BETUL AIDS sudah masuk ke Indonesia, betul AIDS sudah meluas keberbagai negara, tapi 'kan tak perlu digembar-gemborkan," sergah Prof. A.A. Loedin di depan para wartawan. Ia tampak berang. Ketua Panitia Penanggulangan AIDS Nasional itu langsung marah ketika ditanya tentang tiga "penderita" AIDS di Indonesia, yang menurut pers telah disinggungnya pada seminar penyakit kelamin di Bali pekan lalu. Loedin kesal. Ia merasa tidak mengatakan ada penderita AIDS. Yang diungkapkannya tes darah positif. "Yang betul, dong, kalau membuat laporan. Kalian harus bisa membedakan antara AIDS sebagai penyakit dan gejala serum positif di laboratorium," katanya tegas. Dan Loedin merasa mengemukakan "kasus" bukan "ada atau tidak ada". Kasus AIDS yang terungkap sampai kini adalah matinya seorang turis Belanda di Bali April lalu. Sebuah kasus lagi -- matinya seorang penderita wanita April tahun lalu di RS Islam Jakarta -- masih kontroversial. Depkes menyangkal keras media massa yang memberitakan bahwa penderita wanita ini kena AIDS. Loedin ketika itu juga kesal. Lalu berapa kasus AIDS yang diakui Depkes, termasuk tiga yang diumumkan paling akhir di Bali? "Total ada lima kasus," jawab Loedin. Artinya, satu turis Belanda bernama Edward Hop, yang meninggal itu. Lalu pacar Hop yang bernama Solomon dan sudah pulang ke Belanda. Tes darahnya terbukti positif. Tiga kasus baru yang diungkapkan Loedin semuanya tergolong serum positif. "Ketiganya bukan orang asing, dua bermukim di Jakarta, seorang tinggal di Bali," ujar Loedin. Hasil tes darah "positif" yang menandakan kehadiran virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) memang tidak berarti pembawanya otomatis penderita AIDS. Kehadiran AIDS bisa dilihat dari munculnya berbagai gejala berupa gangguan fisik maupun serangan penyakit-penyakit lain. Yang menandakan seorang penderita AIDS sudah memasuki stadium berat adalah radang paru-paru pneumocystis carinii dan kanker kulit sarcoma kaposi. Dua kasus serum positif yang di Jakarta itu berada di bawah pengawasan Sub-Bagian Hematologi, Bagian Penyakit Dalam RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. "Keduanya laki-laki, berusia 20-30 tahun, walau belum menikah bukan homoseks, dan tinggal di Jakarta," ujar Dr. Harryanto, Kepala Sub-Bagian Hematologi. Salah seorang pasien itu lama tinggal di luar negeri. Mungkin sekali ia kemasukan virus HIV di negeri sono itu. Sedangkan seorang lagi, sejak kecil menderita penyakit kurangnya salah satu faktor pembeku darah. "Ini memang cacat bawaan," ujar dr. Karmel Tambunan, yang merawat pasien itu. Untuk menormalkan kondisi darahnya, kepada pasien harus diberikan pembeku darah secara tetap. Obat pembeku darah itu harus diimpor dari luar negeri. Pada pengobatan darah inilah, kemungkinan besar virus AIDS masuk. Sebenarnya obat pembeku darah mudah dibebaskan dari virus AIDS, seandainya obat itu terkena virus. Yakni, dengan cara dipanaskan sampai 60C. Maka kemungkinan besar virus AIDS masuk ke tubuh penderita di zaman sebelum geger AIDS. Hingga waktu itu baik dokter maupun keluarga penderita tak memikirkan ikhwal pemanasan obat itu terlebih dahulu. Kedua pasien diketahui membawa virus HIV -- penyebab AIDS setahun lalu, setelah mereka, mungkin secara kebetulan menjalani tes ELISA (Enzymelinked Immunosorbent Assay). Tes yang peka dan sudah bisa dilakukan di Indonesia ini mampu melacak kehadiran antigen virus HIV racun virus. Untuk memastikannya, perintis penelitian AIDS di Indonesia, dr. Zubairi Djoerban, mengatakan, telah dilakukan Western Immunoblotting Test -- lebih dikenal sebagai tes Western Blot. Tes ini bisa melacak semua bagian virus secara spesifik -- protein, kulit, dan bagian genetik virus. Tapi belum bisa dilakukan di Indonesia. "Tes ini kami lakukan di Manila," tutur Harryanto. "Selama gejala klinis belum muncul, mereka memang tidak dapat dikatakan penderita AIDS. Mereka disebut carrier," ujar Harryanto. Dikatakannya, tidak semua pembawa virus akhirnya menjadi penderita AIDS. "Menurut statistik, rata-rata hanya 5-10% saja," katanya. Namun, tak bisa disangkal, pembawa virus juga bisa menularkan virus HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan kelamin dan transfusi darah. "Tapi kedua carrier itu tidak perlu dikarantina, dan janganlah dimusuhi, sebab kesadaran mereka cukup tinggi," ujar Harryanto. "Paling tidak dua minggu sekali mereka datang untuk kontrol." Jim Supangkat, Yopie Hidayat, Priyono (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini