BEKAS direktur kredit Bank Bumi Daya Raden Sonson Natalegawa, yang menurut Mahkamah Agung terbukti korupsi dalam kasus Pluit, diampuni Presiden. Berdasarkan pemberian grasi itu, Natalegawa, yang sebelumnya dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan dan telah dijalaninya sekitar 23 bulan - tidak perlu lagi meneruskan sisa hukumannya. Namun, sampai Sabtu pekan lalu, Keputusan Presiden Nomor 23/G tertanggal 18 Juni itu belum diterima para pelaksana keputusan itu. Wakil ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Eddy Junaeddy, ketua bidang pidana Mahkamah Agung, Anwar Senoesi, dan kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat, Bob R.E. Nasution, mengatakan bahwa belum tahu isi keputusan grasi itu. "Sebab itu kami belum bisa memberikan keterangan," kata mereka. Pihak keluarga Natalegawa juga menyatakan, belum menerima keputusan yang menggembirakan itu. Putri kedua Natalegawa, Lia, 24, mengatakan bahwa ayahnya sampai saat ini selalu berada di rumahnya di kawasan Hang Lengkir, Kebayoran Baru, Jakarta. "Ia sekarang kurus sekali dan banyak merenung," tutur Lia, mahasiswa jurusan ekonomi di sebuah universitas di London. Sementara itu, pengacara Natalegawa, Aswar Karim - yang mengaku sudah menerima kabar tentang grasi itu secara lisan menilai, keputusan Presiden dalam kasus itu sangat tepat. "Perbuatan Natalegawa itu, walaupun salah, tapi tidak membahayakan negara," ujar Aswar. Alasannya, kredit yang diberikan Natalegawa kepada direktur PT Jawa Building, Endang Wijaya, "Justru menguntungkan masyarakat dan negara." Sebab, katanya, "Terbukti bahwa semua utang-utang Jawa Building itu kini sudah dilunasi, dan kawa3an Pluit yang semula rawa-rawa sekarang menjadi daerah perkotaan." Tepat tiga tahun lalu, Natalegawa - yang kini berusia 53 tahun - dihadapkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara manipulasi kredit BBD untuk pembangunan perumahan Pluit di Jakarta Utara. Bapak empat anak itu dituduh memberi peluang kepada Endang Wijaya untuk mendapatkan kredit-kredit secara tidak sah, sehingga merugikan negara sekitar Rp 14,2 milyar. Sebagai pejabat bank, tuduh Jaksa, Natalegawa menerima imbalan dari Endang Wijaya berupa rumah dan klos di Plult. Tapi Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang diketuai M. Soedijono, awal 1982, berpendapat lain. Natalegawa dianggap tidak bersalah dan dibebaskan dari tuduhan itu. Padahal, sebelumnya, Endang Wijaya dihukum pengadilan yang sama 10 tahun penjara karena korupsi dan menyuap pejabat-pejabat negara termasuk Natalegawa. Keputusan hakim itu menyengat aparat kejaksaan - termasuk perasaan Jaksa Agung, ketika itu, Ismail Saleh. Ismail Saleh waktu itu berkomentar, "Perasaan rakyat bagaimana? Kecewa? Nah, saya sependapat dengan rakyat...! KEKECEWAAN Jaksa Agung itu belakangan "terobati". Baik Pengadilan Tinggi Jakarta maupun Mahkamah Agung, ternyata, membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan menjatuhkan hukuman 2 tahun 6 bulan terhadap Natalegawa. Bahkan dalam putusan Majelis Hakim Agung, akhir tahun lalu, ditetapkan pula bahwa Natalegawa - yang saat itu berada di luar tahanan - harus segera masuk walaupun minta grasi. Memang, sebulan kemudian, ketentuan "segera masuk" itu diralat dengan fatwa Ketua Mahkamah Agung. Keputusan terhadap Natalegawa dinilai mencerminkan sikap penegak hukum yang tidak ada kompromi dalam perkara-perkara korupsi. Ketua Majelis Hakim Agung, Adi Andojo Sutjipto, membenarkan bahwa keputusannya itu selain mempertimbangkan segi yuridis formal - melihat juga suasana antikorupsi yang lagi gencar-gencarnya digalakkan pemerintah. "Menurut kepatutan dalam masyarakat, bila pegawai negeri menerima fasilitas dari swasta, berarti pemberian itu dimaksudkan agar si pegawai negeri menyalahgunakan kekuasaan yang ada padanya," ujar Adi Andojo ketika itu (TEMPO, 14 Januari 1984). Adakah dengan keputusan grasi itu berarti sikap pemerintah berubah? Seorang pejabat yang mengurus masalah grasi membantahnya, "Keputusan pemberian grasi itu tidak bisa diartikan bahwa semua kesalahan Natalegawa diampuni Presiden. Natalegawa tetap salah, hanya saja dengan grasi itu ia tidak perlu lagi menjalani sisa hukumannya," ujar pejabat yang tidak bersedia disebut namanya itu. Pengacara Aswar Karim, tentu, sependapat. Grasi dari Presiden, katanya, benarbenar berdasarkan pertimbangan kemanusiaan, selain mempertimbangkan akibat perbuatan terhukum. Dalam permohonan grasinya, Natalegawa memang menguraikan pengabdiannya kepada negara di bidang perbankan selama 20 tahun. Ia mengaku memberikan andil yang besar pada masa awal Orde Baru dalam rangka mengatasi kesulitan negara di bidang devisa - mengembalikan devisa negara yang tercecer di luar negeri. Ikut dalam pendirian IGGI. Dan menjadi anggota delegasi Indonesia ke sidang Asian Development Bank di Tokyo yang menggolkan Indonesia sebagai pendiri lembaga itu. Ia juga mendapat tanda jasa karena berhasil menyelesaikan proyek pampasan perang dari Jepang yang kini berwujud Wisma Nusantara. "Semuanya itu yang kemungkinan menjadi pertimbangan pemberian grasi terhadap Natalegawa. Jadi, tidaklah benar bahwa dengan pemberian ampun itu berarti kebijaksanaan pemerintah terhadap korupsi berubah," ujar Aswar Karim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini