tidak kapok. “Karena memang harapan itu masih ada.”
Dari hasil diskusinya dengan petani keramba selama penelitian terhadap Maninjau, Hafrijal menilai warga tidak akan pergi dari danau sampai ikan tak bisa lagi hidup di dalam keramba. “Sekarang, kalau masyarakat diminta mengangkat kerambanya, mereka minta dicarikan mata pencarian alternatif yang penghasilannya sama dengan saat ini.”
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Manis-Pahit Budi Daya Keramba". Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support