Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kanker Rahim, Musuh Para Wanita

Tingkat kejadian kanker mulut rahim di Indonesia cukup tinggi. Namun, masyarakat belum akrab dengan deteksi kanker mulut rahim sejak dini dan acap mengabaikan gejala awalnya.

20 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pekan terakhir, Bagian Kebidanan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, yang biasanya relatif sepi, berubah ramai. Setiap hari, 50 sampai 100 perempuan muda antre di unit yang menangani penyakit kandungan ini. ”Setelah membaca berita Nita Tilana, saya termotivasi ikut tes pap-smear,” kata Lestari, 36 tahun, seorang karyawati bank pemerintah.

Memang, kisah penyanyi Nita Tilana, 32 tahun, yang meninggal Kamis 10 Agustus lalu, mendatangkan hikmah. Masyarakat tersentak. Nita yang belia, centil, dan penuh semangat hidup itu tak luput dari sergapan kanker mulut rahim yang kemudian merongrong ginjal dan paru-parunya. Tak ingin bernasib seperti Nita, tak sedikit ibu dan suami yang mendorong anak, istri, dan kerabat perempuan agar mengikuti uji pap-smear untuk mendeteksi dini kanker mulut rahim.

Kanker mulut rahim memang layak jadi perhatian serius. Di antara semua jenis kanker, penyakit ini adalah pembunuh utama wanita Indonesia. Rata-rata setiap tahun muncul 180 ribu pasien kanker baru dan dua pertiganya adalah kanker mulut rahim. Yang memprihatinkan, 60 persen pasien memeriksakan diri saat kanker sudah mencapai stadium lanjut.

Secara medis, kanker rahim disebut neoplasia intraepitel serviks (NIS). Penyakit ini muncul karena sel dinding (epitel) rahim berkembang tidak normal. Belum jelas betul faktor apa yang memicu penyakit ini. Para ilmuwan menduga, human papilloma virus (HPV) adalah aktor penting yang menyebabkan kanker rahim. Virus papilloma, menurut Sjahrul Sjamsuddin, ahli kanker dari Rumah Sakit Dharmais, masuk ke rahim melalui cairan sperma saat berhubungan seksual.

Risiko kanker makin besar pada wanita yang menikah sebelum usia 20 tahun. Keseimbangan dinding rahim—yang belum sempurna—terganggu akibat serbuan jutaan sel sperma. Kurangnya kebersihan alat kelamin dan kebiasaan berganti pasangan juga termasuk faktor penting. ”Ini mempermudah munculnya kanker,” kata Sjahrul.

Tentu saja perubahan sel menjadi abnormal tidak dengan tiba-tiba meledak. Dari tahap prakanker menuju stadium nol, misalnya, dibutuhkan waktu lima tahun. Sedangkan dari stadium nol ke stadium I, perubahan sel butuh waktu 10 sampai 20 tahun. Tetapi, kecepatan perubahan dari stadium I ke stadium IV hanya kurang dari lima tahun.

Sebetulnya kanker rahim bukan tak dapat disembuhkan. Syaratnya, pengobatan dilakukan saat penyakit masih dalam tahap dini. Pasien fase prakanker, misalnya, bisa sembuh melalui terapi perusakan sel abnormal. Caranya dengan penyinaran listrik atau laser selama tiga menit. Sedangkan untuk stadium nol, pengobatan harus melalui pengangkatan rahim—dengan menyisakan indung telur pada pasien usia muda untuk menjaga keseimbangan hormonal. Memasuki tahap lanjut, pengobatan makin rumit—berupa operasi, radioterapi, dan kemoterapi—dengan kans sembuh yang kian tipis.

Berdasar fakta tersebut, menurut M. Soepardiman, ahli sitopatologi (ilmu kelainan sel) dari RSCM, deteksi kanker rahim sejak dini mutlak dibutuhkan. Langkah yang paling efektif adalah dengan tes pap-smear. Tes ini menggunakan alat semacam sendok khusus yang dimasukkan ke rahim melalui vagina. Sendok ini dipulaskan ke permukaan dinding rahim. Kemudian, lendir yang mengandung sel epitel yang menempel pada sendok diletakkan di atas kaca, diberi pewarna khusus, dan siap diuji melalui mikroskop. ”Prosesnya tidak sakit dan singkat, hanya 10 sampai 15 menit,” kata Soepardiman.

Sayangnya, pap-smear belum akrab dengan masyarakat Indonesia. Gejala kanker, seperti keputihan, perdarahan, atau vagina berbau, juga kerap diabaikan. Salah satu hambatannya adalah ongkos yang mahal. Di RSCM ongkos pap-smear Rp 25 ribu, sedangkan rumah sakit swasta umumnya mematok tarif Rp 100 ribu-Rp 150 ribu. Padahal, tes ini tak hanya sekali seumur hidup. Perempuan 20-65 tahun sebaiknya mengulang pap-smear setiap tiga tahun. Perempuan yang berisiko tinggi atau pernah mendapat hasil abnormal dianjurkan melakukan pap-smear setiap tahun.

Untunglah, tak sedikit lembaga swadaya masyarakat dan yayasan yang berupaya mengatasi hambatan biaya ini. Yayasan Kusuma Buana (YKB), misalnya, menyubsidi masyarakat tidak mampu untuk pap-smear di RSCM dengan ongkos Rp 15 ribu.

Selain itu, Adi Sasongko, staf pengajar FK-UI yang juga aktivis YKB, menganjurkan pelatihan prosedur pap-smear bagi perawat di desa terpencil. Selanjutnya, sampel sel yang sudah dikeringkan bisa dikirim ke dokter ahli melalui jasa pos. Jadi, ”Pasien tak perlu datang ke kota besar,” katanya.

Tentu saja, Adi yakin, ada banyak terobosan guna memasyarakatkan pap-smear. Langkah semacam ini sangat berguna untuk mencegah jutaan wanita bernasib seperti Nita Tilana.

Mardiyah Chamim dan Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus