Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Spesialis kandungan dan kebidanan Dr. Leo Simanjuntak Sp.OG menjelaskan penyebab utama keputihan, terutama vaginosis bakterialis (BV), adalah kebiasaan mencuci vagina dengan sabun khusus. Lulusan Universitas Sumatera Utara itu mengatakan vagina memiliki mekanisme pembersihan mandiri sehingga bisa membersihkan dan menjaga kesehatan lingkungan sendiri tanpa bantuan sabun khusus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Yang dimaksud mencuci vagina adalah bagian dalam. Kalau masih gadis enggak boleh. Pada ibu berkeluarga mencuci vagina juga tidak dianjurkan atau tidak diperbolehkan," kata Leo dalam acara Pertemuan Ilmiah Tahunan Bidan 2024 di Jakarta, Sabtu, 19 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain itu, vagina juga memiliki banyak bakteri, yang dalam keadaan sehat lebih dominan bakteri baik lactobasilus sebanyak 90 persen. Jika kondisinya lebih banyak bakteri jahat atau anaerob maka susunan bakteri akan berubah dan terjadi keluhan keputihan.
Hanya boleh dibersihkan tenaga medis
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas HKBP Nommensen Medan ini mengatakan membersihkan vagina secara mandiri hanya diwajibkan di area luar dengan dibilas air bersih dan dikeringkan.
"Ada kalanya juga perlu dibersihkan. Yang membersihkan ini tentu tenaga medis, tenaga kesehatan, dengan pengobatan atau pembersih yang ada di praktek atau di rumah sakit," jelasnya.
Leo menyarankan jika ingin membuat vagina lebih bersih bisa menggunakan bahan alami seperti mencuci dengan air daun sirih dan mandi seperti biasa. Sementara itu, penyebab keputihan pada vagina antara lain vaginosis bakterialis dan keputihan berwarna putih keabuan, tipis, tidak kental, dan khasnya berbau amis.
Selain itu juga ada kandidiasis vulvovaginosis, yaitu keputihan karena jamur yang memiliki ciri khas kental, bergumpal, dan gatal, serta trikomoniasis, yaitu keputihan dengan ciri berbusa dan rasa panas. Keputihan yang dibiarkan, terlebih pada ibu hamil, bisa menyebabkan keguguran dan risiko bayi lahir prematur jika tidak ditangani lebih lanjut.