Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Stasiun kereta api Stuttgart bersolek istimewa di musim panas ini. Dan sebahagian dari 250 ribu manusia yang lalu-lalang di sana saban hari mendadak betah berlama-lama di pelataran stasiun utama. Sembari makan angin musim panas, mereka menikmati panorama oriental yang eksotis dari sebuah konstruksi kapal kayu laut yang kokoh, nyaris menggapai atap. Panjangnya 50 meter, lebar dan tinggi 10 meter, berat 150 ton. Ditopang tiang-tiang besi, kapal itu ”melayang” di ketinggian 4 meter dari lantai stasiun. Di situlah temuan harta karun Tek Sing dipamerkan sejak Agustus lalu. Pameran ini adalah bagian dari promosi raksasa yang digelar Nagel Auction alias Balai Lelang Nagel, menyongsong lelang 350 ribu keping porselen dan keramik Dinasti Ching pada 17-25 November mendatang.
Alhasil, Stuttgart, kota penghasil anggur di selatan Jerman dengan penduduk setengah juta manusia lebih, tiba-tiba hadir dalam daftar kunjungan musim panas para kolektor antik Asia. ”Kami belum pernah punya pengalaman seperti ini,” ujar Robin Straub, pemilik Balai Lelang Nagel. Ia menyebut ini temuan porselen antik terbesar sepanjang sejarah harta karun. Maka, persiapan Nagel pun tidak tanggung-tanggung. Kepada Setiaji Purnasatmoko, koresponden TEMPO di Jerman, Robin mengaku telah membobol peti kasnya sebesar DM 6 juta (setara Rp 24 miliar pada kurs Rp 4.000) untuk biaya promosi.
Sepertiga dana dipakai untuk membangun kapal yang banyak membetot perhatian pengunjung itu. ”Tak terbayangkan betapa Kapal Tek Sing itu benar-benar ada. Bagaimana barang-barang itu diangkat dari dasar laut?” ujar seorang ibu di arena pameran kepada TEMPO. Pameran harta karun Tek Sing digarap dengan sentuhan multimedia berisikan sejarah Tek Sing, kisah kargonya, dan proses penggarukan harta karun itu di Riau. Ruang pamernya sendiri berupa lambung ditambah dek kapal—tersusun empat tingkat, seluas 1.500 meter persegi.
Tiga monitor yang tersedia memutarkan film kegiatan penyelamatan (”salvage” kata mereka)—yang buat Indonesia lebih pas dikatakan pembobolan—harta karun. Dan, astaga, Michael Hatcher, gembong pemburu harta karun yang tengah dicekal dan diburu Indonesia karena dinilai telah mengeduk harta itu secara ilegal dari perairan Riau, telah beralih rupa menjadi hero yang siap menyelam. Di monitor lain, Hatcher tampil memandori kru Melayu yang sedang membersihkan porselen.
Sebagian pengunjung terpaku di depan film itu. Apa boleh buat, tayangan itu tampaknya berhasil menanamkan kesan penyelamatan. Teks-teks yang digantung berisi kisah Tek Sing, jalur pelayarannya, serta kisah sukses ekspedisi Hatcher. Porselen-porselen dipajang mulai di lantai satu dalam tata letak yang kategoris: dinner set, mangkok tunggal, atau figur-figur hiasan Cina. Harga yang bergerak, dari DM 100 (Rp 40 ribu) hingga DM 10 ribu (Rp 40 juta), tertempel di dinding kaca dan bisa dibaca dengan mudah.
Lalu, apa target Straub? Ya, pembeli! ”Apakah Anda kira kami membangun seluruh konstruksi ini untuk pameran saja?” ujarnya. Maka, akses informasi pun dibuka ke seluruh dunia. Peminat boleh mampir ke Stuttgart, bisa juga mendaftar lewat internet. Urusan belanja, cukup setor nomor kartu kredit. Pesanan dijamin selamat sampai di tempat.
Jaring pemasaran semacam itu bukan cuma ditebarkan lewat iklan dan berita media. Sebuah road show digelar dari New York, London, Verona, Paris, Singapura, Tokyo, Hong Kong, hingga Kuala Lumpur untuk mengampanyekan ”The Tek Sing Cargo”. ”Jika mau menarik minat dunia, 20 ribu pembeli sih bukan jumlah yang banyak,” ujar bos Nagel. Maka, media massa adalah salah satu senjata. Menurut Straub, sudah hampir 400-an artikel Tek Sing terbit di berbagai belahan dunia. Media besar Jerman seperti Stern, Der Spiegel, ataupun Süddeutschezeitung juga sudah menulis soal serupa. Beberapa liputan stasiun televisi Jerman berikut 33 wawancara radio disiarkan sejak 8 Agustus lalu.
Tak mengherankan bahwa ahli keramik Sumarah Adhyatma mengatakan, harta karun Indonesia sebaiknya dijual di luar negeri. ”Keramik Tek Sing tak ada harganya di sini karena jumlahnya melimpah-ruah,” Sumarah memberi alasan. Lagi pula, sulit membayangkan keramik kuno Indonesia mendapat tempat seterhormat di Nagel Auction. Di gudang-gudang penyimpanan Pondokcabe atau Pondokdayung, Jakarta, ratusan ribu keping keramik kuno dari sederet dinasti, bahkan yang berasal dari dinasti jauh sebelum Ching (penghasil keramik Tek Sing), cuma diikat dalam karung-karung plastik dan kardus, lalu ditumpuk di pojok ruangan yang panas dan pengap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo