Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setiap selesai salat subuh, Monalisa Theresia menjalani rutinitas untuk menyambung hidupnya. Sebelum sarapan, ia lebih dulu mencuci darah secara mandiri atau dikenal dengan CAPD (continuous ambulatory peritoneal dialysis). Ini dilakukannya karena sejak empat tahun lalu ginjalnya bermasalah. Penyakit diabetes melitus tipe II telah menggerogoti dua buah pinggangnya, hingga hanya berfungsi di bawah lima persen. Tugas ginjal dalam mencuci darah pun digantikan oleh obat-obatan. Ia harus melakukan CAPD empat kali sehari: subuh, setelah makan siang, sore, dan menjelang tidur.
Sebenarnya perempuan 38 tahun ini bisa saja menjalani pencucian darah dengan cara haemodialisis, memakai mesin khusus di rumah sakit. Tapi itu tak kalah merepotkan. Dalam seminggu Monalisa harus tiga kali ke rumah sakit dan menghabiskan setengah hari di sana untuk pencucian darah. Dengan CAPD, dia hanya butuh 20 menit sekali treatment. Setelah kelar cuci darah pagi, ia bisa sarapan, lalu mengendarai sepeda motor dari rumahnya di Cibinong, Bogor, ke kantornya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Kota Depok.
Saat ini di Indonesia diperkirakan ada hampir seribu pasien gagal ginjal yang memakai sistem CAPD. "Pada 2009 saja sudah 800-an orang," kata dokter spesialis ginjal Rumah Sakit PGI Cikini, Tunggul Situmorang. Cairan pembersih darah ini umumnya adalah dialisat. Menurut Tunggul, cairan itu mengandung gula dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Gula itu berguna untuk menarik keluar racun hasil metabolisme dari dalam tubuh. "Makin tinggi konsentrasi gula ini, maka ia akan menarik cairan lebih banyak," ujar Tunggul. Karena mengidap diabetes, Mona harus memakai insulin lebih banyak agar gula dalam obat CAPD tidak menaikkan gula darahnya. Dalam sehari ia harus dua kali menyuntikkan hormon insulin, pagi dan malam.
Jumat dua pekan lalu, saat kami menemui Mona, dia sedang cuti karena harus menebus obat CAPD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pada pukul tujuh pagi, Mona memacu sepeda motornya ke Stasiun Bojong Gede, memarkirnya di situ, lalu melanjutkan perjalanannya ke RSCM dengan kereta listrik. Sambil berdesakan, ia menggembol tas kain berisi cairan CAPD seberat 2 kilogram untuk cuci darah siang nanti.
Di apotek RSCM, Mona menunggu selama tiga jam-sejak pukul 9 pagi hingga 12 siang-sebelum namanya dipanggil. Hari itu dia hanya memasukkan resep. Pengambilan obat baru bisa dilakukan beberapa hari kemudian. "Sejak tanggungan pengobatan beralih dari Askes (Asuransi Kesehatan) ke BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial), cairan CAPD tidak lagi dikirim, tapi harus diambil sendiri," kata Mona di RSCM. "Selain itu, setiap kali ambil cairan, saya harus izin kantor berkali-kali. Saya juga mengeluarkan biaya lebih banyak karena harus menggunakan taksi dan membayar orang untuk ngangkut."
Obat yang dibutuhkan Mona dalam satu bulan memang tak sedikit hingga dia membutuhkan kuli panggul. Dalam sehari ia memerlukan empat kantong CAPD, masing-masing berisi 2 liter. Artinya, setiap bulan Mona membutuhkan 120 kantong atau 240 liter. Itu sama dengan 63 galon air. Setiap bulan dia membawa 20 kardus cairan CAPD seberat 260 kilogram dari Jakarta ke Cibinong.
Setelah memasukkan resep, Mona menuju lantai 8 tempat poliklinik CAPD berada. "Saya harus nyuci dulu sebelum pulang," ucapnya. Ruang poliklinik ini sudah seperti kamarnya sendiri. Mungkin karena Mona begitu sering datang ke sini hingga semua orang mengenalnya dengan baik. Di sana dia mempersiapkan cairan, menggantungnya di tiang infus, lalu memasang ke tubuhnya. Semua dilakukan tanpa bantuan perawat. Mona menggulung pakaiannya di atas perut dan melepas ikat pinggang kain untuk mengeluarkan katup titanium yang menonjol di perutnya.
Dari katup itulah dia memasang slang untuk memasukkan obat CAPD. Aslinya katup yang tertanam di perut kanan bawah Mona ini panjangnya 30 sentimeter. Tapi, di luar perut, katup menjulur 10-15 sentimeter. Katup titanium ditanam dekat usus kecil untuk memasukkan cairan pembersih dari kantong ke tubuh pasien. Di dalam tubuh, cairan menarik segala macam racun hasil metabolisme, kemudian dikeluarkan lagi melalui katup itu.
Mona mengaku sering tertidur ketika proses CAPD berlangsung. Jika ia tertidur, proses ini bisa molor, lebih dari 20 menit. Dalam waktu yang lebih lama dari itu, cairan yang keluar dari tubuh bisa terlalu banyak. Ini membahayakan pasien. "Habis, tinggal duduk dan nyaman begini tempatnya, saya sering ketiduran," kata Mona terkekeh. Guna menyiasati agar tidak tertidur saat "nyuci" di kantor atau di rumah sakit, biasanya Mona main game atau menggelar barang dagangan.
Pernah satu kali perempuan keturunan Ambon-Jawa ditugasi ke Lombok selama sepekan. Ia harus dengan cermat menghitung jumlah kardus cairan yang dibawa. Repotnya lagi, Mona harus membawa itu ke bandar udara dan menitipkannya di bagasi pesawat. Bukan itu saja, ia juga harus mempersiapkan jumlah katup steril, alkohol sekali pakai, dan pena suntik insulin.
Meski harus menjalani pengobatan seperti itu dan dengan ginjal yang hampir tak berfungsi, Mona beraktivitas seperti layaknya orang sehat. Ia masih rajin turun ke lapangan untuk memberi penyuluhan. Dia mengendarai sendiri sepeda motornya, bahkan memboncengkan atasannya.
Pernah satu kali di Jalan Raya Parung, Bogor, sepeda motor yang dikendarai Mona menghajar jalan bolong. Sepeda motor dan penumpangnya tidak jatuh, tapi slang implan di perutnya langsung dipenuhi cairan berwarna merah. Mona dan atasannya pucat pasi. "Deg-degan saya, tapi ternyata enggak apa-apa, ya, terus jalan lagi," ujarnya, lalu tertawa.
Setelah mencuci darah di lantai 8, Mona makan siang di rumah makan Padang di dekat RSCM. Ia mengaku tidak banyak memantang makanan. Meski begitu, Mona sudah tidak mengkonsumsi minuman bersoda dan air hangat. "Kalau minum air hangat, saya merasa ingin muntah," katanya.
Selesai makan, Mona kembali ke rumahnya di Cibinong. Di rumah tipe 36, dia menghabiskan hidupnya sendirian. Ia bercerita tentang pernikahannya yang berantakan seiring dengan sakitnya. Ia dan suaminya bercerai justru saat mereka berupaya keras mempunyai anak lewat bayi tabung. Sebelum bercerai, mereka sempat mengangkat anak laki-laki. Tapi kondisi kesehatan Mona membuatnya terpaksa menitipkan anak angkatnya yang duduk di kelas VI sekolah dasar itu kepada kerabatnya.
Sesampai di rumah, Mona tidak langsung beristirahat. Ia malah sibuk bikin janji dan mempersiapkan nugget ikan dagangannya. Sebelum kami berpisah, Mona sekali lagi melakukan proses CAPD sendiri. Selesai CAPD, sambil tersenyum, ia menyelesaikan pembayaran dan menarik sendiri karung nugget ke dalam rumah, lalu memasukkannya ke pembeku. Kami bertanya bagaimana ia masih kuat melakukan semua aktivitas ini. "Ini mah enggak berat. Saya dagang memakai prinsip silaturahmi. Selain memperpanjang rezeki, juga memperpanjang umur. Beneran, deh. Terbukti kan pada saya?" ujar Mona.
Cheta Nilawaty
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo