Dua pianis Spanyol tampil di Gedung Kesenian Jakarta. Elena Aguado kurang berhasil, tetapi Sebastian Marine meyakinkan. AKAN halnya Spanyol, orang Indonesia lebih mengenal Pablo Picasso dan Pablo Neruda daripada Pablo Casals. Padahal, tigatiganya adalah seniman besar Spanyol yang dikenal di seluruh bumi. Pelukis, pujangga, dan musikus. Bahkan, musik Spanyol lebih kita kenal iramanya setelah nyelonong dahulu lewat gaya musik Amerika Latin. Agak aneh memang. Dalam sejarah musik Eropa pun musik Spanyol agak kurang diperhitungkan, sedangkan negeri-negeri kecil, seperti Finlandia, Polandia, atau Hungaria, selalu saja memperoleh catatan dalam sejarah musik dunia. Padahal, banyak musik yang indah-indah di Spanyol. Letaknya saja, yang terjepit antara Prancis dan daratan Afrika, sudah menjamin kelainan yang menarik. Bahkan, kebudayaan Arab dan Islam sempat berjaya di negeri pojok Eropa itu. Pekan lalu, Kedubes Spanyol mendatangkan dua orang pianis ke Jakarta, untuk menyemarakkan Festival Spanyol (lihat juga Tari). Mereka main tiga malam berturut-turut di Gedung Kesenian Jakarta. Sayang, tidak banyak orang menyaksikannya. Padahal, musiknya sangat menarik. Apalagi ada Sebastian Marine, itu seniman musik jempolan di Spanyol. Langkahnya ketika memasuki pentas konser saja sudah meyakinkan. Ia segera meraba bilah-bilah piano. Denting nada pianonya bening. Ucapan musikalnya jelas. Teknik permainannya sangat lugas, sedangkan pembawaannya sangat perasa dan penuh perhitungan. Mula-mula, ia keluar dengan membawakan karya impresionistis Federico Mompou. Karya ini berjudul Suburbs dan terbagi dalam lima bagian fragmental yang sangat puitis. Musiknya mengingatkan kita pada gaya-gaya akhir musik abad ke-19. Sangat impresionistis dan programatis. Artinya, musik yang berkesan menggambarkan sesuatu daripada sekadar menjadi idiom ekspresi diri bagi penciptanya. Memang, sejak timbulnya nasionalisme dalam aliran musik di Eropa, Spanyol pun ikut hanyut dalam gerakan musik abad ke-19 ini. Impresionisme dan kekuatan budaya bangsa yang begitu tua dan kaya raya menjadi tumpuan karya cipta baru. Karya-karya Enrique Granados, Isaac Albeniz, dan Manuel De Falla adalah contoh musik Spanyol gaya kebangsaan paling baik yang pernah tercatat dalam sejarah musik dunia. Pianis Elena Aguado membawakan Catalonia karya Albeniz dan Spanyolan karya De Falla pada malam pertama. Lumayan saja. Tekniknya kurang sempurna, dan permainannya agak kurang sensitif. Ia cantik, dan seorang guru. Inilah musik Spanyol yang penuh tingkah dan stori. Warna-warna napas Spanyol yang temperamental kurang keluar dari jentik-jentik cantik tangan Aguado. Sebaliknya, ia berhamburan penuh impresi dari tangan-tangan perkasa Sebastian Marine. Pianis berewok ini, dengan gayanya yang khas musikus pentas, membawakan karya Granados, sebuah konser Allegro. Ini adalah karya gemilang komponis Spanyol yang mati tenggelam di laut karena kapal yang ditumpanginya ditembak kapal selam Jerman pada tahun 1916. Karya ini mengingatkan kita pada komponis Hungaria Franz Listz. Sangat virtuos, mengalir begitu deras hilir-mudik menjelajahi seluruh wilayah bilah-bilah piano dengan gagah. Sayang, piano di Gedung Kesenian Jakarta itu terkesan seperti cewek tua yang kurang terpelihara. Suaranya empot-empotan tak mampu menampung genjotan energi musik Sebastian Marine yang begitu bergairah. Register bawah piano itu suaranya benar-benar memelas, bak kabel-kabel telepon jalanan tertiup angin puyuh. Register tengahnya bersuara parau, pada nada-nada tingginya melengking-lengking kering seperti orang kehausan. Sesungguhnya, alat musik di gedung bergengsi itu sudah tidak laik konser. Untung, pianis Spanyol itu tak banyak cingcong dan relatif masih mampu menabuhnya dengan baik. Hanya teknik tinggi dan naluri kepekaan seniman kelas satu yang mampu mengubah suara alat kurang bermutu menjadi relatif layak dengar. Ada selusin karya komponis Spanyol yang mereka mainkan bergiliran dalam konser tiga hari mereka. Satu di antara yang paling menarik adalah karya sang pianis Sebastian Marine sendiri. Karya bergaya musik masa kini ini diberi judul Cari Genitori. Entah apa artinya, tapi sangat menarik. Ia menulis komposisi ini sebagai persembahan bagi orangtuanya. Simbolisasi tentang cinta, agama, perang, kelahiran, manusia, dan lengkungan perjuangan hidupnya. Apa yang kita dengar? Bercak-bercak bunyi tanpa melodi, tumbukan-tumbukan suara tanpa nada, dan lompatan-lompatan dinamis tanpa garis yang memukau. Semua teknik padanan musik kontemporer ia terapkan dengan terus mempertahankan gaya musik Spanyol yang penuh puisi dan temperamen. Sebastian Marine, seperti kolega-koleganya di abad ke-20, mencoba mengembalikan musik kepada makna yang sebenarnya. Bunyi! Maka, selamat datang di Indonesia. Hutan-hutan kami masih menyimpan bunyi-bunyi bermakna sebenarnya yang kalian cari. Itulah musik! Suka Hardjana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini