SERTIFIKAT hak milik atas tanah, yang biasanya hanya bisa dibatalkan oleh menteri dalam negeri, kali ini diputuskan pengadilan. Keputusan kontroversial itu diambil oleh - siapa lagi kalau bukan - Hakim Bismar Siregar di Pengadilan Tinggi Medan, menjelang kepindahannya menjadi hakim agung di Jakarta, bulan lalu. Dalam putusannya itu Bismar membatalkan 17 lembar sertifikat tanah seluas 110 hektar di Desa Kampung Syukur Belawan, Medan, atas nama Asiong alias Eddy Susanto. Bismar merasa berhak membatalkan sertifikat itu karena mencurigai "ada main" antara Asiong dan Kantor Agraria Medan. Sebab, setelah memeriksa kasus itu, Bismar yakin bahwa tanah itu milik Haji Abdul Latif Harahap, penggugat dalam Ferkara itu. Apalagi, menurut Bismar, sertifikat itu di keluarkan Agraria hanya dua bulan setelah permohonan Asiong, tertanggal 10 Mei 1978. "Ini menimbulkan tanda tanya, karena Harahap lebih dulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan sertifikat atas tanah itu, tapi diabaikan Agraria," ujar Bismar. Karena itu, lanjut Bismar, "Kasus itu perlu diusut lebih lanjut oleh instansi pengusut tindak pidana korupsi." Pihak Kantor Agraria Medan, yang diduga Bismar melakukan korupsi, sampai pekan lalu masih belum menerima keputusan hakim itu. Kepala Agraria Medan, Drs. Zaufi Lubis, menyatakan akan segera mengajukan kasasi bila menerima keputusan banding itu. Sebab, menurut Zaufi, hakim tidak berhak membatalkan sertifikat atas tanah. "Satu-satunya yang berhak untuk itu adalah Departeman Dalam Negeri," ujar Zaufi. Sengketa, yang kini akan diteruskan ke Mahkamah Agung, itu bermula sejak tahun lalu. Yaitu ketika Haji Abdul Latif Harahap mengetahui bahwa Kantor Agraria Medan mengeluarkan sertifikat tanah di Desa Kampung Syukur itu atas nama Asiong. Padahal, Harahap merasa sebagai pemilik tanah itu sejak 1960, setelah ia memberikan ganti rugi kepada para penggarap pertama di atas tanah itu. Pada 1973, misalnya, Harahap mendapat ganti rugi dari Pertamina, yang hendak membangun kanal melintasi tanah itu. Empat tahun kemudian kembali Harahap mendapat ganti rugi dari Administrator Pelabuhan, karena instansi itu membangun ring road di atas tanah tadi. Pada 1980, ganti rugi serupa diterima lagi oleh Harahap dari Administrator Pelabuhan. "Fakta-fakta itu membuktikan bahwa tanah itu milik Harahap," ujar Syaiful Jalil, pengacara Harahap. Awal 1978, Harahap mencoba mengurus sertifikat atas tanah itu melalui Kantor Agraria Medan. Tapi, menurut Harahap, tidak pernah dilayani. Tiba-tiba Harahap dikagetkan oleh ulah Asiong beserta buruh-buruhnya yang mematok tanah seluas 110 hektar itu. Setelah diusutnya, ternyata, Asiong mengantungi 17 buah sertifikat atas tanah itu. Harahap mencoba menanyakan permohonannya ke Kantor Agraria. Jawaban yang diterimanya selalu mengatakan bahwa sertifikatnya masih diproses. "Akhirnya saya tidak tahan lagi, mengadu ke pengadilan," tutur Harahap. Direktur CV Cinta Tani Medan itu menuntut pula agar Asiong membayar ganti rugi sebanyak Rp 1 milyar. Di Pengadilan Negeri Mcdan, Asiong hanya mengaku sebagai kuasa dari beberapa orang keturunan Sultan Deli yang mengaku pemilik tanah itu, berdasarkan grant Sultan (semacam sertifikat hak milik dari Sultan). Tapi di persidangan Asiong tidak bisa membuktikannya. Sebagai gantinya, ia hanya menunjukkan surat keterangan camat Belawan, yang menyatakan bahwa surat grant Sultan itu sudah musnah dimakan rayap dan terbakar. Berdasarkan surat keterangan itu pula, Agraria Medan mengeluarkan sertifikat tanah itu. "Konversi seperti itu dibenarkan undang-undang," kata Zaufi Lubis. HAKIM R.M. Padmo Soerasmo, kemudian, meletakkan sita jaminan atas tanah itu. Setelah itu, beberapa orang yang mengaku pemilik tanah - yang memberi kuasa pada Asiong - muncul dan mengajukan verzet (perlawanan) atas putusan itu. Berdasarkan itu, Padmo kemudian mencabut kembali keputusannya. Tiga hari kemudian, 22 November 1983, Padmo menolak gugatan Harahap. "Pengadilan tidak berwenang menilai kebijaksanaan pemerintah dalam menerbitkan sertifikat atas tanah," begitu alasan Padmo Soerasmo. Harahap naik banding. Hasilnya luar biasa: Bismar Siregar, hakim banding, menyatukan perkara gugatan itu dengan perkara verzet yang juga dibanding Harahap. Hakim itu mengakui caranya itu baru pertama kali dilakukan pengadilan. "Tapi penggabungan itu bisa, dan proses persidangan menjadi lebih cepat dan hemat," ujar Bismar. Berdasarkan penggabungan itu, Bismar membatalkan kedua keputusan peradilan bawahannya. Di samping itu, Asiong dihukum membayar ganti rugi sebesar Rp 50 juta kepada Harahap. Bismar melihat banyak keganjilan dalam perkara itu. Selain keistimewaan yang diterima Asiong dalam pengurusan sertifikat, katanya, juga tentang orang-orang yang mengaku keturunan Sultan Deli. Orang-orang itu, kata Bismar, tidak pernah datang ketika dipanggil Pengadilan Tinggi. "Kalau betul mereka pemilik yang sah, kenapa tidak hadir?" ujar Bismar. Selain itu, Bismar menemukan keganjilan pada surat-surat keterangan camat terhadap pemilik grant Sultan itu. Sebuah surat atas nama Aman Daulat tertanggal 22 Agustus 1961 dan bernomor 176, sedangkan surat sejenis atas nama Tengku Rodiah tertanggal 16 Juni 1961 dan bernomor 214. "Masak nomor surat keterangan bulan Agustus lebih kecil dari bulan Juli," ujar Bismar. Bismar bukan tidak menyadari bahwa dengan penelitiannya itu ia mengubah cara hakim perdata mengadili, yang selama ini hanya bersikap pasif. "Sikap pasif itu harus diakhiri untuk mencari keadilan dan kebenaran," ujar Bismar, yang bulan ini akan memulai debutnya sebagai hakim agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini