HEBOH susu "beracun" yang terjadi awal bulan ini belum selesai. Departemen Kesehatan, yang berjanji akan segera menjelaskan kasus keracunan Indomilk, Kamis pekan lalu pada dengar pendapat di DPR, hingga Senin pekan ini belum mengungkapkan penyebab keracunan. Sejumlah pejabat di lingkungan departemen itu menyebutkan, laporan dari kantor wilayah sudah masuk, hanya belum dibaca pejabat yang berwenang memberikan pengumuman. Namun, apakah laporan yang sudah masuk itu berisi hasil penelitian yang menunjukkan penyebab keracunan, tak ada seorang pun pejabat Departemen Kesehatan berani menjaminnya. Berbagai alasan diajukan untuk tidak memberikan jawaban, seolah penelitian pasal keracunan itu sangat ruwet. Kantor Wilayah Departemen Kesehatan DKI yang memberikan laporan ke Departemen Kesehatan pun agaknya masih merasa tidak pasti penyebab keracunan. "Kami baru menelitinya, waktu untuk penelitian sekitar satu minggu sampai sepuluh hari," tutur dr. Soeharto Wiryowidagdo, kepala kantor wilayah. Yang menjadi bahan penelitian tak dijelaskan dengan pasti oleh Soeharto Wiryowidagdo. Agaknya penelitian itu justru tidak mulai dari mengkaji hasil pemeriksaan korbannya, yang justru jalan terpendek untuk mengetahui penyebab keracunan. Soeharto berdalih, dari 190 korban keracunan awal November ini tak satu pun yang diperiksa di lingkungan Dinas Kesehatan DKI. Salah satu penelitian yang dilakukan, menurut Widagdo, adalah meneliti susu Indomilk yang diambil dari beberapa toko swalayan sejak 12 November pekan lalu. Penelitiannya, katanya, dilakukan secara mikrobiologi dan kimiawi. Namun, Soeharto menyangkal keras telah menyebutkan penyebab keracunan adalah bakteri Escherichia Coli (E-Coli). "Pembahasan itu kurang tepat," katanya, "walau dari berbagai kasus keracunan alat pencernaan, salah satu yang patut dicurigai adalah bakteri E-Coli." Sementara itu, ahli mikrobiologi dan calon antariksawan, Dr. Pratiwi Pujilestari Soedarmono, menyebutkan bahwa pemeriksaan adanya bakteri dalam makanan sebenarnya sangat mudah. "Cuma perlu waktu tiga atau empat hari, sudah segera ketahuan kuman jenis apa," katanya. Cara yang di gunakan, menurut ahli itu, adalah reaksi diagnostik cepat. Penelitian di pabrik, menurut Pratiwi, juga sebenarnya tidak ruwet. Teoretis, kontaminasi oleh bakteri seharusnya tidak terjadi, karena di pabrik susu segar sebelum dipaketkan harus melalui pasteurisasi, yaitu pemanasan sampai 70 C. "Pada proses ini bakteri-bakteri pasti mati, kecuali beberapa jenis bakteri yang jarang," katanya. Nah, yang perlu diteliti adalah berapa derajat pasteurisasi dilakukan, adakah gangguan pada pemanasannya. Di samping itu, sebelum dipasarkan apakah dilakukan pengetesan secara acak. Menurut Pratiwi, dalam kasus Indomilk perlu dinilai golongan bakterinya terlebih dahulu. "Yang apatogen sudah nggak ada urusan, tidak akan menyebabkan penyakit," katanya. Yang dimaksudkannya, bakteri yang ada pada tubuh yang baru menyerang bila badan sangat lemah. "Yang patogen yang dapat menimbulkan penyakit," ujar ahli mikrobiologi dari Universitas Indonesia itu. Bakteri-bakteri patogen ini memang berbahaya, dan bisa ganas. Menimbulkan infeksi di bagian tubuh tertentu dan mengakibatkan panas tinggi. Gejala tambahan lainnya bisa macam-macam, bergantung pada jenis bakterinya. Para korban susu Indomilk, kemungkinan besar, terserang bakteri patogen ini. Gejala keracunan tidak cuma mencret atau diare. Sebuah poliklinik perusahaan minyak asing - yang tak mau disebutkan - mengutarakan bahwa dokter asing yang melaporkan kasus keracunan menegaskan gelalanya adalah: mencret disertai panas tinggi hingga penderita menggigil. Juga diikuti muntah. Gejala keracunan paling nyata terlihat pada Menik, gadis 6,5 tahun murid kelas I SD Al-Azhar, Jakarta. Menik memang sangat suka susu Indomilk. "Ia suka yang rasa banana," ujar ibunya. Ketika keracunan, Menik mencret. "Sehari sampai lima kali dan warnanya putih seperti warna susu," kata ibunya lagi. Kemudian badan Menik panas, suhu badannya naik sampai 40 C. Menik juga menggigil, dan tangan serta kakinya dingin. Napasnya bahkan dingin seperti es. Tidak jelas mengapa gejala-gejala semacam ini tidak mengundang perhatian para aparat kesehatan dalam membangun diagnosa. Juga tidak jelas mengapa para dokter yang merawat korban dan hasil-hasil pemeriksaan laboratorium para penderita ini tidak dimonitor. Padahal, dari data-data ini sebenarnya segera bisa diketahui penyebab keracunan. Pasal di mana kontaminasi terjadi di pabrik masalahnya barangkali hanya mencocokkan saja, bila penyebab sudah diketahui. Jim Supangkat Laporan Indrayati & A. Luqman (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini