MENJADI sarjana farmasi tidaklah selalu bisa memiliki apotek.
Sebagian besar apoteker hanya sekedar pegawai. Kenyataan ini
rupanya mengecewakan Himpunan Mahasiswa Farmasi Ars Praeparandi,
Institut Teknologi Bandung.
Himpunan itu membuka forum diskusi di Bandung akhir Desember.
Para pesertanya menyuarakan supaya fungsi apoteker diluruskan,
terutama di apotek. Di apotek kita umumnya sekarang, demikian
dosen farmasi ITB, Dr Guswin Agus, "kedudukan pengusaha menjadi
dominan. "
Kaum pengusaha di situ dipandang merobah apotek menjadi tempat
mengejar keuntungan, bukan unit kerja profesi. Oleh karena
apoteker hanya sekedar pegawai, mereka tak begitu berdaya untuk
mengawasi obat dan harganya. Penyediaan dan penyimpanan obat
selalu ditangani pengusaha. Dalam keadaan begitu, akan sulit
bagi apoteker mempertahankan kode etik.
Suara dari diskusi itu bergema juga pekan lalu ke luar.
Umpamanya, kalangan pengurus Ikatan Sarjana Farmas: Indonesia
cabang Yogyakarta menyinggung soal izin membuka apotek.
"Sebaiknya izin itu diberi kepada apoteker," kata dra. Ny. Sri
Sulihtyowati dari Yogya itu. Berdasar peraturan yang berlaku,
seseorang memperoleh izin itu asalkan menyediakan apoteker.
Adalah apoteker yang dianggap bertanggungjawab dalam teknis
farmasi.
"Yang ideal ialah sarjana farmasi bertanggungjawab secara
keseluruhan, buhan hanya teknis," ulas drs L.P. Mangunsong,
sekretaris umum ISFI Pusat di Jakarta. "Apotek cenderung
bersikap mencari keuntungan sebesar-besarnya karena
tanggungjawab menyeluruh dipegang pengusaha."
Drs Achmad Basori, anggota ISFI dari Surabaya, melihat rekannya
di apotek "sebagai sapi perahan. Kerjanya hanya tinggal
tandatangan. Penyediaan obat untuk konsumen praktis di tangan
pengusaha. "
Jumlah apoteker di Indonesia sekarang sekitar 2000.
Penghasilannya sebagai pegawai apotek di bawah Rp 100.000
umumnya. "Bila dihitung per resep, hanya Rp 16. Nilai
tanggungjawabna terendah di dunia," sambung Basori. Mungkin
karena itu pula, animo menjadi sarjana farmasi menurun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini