Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tampaknya belum siap menjaga arena perburuan harta karun di dasar laut. Biarpun sudah banyak aktor yang mengadu untung, aturan yang baku belum tersedia. Perizinan, landasan hukum, dan teknik bagi hasil masih serba mengambang tak jelas. ”Kita ini buta laut,” kata Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja.
Akhir Juli lalu, melalui Keputusan Presiden Nomor 107 Tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid mengesahkan penanganan harta karun di bawah kewenangan kementerian yang dipimpin Sarwono. Namun, Sarwono mengaku masih harus menempuh jalan panjang untuk menyiapkan sistem perburuan harta karun yang memadai. Berbagai sisi, terutama arkeologi maritim, harus dipelajari dengan cermat. Maklumlah, urusan harta karun selama ini dikitari kabar burung yang cenderung berlebihan. Sarwono juga menanggapi dengan sinis taksiran nilai harta karun yang US$ 125 juta pada setiap titik. Baginya, sebagian besar muatan kapal hanyalah porselen yang cocok untuk melengkapi perangkat restoran Cina. ”Cuma sedikit yang berharga,” kata Sarwono.
Berikut ini petikan wawancara wartawan TEMPO dengan Sarwono, di sela penutupan sidang tahunan MPR, di Gedung MPR/DPR, Jakarta.
Adakah kemajuan dari perundingan bagi hasil dalam pelelangan muatan kapal Tek Sing, di Stuttgart, yang akan dilakukan November mendatang?
Pemerintah tidak secara langsung berunding. Ada pihak ketiga yang menawarkan jasa baik. Proses ini seperti mengumpulkan kepingan gambar agar bisa terangkai fakta yang logis. Saya kira, akhir bulan ini sudah ada keputusan soal bagi hasil. Cuma, tim perunding harus bekerja hati-hati dan tak bisa sembarangan. Lagi pula, panitia yang khusus menangani harta karun baru terbentuk dua minggu lalu. Belum lagi, saya harus mengikuti sidang tahunan MPR.
Menurut Anda, mengapa pemerintah tidak kecipratan harta karun sebanyak yang dinikmati orang asing seperti Michael Hatcher?
Sebab, dulu, urusan begini tidak ada yang tahu dan tidak ada yang peduli. Pada 1986, Michael Hatcher sudah mendapatkan muatan berharga dari kapal De Geldermalsen. Tapi kita tidak menindaklanjuti penemuan itu. Kita ini buta laut.
Apa karena mekanisme perizinannya yang terlalu rumit untuk pengusaha pribumi?
Itu juga. Akibatnya, semua diurus secara diam-diam dan enggak transparan. Orang jadinya enggak tahu apa yang diambil dan berapa yang digali. Selain itu, bertebaran estimasi yang berlebihan tentang nilai harta karun. Bahkan, ada yang menyatakan Indonesia bisa membayar utang luar negeri dengan menggali harta karun. Itu nonsens semua.
Lo, bukankah pernyataan harta karun bisa melunasi utang Indonesia itu bersumber dari Anda sendiri?
Enggak. Biasa, orang meminjam mulut saya untuk menyatakan sesuatu. Untuk harta karun, memang banyak beredar cerita burung. Sebagian besar dari barang itu kan sebenarnya hanya bisa dijual untuk jadi perangkat restoran di restoran Cina. Cuma sedikit yang berharga. Nah, masa, kebijakan pemerintah didasarkan pada cerita burung? Yang benar aja.
Lagi pula, mencari lokasi karamnya kapal secara tepat membutuhkan riset yang mendalam. Sementara itu, kita tidak punya perangkat sistem yang memadai. Senjata kita cuma kedaulatan teritorial menyangkut tempat ratusan kapal yang karam. Yang lain, teknologi dan modal, kita enggak punya. Artinya, persoalan ini tidak sesederhana yang orang sangka. Makanya, saya enggak mau sembarangan ngomong. Saya pelajari dulu masalahnya.
Mengapa kita tidak sekalian melegalkan saja kerja sama dengan orang asing yang profesional seperti Michael Hatcher?
Itulah sebabnya sistem pengurusan harta karun harus dipelajari dulu. Kita cari formula yang tepat sesuai dengan tugas yang diberikan Keppres No. 107, yakni mengurus perizinan, merancang landasan hukum yang lebih permanen, dan mempersiapkan lembaga yang cocok untuk mengurus ini. Tapi tugas-tugas ini menuntut landasan hukum yang lebih kuat. Tidak cukup hanya keppres, tapi butuh undang-undang.
Apakah nantinya ada penyederhanaan mekanisme perizinan?
Dalam waktu dekat akan berlaku konsep otonomi daerah. Perizinan juga harus mempertimbangkan otonomi. Sebab, nantinya, proses bagi hasil juga untuk pemerintah daerah. Persoalan ini bukan semata-mata urusan pemerintah pusat.
Staf ahli Anda sudah mendata berapa potensi harta karun di laut yang sebenarnya?
Kita belum tahu. Andai kita punya ilmu pengetahuan dan ahli tentang arkeologi maritim, mungkin bisa kita hitung.
Ada yang memperkirakan total ada 487 titik lokasi kapal karam dengan nilai sekitar US$ 125 juta per titik pengangkatan?
Alaaa… (sembari menyibakkan tangannya dan tertawa).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo