Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KIAMAT” sudah lewat bagi Joha-nes Ginting. Detik-detik mene-gangkan sekaligus menjemukan di rumah sakit bagi pemuda 25 ta-hun itu sudah berakhir. Pasien flu burung asal Desa Kubu Simbelang, Keca-matan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, itu lolos dari maut. Dia adalah satu-satunya pasien yang selamat dari kluster flu burung di Karo yang telah menewaskan tujuh orang.
”Secara klinis, pekan ini dia sudah bo-leh pulang,” kata dokter M. Nur Rasyid- Lubis, Kamis pekan lalu. Nur adalah Asis-ten Wakil Direktur Pelayanan Medis dan Pendidikan, Rumah Sakit Adam Malik, Medan, tempat Johanes dirawat. Sebelum- kepulangannya, Johanes akan bertemu- pejabat Dinas Kesehatan Kabu-paten Ka-ro dan Provinsi Sumatera Utara.
Pertemuan itu penting buat masa depan Johanes. Soalnya, ia masih harus- menjalani pemantauan, setidaknya selama setahun ke depan. Kesembuhan-nya ju-ga akan menjadi bahan peneliti-an pen-ting untuk kajian flu burung. Se-lama- ini sejumlah dokter dan peneliti berta-nya-tanya, apakah daya tahan- tubuh Johanes menjadi satu-satunya faktor pe-nolongnya atau ada faktor lain, mi-sal-nya gene-tik. Maka, Johanes yang dirawat sejak awal Mei itu pun tak pernah luput dari pantauan. Data-data di-rinya akan membantu Departemen Kesehatan untuk menye-lesaikan kasus-kasus wabah flu burung yang hingga kini belum terpecahkan. Menurut data Departemen Kesehatan, hingga pertengahan Juli 2006, tercatat 54 pasien positif flu burung dan 41 orang di antaranya meninggal dunia.
Munculnya galur maut Karo, yang me-nyerang Johanes, menyedot perhati-an dunia. Akhir Mei, Badan Kesehatan- Dunia (WHO) melansir kemungkin-an telah terjadi penularan flu burung antar-manusia. Pernyataan itu berdasarkan fakta pasien-pasien flu burung di Karo tak semuanya berhubungan langsung dengan burung dan ayam. Chairul Anwar Nidom, dosen biokimia dan biologi molekuler Universitas Airlangga, Su-ra-baya, sebelumnya juga memiliki dugaan serupa (Tempo, 28 Mei 2006).
Dalam simposium di Jakarta pekan la-lu, hipotesis penularan virus flu burung sesama manusia kembali digelindingkan Profesor Luhur Soeroso dari Rumah Sakit Adam Malik. Hanya, menurut Lu-hur, penyebaran virus itu masih terjadi secara terbatas, yakni pada orang-orang yang memiliki hubungan darah. Dalam kasus di Karo, kerabat Johanes yang positif flu burung dan meninggal diduga tertular saat mengantar dan menunggui mendiang Puji boru Ginting di rumah sakit. Puji adalah tersangka flu burung pertama yang meninggal dan tak diambil sampel darahnya karena sudah dikuburkan. Adapun kerabat Johanes yang meninggal adalah Roy dan Boy Karo-karo (keduanya anak Puji), Anta boru Ginting, Brenaita boru Ginting (anak Anta), dan Rafael Ginting.
Pada 22 Mei, giliran Does Ginting, 32 tahun, ayah Rafael, meninggal karena flu burung. Does diduga tertular virus saat menemani Rafael dirawat hingga me-ninggal pada 13 Mei. ”Di luar kasus ini, dugaan transmisi antarmanusia yang lain belum terbukti,” kata Luhur.
Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Kesehatan, Triono Soendoro PhD, tak menampik hipotesis itu. Namun, ia mengingatkan, kemungkinan keluarga Johanes terinfeksi dari unggas juga tak bisa diabaikan.
Untuk menjawab teka-teki soal penularan virus flu burung antarmanusia itu, para ahli biologi molekuler dari Lembaga Eijkman, Jakarta, melakukan uji sequencing atau uji pengurutan DNA (asam deoksiribonukleat) virus dari li-ma korban di Karo. Hasilnya? Urutan DNA mereka sama. Hanya urutan DNA Does yang berbeda.
Temuan ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan peneliti: mungkinkah virus di tubuh Does sudah bermutasi- atau mengalami perubahan genetik (bi-sa karena kawin silang dengan virus flu burung jenis lain)? Apakah mutasi itu melahirkan virus yang semakin mudah menular antarmanusia? Perkara mutasi DNA itu memang ditakuti para peneliti, sebab mutasi bisa menjadi pemicu ada-nya pandemi (serangan secara luas) flu burung di dunia.
Jurnal Nature edisi 13 Juli jelas-jelas menyebut terjadinya 21 mutasi dalam vi-rus Does, dibandingkan dengan virus da-ri korban Karo lainnya. Elodie Ghe-din,- ahli genom dari University of Pittsburgh School of Medicine, Pennsylvania, Amerika Serikat, menduga hal itu bisa terjadi karena dua hal. Pertama, Does terinfeksi strain virus dari burung yang lain. Kemungkinan lain, virus dari anaknya menclok, lalu menyatu dengan strain virus flu lain yang berada di tubuh Does.
Untuk mencari kebenaran mengenai- soal ini, menurut peneliti biologi mole-kuler Lembaga Eijkman, David Handojo Muljono, lembaganya akan melakukan kloning gen dari sampel yang ada. Setelah itu, barulah disusun langkah untuk menangkal kemungkinan pandemi flu burung.
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo