Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Ketimpangan Gender dalam Pembiaran Seks Pranikah di Bali

Studi terbaru menyatakan istilah sing beli sing nganten mendorong praktik pranikah dan ketidakadilan gender di Bali.

5 Februari 2025 | 15.00 WIB

Ilustrasi perempuan Bali. Shutterstock
Perbesar
Ilustrasi perempuan Bali. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Di Bali, ada istilah sing beling sing nganten yang memiliki makna tidak hamil tidak menikah.

  • Studi Youth Voices Research menyebutkan istilah tersebut mendorong praktik seks pranikah untuk menguji kesuburan perempuan.

  • Bentuk ketidakadilan gender yang menempatkan perempuan hanya penghasil keturunan.

SEKS pranikah adalah topik yang kompleks dan sering menjadi perdebatan dari sisi moral, psikologis, dan agama. Di Indonesia, seks pranikah bisa menimbulkan sanksi sosial bahkan hukum, terutama bila hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pasal 412 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur bahwa hidup bersama di luar perkawinan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta. Tindakan kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan) ini dapat diproses secara hukum jika ada aduan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Meskipun ada sanksi sosial dan peraturan hukum, beberapa budaya “melegalkan” hal ini. Di Bali, misalnya, ada istilah “sing beling sing nganten” yang memiliki makna “tidak hamil tidak menikah”. Sing beling sing nganten ini bukan hanya slogan, melainkan juga sudah menimbulkan keresahan karena menyebabkan tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan. Pasalnya, hal ini diterapkan oleh para remaja dan didukung oleh orang tua.

Budaya sing beling sing nganten merupakan potret konstruksi gender yang timpang. Melalui budaya patriarki semacam ini, masyarakat membentuk peran perempuan sebagai penghasil keturunan bagi keluarga pasangannya sehingga membatasi kebebasan perempuan atas hak seksual dan reproduksinya.

Umat Hindu memadati area pura saat rangkaian Upacara Ida Bhatara Turun Kabeh di Pura Besakih, Karangasem, Bali, Maret 2024. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo

Hamil Tidak Hamil, Perempuan Tetap Dirugikan

Berdasarkan laporan Youth Voices Research, tradisi sing beling sing nganten memungkinkan atau bahkan mendorong hubungan seks pranikah untuk menguji kesuburan perempuan sebelum menikah.

Jika perempuan tersebut hamil, pasangan tersebut akan menikah. Namun, jika perempuan itu tidak hamil, mereka tak akan menikah.

Sing beling sing nganten mencerminkan tekanan sosial bagi laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka. Di sisi lain, hal ini sangat merugikan perempuan karena mereka sering kali dijadikan obyek percobaan dan menghadapi stigma jika tidak hamil atau jika hamil di luar nikah.

Perempuan yang tidak kunjung hamil sering kali menghadapi stigma sosial yang signifikan. Mereka dianggap tidak mampu memenuhi harapan sosial untuk melahirkan anak. Hal ini dapat membuat perempuan merasa tidak berharga dan terpinggirkan di masyarakat.

Stigma ini juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional perempuan. Pasalnya, mereka mungkin merasa tertekan dan cemas akibat tekanan sosial yang kuat untuk membuktikan kesuburan mereka. Sebaliknya, perempuan yang mengalami kehamilan pranikah acap kali berada dalam posisi subordinat di masyarakat.

Studi tentang fenomena sing beling sing nganten menjelaskan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah juga sering menghadapi stigma sosial, diskriminasi, dan tekanan. Mereka juga sering kehilangan dukungan dari keluarga ataupun masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.

Ilustrasi perempuan Bali. Shutterstock

Patriarki di Bali

Studi di atas juga menyoroti bahwa norma sosial dan budaya patriarki memperkuat subordinasi perempuan dalam situasi ini, dengan menempatkan tanggung jawab dan beban moral kepada perempuan. Budaya patriarki adalah sistem sosial dengan laki-laki memegang kekuasaan utama serta mendominasi peran kepemimpinan dalam politik, otoritas moral, hak sosial, dan kontrol properti. Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering ditempatkan dalam posisi subordinat serta memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya dan kesempatan.

Di Bali, budaya patriarki sangat kuat dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam preferensi anak. Anak seakan-akan menjadi bagian dalam proses reinkarnasi leluhur dan digunakan untuk melanjutkan tradisi dalam menjaga keseimbangan keluarga.

Memiliki anak laki-laki masih diutamakan bagi masyarakat Bali karena mereka dianggap sebagai pewaris, penerus garis keturunan, juga bertanggung jawab atas ritual keluarga. Ini menambah tekanan bagi perempuan untuk melahirkan anak, terutama anak laki-laki.

Padahal studi menunjukkan, dalam kepercayaan Hindu, perempuan digambarkan dengan sangat mulia dan memiliki peran penting. Perempuan dipuja sebagai kekuatan sakti yang penting bagi laki-laki. Dewi-dewi Hindu, seperti Saraswati, Laksmi, dan Parwati, menunjukkan peran penting perempuan dalam penciptaan, pemeliharaan, serta pelebur alam semesta.

Pada praktiknya, hukum adat dan tradisi patriarki di Bali sering menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meski perempuan Bali berperan penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan, mereka acap tidak diakui secara setara. Kesetaraan gender dalam ajaran Hindu bertentangan dengan ketidakadilan yang dialami perempuan Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Refleksi

Sing beling sing nganten di Bali telah menyebabkan tekanan sosial dan budaya yang kuat bagi perempuan Bali. Tradisi ini menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan. Sebab, mereka sering menjadi obyek percobaan dan tetap menghadapi stigma, baik tidak hamil maupun hamil di luar nikah.

Ini menunjukkan ketidakadilan gender yang masih ada dalam masyarakat Bali, yakni perempuan harus membuktikan kesuburan mereka untuk memenuhi harapan sosial dan budaya. Selain itu, fenomena ini memperkuat norma-norma patriarki yang menempatkan tanggung jawab reproduksi sepenuhnya pada perempuan, sementara laki-laki sering kali tidak menghadapi konsekuensi yang sama.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation Indonesia dengan judul 'Sing beling sing nganten’: Bagaimana budaya lokal di Bali memaksa perempuan menjadi penghasil keturunan”.

Anastasia Septya Titisari

Anastasia Septya Titisari

Peneliti muda Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus