APAKAH pusing kepala berbahaya? Tergantung penyebabnya, tapi biasanya tidak. Andaikata pusing-pusing itu cuma sebentar lalu hilang, justru itu yang perlu diperhatikan. Gangguan sepintas di kepala itu sering terbukti sebagai gejala awal Transient Ischemic Attack (TIA), yakni kelainan saraf mendadak yang muncul sebentar, lalu hilang. Aneh, bukan? Lebih aneh lagi, gejala itu tidak cuma pusing. Ada yang lain: gangguan bicara, buta sebelah, telinga berdenging ataupun lengan melentur lemas. Orang yang diserang TIA akan mengalami satu atau beberapa gejala itu sekaligus. Matanya bisa tiba-tiba tidak melihat, katakanlah buta mendadak. Tapi peristiwa yang mengejutkan itu terjadi sebentar -- satu-dua detik, satu-dua menit, atau satu-dua jam. Namun, bisa juga beberapa jam. Toh, kemudian gejala kebutaan itu hilang, mata pun melihat kembali. Dan kalau TIA menyerang lengan, tanpa sebab yang jelas tahu-tahu terasa lemas, lunglai, tak bisa diangkat, tak bisa digerakkan. Ini pun bisa berlangsung dalam hitungan detik, menit, atau jam, namun tak pernah lebih dari 24 jam. Gejala TIA juga menyebabkan penderita mendadak gagu, lidahnya kelu, tak mampu berkata-kata walaupun bibirnya dapat bergerak. Adapun pusingnya TIA sulit dibedakan dengan jenis sakit kepala yang lain. Dan meskipun tanpa obat, pusing itu menghilang sebelum 24 jam. Gejala timbul-hilang inilah justru yang menyulitkan penanganan TIA. Dokter akan sulit melacaknya atau bisa salah mendiagnosa. Gejala TIA sebenarnya merupakan isyarat akan munculnya stroke alias serangan 5-6 tahun kemudian. Stroke, yang dikenal sebagai serangan mendadak pada pembuluh darah otak, adalah penyebab utama kelumpuhan dan penyebab kematian nomor tiga setelah kanker dan penyakit jantung. Dari berbagai penelitian di luar negeri disimpulkan bahwa 30% penderita TIA akan diserang stroke di belakang hari. "Artinya, satu dari tiga penderita TIA akan mengalami stroke" ujar Prof. Dr. Frank M. Yatsu, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf Universitas Texas, Houston, AS. Prof. Yatsu bertindak sebagai pembicara pada Kongres Neurologi VII se-Asia-Oceania, yang berlangsung tanggal 20-24 September silam di Bali. Stroke dapat muncul akibat pecahnya pembuluh di otak -- misalnya karena melonjaknya tekanan darah -- sehingga orang "terpukul jatuh". Tapi lebih sering ia merupakan manifestasi iskemia pembuluh di otak, ketika suplai darah di situ tersumbat dan otomatis oksigen yang dibawanya pun tak berhasil mencapai sel-sel saraf otak. Masalahnya, sel otak ini terlalu sensitif 3-4 menit saja tanpa suplai oksigen, organ vital yang beratnya hanya 2% berat badan itu akan mati, mengakibatkan kelumpuhan bahkan kematian. Di AS, setiap tahunnya rata-rata 200 ribu kematian terjadi akibat stroke. Penyebab TIA dan stroke sampai kini belum diketahui secara pasti -- juga belum jelas kenapa hanya pada sebagian orang TIA menjelma jadi stroke, sementara pada yang lain tidak. Maka, para ahli pun hanya menduga adanya "faktor risiko" bagi terjadinya kedua hal itu. Yang dimaksud risiko misalnya tekanan darah tinggi, ketuaan, kencing manis, merokok, penyakit jantung, pil kontrasepsi, dan faktor bawaan (genetis). Semakin banyak faktor risiko, semakin besar kemungkinan diserang TIA dan stroke. "Upaya pencegahan paling efektif adalah mengurangi faktor risiko itu sedmi mungkin," kata Prof. Dr. Mahar Mardjono, Guru Besar Ilmu Penyakit Saraf FKUI, pada konperensi pers di Jakarta, dua hari sebelum kongres di Bali itu. Berkaitan dengan faktor-faktor tadi adalah aterosklerosis, penumpukan lemak di dinding pembuluh darah kecil. Pembuluh itu tak lagi licin, serabutnya berjumbai, menyempit, kaku. Menurut penelitian Yatsu, sebagian besar pasien stroke memiliki pembuluh yang sklerotik alias pembuluh yang ditimbuni lemak. "Dari 4.132 penderita stroke yang kami teliti, 65 persen berhubungan erat dengan aterosklerosis," kata Yatsu. Dalam pembuluh yang tak licin itu terjadilah suatu trombosis, sumbatan lokal yang menyebabkan TIA. Jika aliran darah lambat -- misalnya karena tekanan turun di bawah 60 mm air raksa, atau kelewat kental -- maka pembentukan trombosis alias sumbatan semakin cepat. Pembuluh yang kaku makin sulit menampung padatnya darah yang saling mendesak (dan menggumpal), tak ubahnya jalan sempit berlubang diserbu arus lalu lintas yang padat. Kekentalan darah dengan demikian turut berperan dalam hal ini -- lebih-lebih bagi penduduk negara tropis seperti Indonesia. Mengapa? Tak lain karena penguapan oleh panas bisa mengakibatkan darah jadi lebih kental. Apalagi jika tidak disertai pemasukan air yang cukup. Itulah sebabnya, Prof. Dr. Benyamin Chandra dari FK Unair, menyarankan agar kita banyak minum. "Paling tidak mesti minum dua liter air sehari," katanya. Dan bila suhu panas, "setidaknya ditambah setengah liter pada tiap kenaikan satu derajat Celsius," katanya lagi. Terjadinya sesuatu di dalam pembuluh sklerotik yang menyempit, menurut Yatsu, diakibatkan oleh ketidakseimbangan antara Prostasiklin PG-12, faktor pencegahan perlengketan bagian sel darah (platelet) dengan faktor pencetusnya, Tromboksan A-2. Pada aliran yang macet, sekitar 2 juta platelet akan berdesakan, lengket, menjadi sebuah gumpalan kecil, sehingga suplai lewat pembuluh terganggu. Teori ini dianggap pahng logis, sehingga penemunya, John Vane, dari Inggris, memenangkan hadiah Nobel 1982. Adakah jalan keluar? Yang jelas: menghindari faktor risiko. Jika TIA atau stroke menyerang apa boleh buat, mesti diberikan obat antipenumpalan, antitrombosis, seperti pentoxifillindan, jangan kaget: aspirin. Bahkan menurut para ahli, efek aspirin tampak nyata pada 85% penderita. Aspirin, meski berbahaya bagi lambung, mudah sekali diperoleh di warung, misalnya dalam bentuk tablet APC, Cafenol, ataupun Bodrexin. Toh obat-obat itu hanya membantu mencegah kerusakan yang lebih fatal di pembuluh otak. Bila stroke menyebabkan pecahnya pembuluh -- hingga timbul bekuan darah besar di otak -- operasi merupakan satu-satunya alternatif. Jika bekuan itu berada di permukaan luar otak, operasi pengeboran kepala, insya Allah, lebih mudah dan bisa menyelamatkan jiwa. Tapi bila ia berada di tengah otak, pengangkatan bekuan jadi sulit, karena harus merusakkan bagian otak yang normal. Dan hasil penelitian di luar negeri membuktikan 80% pasien pascaoperasi akan mengalami gangguan fungsi saraf di belakang hari. Karena itu, waspadalah terhadap TIA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini