Masalah konsultasi medis masih semrawut di Indonesia. Demi pasien, bagi rezeki antardokter, atau ilmu. RINI urung memondokkan anaknya ke rumah sakit. Padahal, putrinya itu terserang demam berdarah. Ia jengkel ketika dokter meminta anaknya menjalani pemeriksaan laboratorium. Menurut Rini, itu tak perlu. "Akhirnya saya merawat dan menginfus anak saya di rumah," tuturnya. Ibu cantik berpenampilan lembut yang juga dokter ini pegawai di satu departemen. Meski kini tak lagi buka praktek, Rini ber- pengalaman 18 tahun praktek. Maka, ia tahu memeriksa fungsi hati yang diminta oleh dokter itu jelas tak perlu. Lain bagi pasien yang awam. Kejadian semacam tadi membuatnya menggerutu. Walau tak ada data, dalam praktek acap dijumpai dokter yang berlebihan dalam memeriksa dan memintakan pendapat dokter lain. Padahal, banyak konsultasi berarti ini beban bagi rekening si pasien. Bahkan, menurut Profesor Priguna Sidharta, di Indonesia mulai timbul fenomen minta konsul untuk pemerataan rezeki di antara kelompoknya. Itu disampaikannya dalam makalah " Membudayakan Konsultasi" pada Seminar Permasalahan Konsultasi Medis di RS Mitra Keluarga, Jakarta, dua pekan lalu. Konsultasi bermotif "pemerataan rezeki" jelas melenceng dari tujuan. Idealnya, kata neurolog kondang dan penulis sejumlah buku kedokteran itu, konsultasi dengan dokter lain justru untuk kepentingan pasien. Di rumah sakit, konsultasi ikut melindungi pasien rawat inap dan rumah sakit dari ulah yang tidak efisien serta tidak etis. Itu telah dibuktikan oleh Asuransi Medicare di Amerika Serikat. Di situ ditetapkan: pasien, sebelum dioperasi, harus memiliki surat second opinion karena memang diperlukan untuk tindakan operasi. Ternyata jumlah kasus operasi turun hingga 50 persen. Hanya dalam prakteknya pengertian konsultasi di kalangan dokter belum seragam. Tiap dokter memiliki persepsi sendiri-sendiri. Ada dokter yang kelewat rajin- entah motivasinya bagi ilmu atau pemerataan rezeki- meminta pendapat sejawatnya. Ada pula enggan minta pendapat dokter lain karena pasien yang dikirimnya jarang kembali. Padahal, keengganan ini terkadang berakibat fatal. Dokter F.X. Soewandi menceritakan kisah seorang neurolog yang merawat penderita meningitis atau radang otak. Karena ada keluhan di perut kanan bawah, pasien dikonsultasikan ke ahli bedah. Diagnosa yang diperoleh dari ahli bedah, katanya pada pasien itu terdapat suspek apendisitis. Lalu dilakukanlah operasi, tanpa didiskusikan dengan neurolog yang merawatnya. "Pascabedah pasien mengalami krisis dan meninggal," tutur Soewandi. Meski penyebab kematiannya masih diperdebatkan, tambah Direktur Medik RS St. Carolus Jakarta itu, inilah permasalahan yang menyangkut konsultasi medis di Indonesia. Mutlakkah konsultasi dilakukan? Ari Bowo, dokter puskesmas di pinggiran Denpasar, kepada Silawati dari TEMPO mengaku tak perlu berkonsultasi dengan sesama dokter atau yang lebih ahli. Jika sulit menanganinya, ia lalu mengalihkan pasiennya ke rumah sakit yang lebih besar. Seorang ahli bedah di Bandung berpendapat lain lagi. "Tak ada kewajiban bagi kami melakukan konsultasi medis lebih dahulu," ujarnya santai kepada Ahmad Taufik dari TEMPO. Meski konsultasi bukan mutlak, itu bisa dipakai sebagai tolok ukur mutu pelayanan. Namun, menurut Soewandi, konsultasi tak dilakukan seenaknya saja. Di rumah sakit bermutu sedikitnya 15-20 persen pasien rawat inapnya dikonsultasikan. "Tapi kami dari pihak rumah sakit pelayanan harus benar-benar berpikir untuk konsultasi," tambahnya. Apalagi ini kalau sudah menyangkut citra. Terlalu mudah konsultasi akhirnya bisa memberatkan pasien. Untuk rumah sakit pelayanan titik beratnya lebih pada kepentingan pasien. Pasien diabetes misalnya, kalau tak ada keluhan pada mata, tak perlu dikonsultasikan ke dokter mata meski secara teoretis diabetes berpengaruh kepada mata. Mungkin lain di rumah sakit pendidikan. Konsultasi dilakukan karena hasilnya dapat dipakai bagi perkembangan ilmu kedokteran. "Jadi, tujuannya bukan untuk pemerataan rezeki antara sesama dokter," ujar Bambang Suryono, Wakil Direktur RS Sardjito di Yogyakarta. Rumah sakit akademik (biasanya milik pemerintah) memang tak memungut biaya mahal. Untuk konsultasi, termasuk jasa laboratorium, di rumah sakit yang terletak di kampus Universitas Gadjah Mada itu ongkosnya hanya Rp 2.300. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya pasien tak mampu malah dibebaskan dari biaya konsul. Di sini ada 18 dokter spesialis didikan FK Universitas Airlangga diangkat sebagai konsulen. "Konsultasi medis di rumah sakit ini sudah berjalan sesuai dengan aturan main yang dimaksudkan untuk menunjang diagnosa," kata Bambang W., Kabag Sekretariat RSUD Dr. Soetomo. Aturan main yang jelas memang belum ada, tapi ada yang perlu diperhatikan dari aspek hukumnya. Kelalaian tidak mengonsultasikan ke dokter yang lebih tahu ketika pasien sebenarnya perlu dikonsultasikan bisa disebut malapraktek. Kelalaian ini, menurut Kartono Mohamad, Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI), karena tergolong pada kriteria: "tidak melakukan tindakan yang seharusnya demikian". Etisnya, konsultasi memang tergolong tindakan yang seharusnya dilakukan. Namun, bagaimana kalau dokter "melakukan tindakan yang tidak seharusnya demikian", seperti konsultasi yang terlalu sering? Untuk menjawabnya, ini satu lagi pekerjaan rumah bagi IDI. Ya, kan? G. Sugrahetty Dyan K., R. Fadjri (Yogya), Kelik M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini