Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Khasiat Cacing Tanah sebagai Obat

Khasiat ekstrak cacing tanah untuk menghambat pembekuan darah baru terbukti pada tikus percobaan. Tapi, dalam pengobatan Timur, cacing tanah sudah banyak dipergunakan.

12 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEKALI, silakan mampir ke klinik pengobatan tradisional Cina di kawasan Kebonjeruk, Jakarta. Anda akan menjumpai beragam terapi yang unik, misalnya ramuan untuk pasien dengan tekanan darah tinggi. Ramuannya berupa dedaunan kering dengan lima ekor cacing tanah kering kecil yang isi perutnya sudah dikeluarkan. Ramuan tersebut tinggal direbus dan diminum rutin sesuai dengan resepnya.

Mungkin tak pernah terbayangkan bahwa cacing tanah yang berlendir dan berkesan menjijikkan itu bisa berkhasiat sebagai obat. Memang mungkin Anda pernah mendengar cerita tentang pengobatan seorang anak yang sembuh dari penyakit kronisnya setelah meminum air celupan cacing tanah di air panas. Namun, cerita di zaman dulu itu apa bisa diterapkan di zaman pengobatan modern ini?

Bagi masyarakat Cina, obat dari cacing tanah bukan sesuatu yang asing. Berabad-abad lamanya cacing tanah—lazim disebut dilong—turut memperkaya khazanah pengobatan tradisional. Beberapa pusat pengobatan tradisional Cina menawarkan kapsul ekstrak cacing tanah di situs internet. Dalam bentuk yang masih asli, cacing tanah kering juga bisa didapatkan di kios-kios obat Cina di Jakarta.

Dilong, menurut Juliana Tjandra, direktur sebuah klinik pengobatan Timur, Pusaka Timur, Jakarta, punya sederet khasiat. Kesaktiannya beragam, dari memperlancar kerja ginjal, menurunkan tekanan darah, melancarkan sirkulasi darah, mengikis dahak, hingga mengusir rasa nyeri. Tapi, kata Juliana, kesaktian dilong hanya muncul bila diracik bersama dedaunan tertentu. Hanya, bagaimana detailnya, Juliana tak mau membeberkan ramuan dilong yang dijual sekitar Rp 10 ribu tiap resep itu. "Rahasia," katanya.

Ternyata cacing tanah kini mulai dilirik dunia kedokteran Barat. Pekan lalu, Kongres Ahli Mikrosirkulasi Se-Asia IV, di Bandung, antara lain membahas khasiat hewan yang bernama ilmiah Ascaris lumbricoides ini. Dalam kongres yang diselenggarakan Perhimpunan Flebologi dan Mikrosirkulasi Indonesia (PFMI) itu, tim dokter dari Shanghai Medical University mempresentasikan hasil uji laboratorium ekstrak cacing tanah. Adalah Huiming Jin, bersama dua dokter lainnya, yang berhasil mengekstraksi enzim aktif dalam cacing tanah yang disebut lumbrokinase.

Setelah diujicobakan pada tikus, enzim lumbrokinase terbukti berkhasiat menghambat pembekuan darah. Enzim ini memacu zat aktif, plasminogen, dalam sel-sel pembuluh darah sehingga aktivitas penguraian darah meningkat. Enzim ini juga punya potensi untuk penderita arteriosklerosis, yang pembuluh darahnya mengalami pengapuran. Pada pasien arteriosklerosis, kadar trombosit—zat pembeku darah—meningkat sehingga menyulitkan plasminogen mengurai darah. Persoalan ini, menurut riset Huiming Jin, bisa ditolong oleh cacing tanah. Enzim lumbrokinase sanggup mendorong plasminogen kembali giat beraksi.

Selama ini, dunia medis menggunakan obat Streptokinase untuk menolong pasien jantung yang darahnya terancam menggumpal. Setiap kali serangan jantung datang, pasien diinjeksi dengan Streptokinase, yang berharga Rp 2,5 juta per ampul. Nah, bila enzim lumbrokinase bisa dikembangkan secara massal, diharapkan obat antipembekuan darah bisa didapat dengan harga lebih murah.

Betulkah enzim cacing tanah bisa menggantikan peran Streptokinase? Menurut Lily Rilantono, spesialis jantung yang juga Ketua PFMI, bukti lumbrokinase sebagai antipembekuan darah memang makin kuat. Tapi khasiat enzim ini baru teruji di laboratorium. Dengan begitu, masih dibutuhkan uji klinis pada manusia untuk membuktikan tingkat keamanannya. "Perlu riset satu atau dua tahun lagi sebelum siap dipasarkan," kata Lily, yang berpraktek di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta.

Sampai kini, Departemen Kesehatan belum melegalkan penggunaan ekstrak cacing tanah sebagai obat alternatif. Namun, Sampurno, Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, mengaku tidak apriori terhadap keberadaan obat ini. "Hanya, perlu ekstra-hati-hati," katanya. Tingkat kebersihan pengolahan cacing, misalnya, mesti menjadi perhatian utama.

Bagi Ketua Perhimpunan Ekokardiografi Indonesia, Hamed Oemar, fakta bahwa lumbrokinase belum melewati uji klinis perlu ditekankan. Hal ini untuk menghindarkan harapan berlebihan pada masyarakat. Pasien pun diharapkan bersikap kritis terhadap gencarnya tawaran obat alternatif yang belum teruji secara medis. "Jangan terpaku hanya pada harga murah. Keamanan jiwa jauh lebih penting," katanya.

Mardiyah Chamim dan Dwi Arjanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus