Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Seperempat Abad Kantor Berita Swasta

Kantor berita nasional indonesia yang berulang ta- hun ke-25 dalam kondisi memprihatinkan. mencetak buletin dengan mesin stensil dan mengantarkannya dengan sepeda. menunggu suntikan dana.

15 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama-sama Orde Baru, KNI tumbuh dewasa dalam kondisi kembangkempis. Mencetak dengan mesin stensil, dan menghubungi pelanggan dengan sepeda butut. DUA masih lebih baik dari satu. Bicara kuantitas, Indonesia boleh bangga karena masih memiliki minimal dua kantor berita, Antara dan KNI, di samping PAB. Namun, bila dibandingkan dengan India yang juga memiliki dua kantor berita, kita tentu harus mewawas diri. Lagi pula, Kantor berita Nasional Indonesia alias KNI, yang pekan ini berulang tahun ke-25, ternyata berada dalam kondisi memprihatinkan. Sampai kini, KNI memang belum mampu menyaingi Antara. Mutunya juga masih harus ditingkatkan. Namun, 25 tahun bukanlah usia yang bisa diremehkan. Kemampuan bertahan selama seperempat abad haruslah diakui sebagai prestasi tersendiri. Lagi pula, KNI bertahan dengan kekuatan sendiri- tidak seperti Antara yang sepenuhnya dibiayai Pemerintah. Sejak didirikan pada Juni 1966, hingga saat ini KNI boleh dikatakan tersengal-sengal. Sarana kerja yang dimilikinya sudah ketinggalan zaman. Kantornya di kawasan Jatinegara Barat, Jakarta, hanya disejukkan oleh dua pengatur hawa. Itu pun terbatas untuk ruang komputer. Untuk mencetak buletin, KNI mengandalkan empat mesin stensil merek Roneo. Kesahajaan peralatan ini diharapkan tidak berlangsung lebih lama. Kelak, jika Yayasan KNI (beranggotakan 11 penerbitan pers, di antaranya Kompas, Merdeka, dan Berita Yudha) menyuntikkan dana, "kami akan meninggalkan zaman stensil, dan melompat ke abad komputer," kata Sumono Mustoffa, Pemimpin Redaksi KNI. Bukan hanya sarana produksi yang menuntut perbaikan. Faktor penunjang lainnya seperti gaji karyawan dan wartawan tampaknya harus segera "disesuaikan". Menurut Sumono, dari sekitar 200 pelanggannya (sejumlah media cetak dan kedubes asing), KNI belum bisa memetik manfaatnya. Bisa dimaklumi bila gaji wartawan KNI jauh lebih rendah dibanding gaji wartawan media cetak lain di Jakarta. Nurhadi, yang sudah mengabdi selama 23 tahun dan kini menjadi redaktur pelaksana, haruslah puas dengan imbalan Rp 179 ribu. Jelas sekali bahwa gaji wartawan senior di KNl bahkan masih lebih kecil dari gaji sopir sekalipun. Terlalu. Akan halnya Sumono, sebagai pimpinan sekaligus pendiri, hanya dibayar Rp 260 ribu. "Kalau tidak mengerjakan pekerjaan lain seperti menerjemahkan artikel, sulit bagi saya untuk menghidupi keluarga dengan tiga anak," Sumono bicara terus terang. Diungkapkannya, dari hasil penjualan buletin berikut hak kutipnya, dalam sebulan hanya terhimpun sekitar Rp 50 juta. Dengan pendapatan yang tidak memadai itu, KNI menggaji 85 karyawan (termasuk wartawan) dan memodali penerbitannya. Tak heran bila pada para wartawan KNI- yang tersebar di 23 daerah di Indonesia- hanya diberlakukan sistem honor tulisan yang besarnya Rp 750 sampai Rp 7.000 untuk setiap artikel. Namun, semua "keterbelakangan" itu tidak membuat Sumono dkk. patah semangat. Secara teratur KNI tetap menerbitkan buletin Siaran Berita (edisi pagi dan sore), Gelanggang Olah Raga, Karangan Khas, Bedeng Bibit- yang mewartakan soal-soal pertanian- News Service, dan Petroleum & Mining Report. Untuk meningkatkan kualitas, KNI juga merekrut wartawan-wartawan baru- tidak harus sarjana. "Kami lebih suka menerima lulusan SLTA," ujar Sumono. Soalnya, banyak wartawan bergelar sarjana yang "melarikan diri" dengan alasan ingin mencari pendapatan yang lebih tinggi. Dalam serba kekurangan itu, tak ada alternatif lain bagi KNI kecuali meningkatkan pendapatannya. Untuk mengantarkan buletin kepada para pelanggan, yang selama ini mengandalkan sepeda butut, misalnya, sudah lama manajemen KNI meminta sepeda motor dan sebuah mobil kepada yayasan pengayomnya. Selain itu, Sumono telah menyampaikan semua keluhannya kepada Menteri Penerangan Harmoko, yang juga pendiri KNI. Kendati hasilnya belum terwujud, Harmoko berjanji akan mengumpulkan dana dari 11 media yang menjadi anggota Yayasan KNI. Ya, kalau bukan yayasannya sendiri, siapa lagi? Apalagi KNI merupakan salah satu sumber berita bagi media mereka. Harian Angkatan Bersenjata, umpamanya, secara teratur mengutip berita-berita ekonomi yang dimuat KNI. Di samping itu, Angkatan Bersenjata juga memanfaatkan foto-foto dari kantor berita AP, yang diageni oleh KNI. Begitu pula harian Merdeka, yang biarpun sedikit tetap mengutip KNI. Tapi mengapa hanya sedikit? "Soalnya, suplai berita mereka kalah banyak dibandingkan Antara," ujar Iswara, redaktur pelaksana Merdeka. Itulah sebabnya pula, Albert Hasibuan, pemimpin Suara Pembaruan, menyarankan agar KNI lebih berani dan kreatif mencari berita secara lebih bebas. "Tidak hanya sekadar jadi kantor berita," Albert menandaskan. Gagasan itu sangat patut dipertimbangkan. Setidaknya, KNI perlu menggugat dirinya sendiri. Dalam merayakan usia 25 tahun, hura-hura saja tentu tidak memadai. Perlu juga tekad untuk berusaha dan berprestasi lebih baik, sesuai dengan semangat yang diwarisinya dari perjuangan Orde Baru dahulu. Seperti diketahui, kantor berita ini didirikan semata-mata karena becermin pada nasib Antara, yang waktu itu dikuasai oleh PKI. Padahal, waktu itu Antara adalah kantor berita satu-satunya yang kita miliki. Becermin pada fakta sejarah yang amat pahit itu, lalu didirikanlah KNI. "Teror pemberitaan hanya bisa dicegah," demikian Sumono, "jika sistem informasi dan pers nasional tidak berdasar pada prinsip kantor berita tunggal." Budi Kusumah dan Ivan Haris

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus