Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh Syahrir
Kebijakan ekonomi selalu dihubungkan dengan pe-merintahan yang berkuasa dan karenanya kebijakan itu bisa berubah-ubah tergantung perubahan kekuasaan.
Pemerintah baru mengeluarkan paket kebijakan yang dilancarkan oleh Menko Perekonomian Boediono, Gubernur BI Burhanuddin Abdullah, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Negara BUMN Soegiharto. Ini mencakup kebijakan ekonomi di bidang-bidang lembaga keuangan perbankan, lembaga keuangan nonbank, pasar modal, dan meliputi apa yang disebut 14 kebijakan, 34 program, dan 55 tindakan yang dilaksanakan oleh Surat Keputusan Bersama Departemen Keuangan, Kementerian BUMN, dan bank sentral.
Bukan itu saja. Minggu sebelumnya di Magelang, Presiden SBY mencanangkan kebijakan di bidang energi de-ngan bio-diesel yang, mengutip Menteri Energi dan Sumber Daya Alam Purnomo Yusgiantoro, merupakan kebijakan yang menghasilkan energi, sekaligus bersifat pro poor (pro orang miskin) dan pro growth (pro pertumbuhan ekonomi tinggi). Bahkan kebijakan ini, konon, akan jadi bagian dari ”New Deal” Presiden SBY.
Ada hal serius yang perlu kita te-lusuri dalam memahami ki-nerja pemerintahan Presiden SBY dan W-akil Presiden Jusuf Kalla, yang pantas dicatat sebagai fakta nyata.
Pertama adalah tingkat pertum-buhan ekonomi. Bilamana di masa Orde Baru tingkat pertumbuhan ekonomi dari 1967 sampai 1997 mencapai rata-rata 6,7 persen per tahun, selama masa reformasi pertumbuhan hanya mencapai rata-rata 4,18 persen per tahun. Tapi masa reformasi bukanlah tanggung jawab Presiden SBY s-emata-mata, karena sebelum Oktober 2004, pemerintahan dipimpin oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri. Pada masa pemerintahan SBY, per-tumbuhan 2005 adalah 5,6 persen dan triwulan I 2006 adalah 4,59 persen. Angka ini bukan angka yang mampu menyerap tenaga kerja yang masuk pasar tenaga kerja. Atas dasar itu, pemerintah mengajukan revisi UU Tenaga K-er-ja karena, pada pandangan pemerintah, perundang-un-dangan yang ada memberi disinsentif pada calon-calon investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Buku Mankiew berjudul Principle of Macro Economics mengatakan ada prinsip nomor satu setiap kita menghadapi tradeoff. Artinya, bilamana saya memiliki uang 50 ribu r-upiah dan mengajak teman saya makan dan menghabis-kan uang itu untuk makan berdua teman, maka uang itu tidak bisa dipakai untuk membeli buku untuk anak saya. Uang itu juga tidak bisa dipakai untuk membeli bahan baku makanan untuk keluarga saya. Saya menghadapi pilihan di mana penggunaan uang itu meniadakan penggunaan uang untuk keperluan lain. Akibat saya makan berdua teman itu, maka hilang kesempatan untuk membeli buku bagi anak saya yang seharusnya menjadi prioritas. Biaya makan itu membatalkan rencana membeli buku anak, sehingga ongkos makan saya mempunyai biaya oportunitas (opportunity cost) berupa batal atau tertundanya pembelian buku bagi anak. Mari kita lihat ”kebijakan” yang ada.
Pertama, kita lihat revisi UU Tenaga Kerja yang mestinya sedang dibuat, namun kapan itu diajukan di parlemen, wallahualam. Dari pihak investor, luar dan dalam negeri, keengganan untuk berurusan dengan masalah ketenaga-kerjaan berdasarkan UU Tenaga Kerja yang ada sekarang tetap berlangsung. Di sini sangat sulit menghubungkan pernyataan Presiden SBY untuk memberikan red carpet treatment yang dicana-ngkan beliau di Timur Te-ngah baru-baru ini dengan belum tampaknya kesungguhan melaksanakan revisi itu. Tidak bisa kita meminta investor datang, tapi revisi undang-undang tidak dilakukan.
Kedua, paket kebijaksanaan ba-ru di bidang lembaga keuangan bank, bukan bank, dan pasar modal terkesan kuat dalam detail, tetapi ada beberapa substansi yang lupa di-bahas. Ada masalah kelembagaan yang sungguh-sungguh serius dan belum ada jalan keluarnya. Seba-gai contoh, dihebohkannya peng-gu-naan dana pemerintah di APBD yang diestimasi senilai 43 tri-liun rupiah yang, konon, ditem-patkan p-a-da sertifikat BI. Yang aneh adalah bila orang tiba-tiba mempersoalkan hal yang sudah lama terjadi dan memang merupakan masalah kelembagaan yang tidak sekadar menyangkut Bank Pembangunan Daerah, tapi juga bank-bank nasional.
Fenomena SBI itu tidak lebih adalah penempatan dana alokasi umum ataupun alokasi lain dari pemerintah pusat kepada pemda yang ditempatkan di Bank Pembangunan Daerah. Dana itu bisa dipakai dari APBD provinsi maupun APBD kabupaten/kota madya, dan sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan bank-bank yang direkapitalisasi tahun lalu mendapatkan 46 triliun rupiah lebih dari bu-nga utang pemerintah, yang bersumber dari APBN. Bunga utang dari APBN itu ditambah bunga SBI yang juga ditempatkan oleh bank-bank nasional, maupun Bank Pem-ba-ngunan D-aerah, secara keseluruhan dinikmati tanpa ada risiko apa pun bagi bank-bank yang bersangkutan. Penerimaan bu-nga tanpa risiko (non risk interest earning) yang begitu besar dalam sistem perbankan nasional tidak tampak tanda-tanda penyelesaiannya, kendati SKB Tiga Menteri muncul terperinci.
Di sini kita melihat bahwa masalah kelembagaan perbankan dan pasar modal tidak di-address secara terfokus. Se-bagai contoh adalah keterangan dari Direktur Utama Bank Mandiri, Agus Martowardoyo, yang mempermasa-lahkan kredit macet. Beliau memerinci 30 debitor kredit b-ermasa-lah dengan membaginya dengan 6 debitor yang memiliki itik-ad baik dan 24 debitor yang masuk kategori ma-cet. Di sini sama sekali tidak dibedakan pengertian yang lazim dalam perbankan dalam penanganan kredit. Bank seharusnya membedakan secara tajam antara debitor yang secara mutlak t-idak membayar bunga dan cicilan sama sekali untuk kurun waktu yang lama (katakan lebih dari 6 bulan), dan debitor yang masih tetap membayar, meskipun jumlah pembayaran bunga dan cicilannya dipersoalkan oleh bank. Menyamaratakan debitor yang pembayarannya macet total dengan yang masih membayar (karena dinilai sama-sama masuk kategori lima?) merupa-kan kesalahan yang pasti.
Di pasar modal, terjadi hal yang sama dari sisi penegakan ketentu-an bursa yang punya integritas. Kita tahu bahwa ada dugaan kuat berlangsungnya praktek ”goreng-menggoreng saham” yang mempunyai efek buruk pada integritas bursa. Jelas, ini harus diberantas, bukan sekadar dengan penyidikan dari pihak Bapepam, tapi dengan menyeret ke pengadilan pihak-pihak yang terbukti melaksanakan ”goreng-menggoreng saham”. Di p-ihak lain, ketentuan UU Pa-sar Modal dan keputusan Bapepam harus dilaksanakan secara m-utlak. Keputusan 46 Bapepam 2004 yang tidak dilaksanakan oleh KPEI yang telah berlangsung selama le-bih dari 9 bulan, jelas, harus ditindak oleh pihak berwenang. Kewajiban KPEI untuk membayar saham pada penjual s-aham ketika pihak pembeli gagal bayar tidak bisa ditawar-tawar. KPEI harus membayar tunai kepada penjual saham. Kalaupun nanti terbukti ada ”goreng-menggoreng saham” yang menyangkut pihak penjual saham, maka itu harus dilihat sebagai masalah tersendiri. Kalau benar terbukti, pihak yang ”goreng-menggoreng” itu wajib dihukum badan, kalau perlu. Yang terjadi adalah bahwa persoalan yang amat jelas hukumnya di dalam pasar modal tidak ditegakkan selama sembilan bulan lebih.
Ketiga, energi memainkan peran strategis bagi bangsa kita. Kenaikan BBM beberapa waktu lalu, jelas, mempu-nyai efek inflatoir yang masih terus kita rasakan. Karena itu, politik ekonomi energi menjadi vital untuk dibuat secara efektif. Apa yang terjadi pada saat sekarang? Kita ingin menggunakan energi batu bara dan kita juga ingin memiliki energi bio-diesel. Energi yang berasal dari minyak pun ingin terus dilaksanakan. Tetapi suatu kebijakan ekonomi energi tidak bisa melepaskan fakta-fakta yang berbeda antara gerakan pengembangan energi listrik berasal dari minyak dengan batu bara di satu pihak dan bio-diesel di pihak lain. Selain karena economies of scale yang berbeda, juga karena input faktor produksi yang non tradable, menonjol pada bio-diesel. Ini yang tidak bisa ”diterabas” dengan kehendak subyektif belaka. Meskipun ada ”faktor obyektif” se-perti tersedianya lahan, tersedianya sumber bio-diesel seperti kelapa sawit, gula, dan potensi pohon jarak, ada masalah kesukaran implementasi yang mendasar. Kita teringat di zaman Presiden Soeharto ada ambisi besar dengan proyek sejuta hektare lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan makanan.
Pemerintah Presiden SBY telah bekerja keras dan kesan bersihnya pucuk pimpinan negara masih kuat. Namun, angka-angka makro-ekonomi dari sisi tingkat pertumbuhan, inflasi, kesempatan kerja, dan indeks pembangunan manusia hingga kini hasilnya hanya antara ”sedang-sedang” dan/atau ”kurang”. Kita tidak bisa menerabas dengan satu tindakan (one act) untuk melompat mencapai pertumbuhan 6,6 persen dan full employment. Ada tradeoff dan kini upaya menekan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan dengan konsistensi kebijakan seharusnya men-ja-di kebutuhan utama. Hal ini yang tidak tampak. Misalnya dalam kasus Cemex yang kabarnya dibeli oleh Rajawali. Kasus ini di-ketahui pada mulanya dengan sikap Menteri Negara BUMN yang ingin membuat konsorsium BUMN untuk membeli s-aham S-emen Gresik yang dimiliki Cemex. Dalam pro-sesnya a-khirnya Menteri Negara BUMN menyetujui pembelian saham Semen Gresik itu kepada Rajawali. Kenapa ada policy zigzag? Kita harus transparan agar tidak ada kesan bahwa ada udang di balik batu di balik perubahan sikap Menteri Negara BUMN.
Saya percaya bahwa rakyat masih mendukung Presiden SBY hingga saat ini, tetapi time is running out. Kebutuh-an akan konsistensi kebijakan dan pemahaman yang mendalam bahwa dalam keputusan selalu ada tradeoff harus segera ditegakkan oleh Presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo