Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Pabottingi
DARI kontroversi mengenai asas iman dan takwa dalam Kongres PAN baru-baru ini, kita dapat mengupayakan pencerahan menuju deconfessionalized politics: perikehidupan politik yang tidak dirusak oleh politisasi agama. Politik tanpa bendera agama adalah ciri terpenting dalam demokrasi modern. Genealoginya dapat ditarik ke J.S. Mill hingga ke Hobbes, hampir tiga ratus tahun silam. Dalam sejarah bangsa kita, itu bisa dirujuk pada kenegarawanan Sukarno ataupun Muhammad Hatta. Ada empat alasan penting mengapa asas demikian sebaiknya ditolak jika suatu partai benar-benar bermaksud mengukuhkan keterbukaan. Pertama, agama bersifat ultimat-transendental. Kedua, politisasi agama berpotensi diskriminatif. Ketiga, kehidupan politik nasional kita, yang selama ini sarat diskriminasi, mudah meruakkan paranoia—a politics of distrust. Ini memperparah potensi disintegrasi, kemunafikan, adu domba, dan pengkhianatan terhadap cita-cita republik kita. Terakhir, ia bisa kembali terperangkap dalam pengaburan batas antara ruang privat dan ruang publik. Jika politik umumnya mengarah kepada aturan main yang dapat dibuktikan (verifiable) dan dipertanggungjawabkan (accountable), asas seperti iman dan takwa tak mungkin dibawa ke situ. Hanya Allah yang mengetahui murni-palsu serta tebal-tipisnya iman, dan karena itu pula hanya di akhirat nanti kita akan mempertanggungjawabkannya. Sifat tak terbuktikan dan tiadanya akuntabilitas iman-takwa ini diperberat oleh kemustahilan tawar-menawar atasnya. Kegagalan mengelola hal-hal ultimat-transendental secara lintas-agama itulah yang paling banyak menimbulkan tragedi sepanjang sejarah umat manusia. Apa yang terjadi di Maluku, Kosovo, Mindanao, Nigeria, dan Mesir adalah bukti-bukti mutakhir tentang sulitnya tawar-menawar di sekitar hal-hal yang ultimat-transendental tersebut. Lagi pula, dalam hal iman dan takwa, manusia ibarat kunang-kunang—silih berganti bersinar dan meredup. Pertumbuhan ataupun penyusutan iman-takwa ditandai pula dengan gerak maju atau mundur dalam kadar sinar dan redup itu. Kesilihbergantian demikian adalah kodrat manusia. Begitulah. Maka, dalam Islam, kita diperintahkan untuk senantiasa salat dan berzikir. Itu juga sebabnya kita diingatkan untuk selalu berdoa agar pada waktunya sanggup melepas napas terakhir dalam husnul khatimah. Kendati denotasi iman-takwa mengandung kesamaan pada tiap agama monoteistik, di Indonesia pasangan kata itu lebih berkonotasi Islam. Makin ke bawah jenjang sosial ekonomi umat, makin tebal pulalah konotasi itu. Konotasi dan perbedaan pemahaman inilah yang berpotensi diskriminatif. Bukankah diktum terpenting dalam prosedur demokrasi tak lain dari satu orang satu suara? Dan tiap pembenaran atau pembiaran suatu privilese atau diskriminasi akan membuatnya segera membiak tanpa batas. Pelajaran amat pahit dapat ditarik dari diskriminasi yang merajalela di bawah kebijakan dan praktek dwifungsi ABRI/TNI. Semula, ia dirumuskan sebagai penyetaraan posisi sipil-militer di bidang politik. Jadinya, ia puluhan tahun mendiskriminasi kalangan sipil, yang jumlahnya sekitar 500 kali lipat dari tentara. Ia memperburuk diskriminasi pemerintahan dan pembangunan antara daerah dan pusat. Dan ia menyebar pelbagai diskriminasi derivatif lainnya, seperti pada pengusaha ”pri” yang ditekannya sembari menganak-emaskan pengusaha ”nonpri”; pada masyarakat politik ”pri” yang seolah-olah dibelanya sembari menafikan masyarakat politik ”nonpri”; dan pada Golkar yang puluhan tahun disusuinya sembari mencekik ”partai-partai politik.” Diskriminasi ini bahkan merasuk jauh ke dalam tubuh tentara sendiri. Manusia Indonesia dibuatnya tak sederajat di depan hukum. Batas-batas antara ruang privat dan ruang publik pun dikacaunya. Sama halnya dengan dwifungsi ABRI/TNI, politisasi iman dan takwa itu berpotensi besar untuk menjadi sumber diskriminasi serta penyalahgunaan kekuasaan. Terutama di saat kita mencanangkan agenda reformasi dalam krisis multidimensi sejak 1998, terasa betul pupusnya kendaraan politik bersama bagi masyarakat serta perlunya penegasan kembali prinsip kesederajatan dan persaudaraan di dalam Indonesia. Setelah 30 tahun lebih hidup tidak sebagai satu nation, masyarakat kita baru belajar kembali membuang mutual distrust-nya dengan amat canggung. Alangkah mudah masyarakat jadi mainan unsur-unsur atau sisa-sisa rezim Soeharto, juga di kala sistem politik mereka sudah runtuh. Kooptasi masyarakat sipil oleh kekuasaan terus memarakkan perpecahan serta machiavellisme dalam kehidupan politik, ekonomi, dan hukum. Di tengah-tengah kehidupan politik seperti itu, masyarakat pun digiring agar bersatu lewat mediasi tentara. Celakanya, persatuan lewat mediasi ini pun ilusif. Rangkaian distorsi dan irasionalitas dwifungsi itu sendiri, penempatan ABRI secara nasional sebagai ”penjaga pembangunan” yang di lapangan dioperasionalkan sebagai ”penjaga proyek-proyek pembangunan”, dan maraknya rekayasa atau adu domba interen tentara menjelang runtuhnya Orde Baru, semua ini justru membuat dinamika perpecahan bangsalah yang digalakkan olehnya. Akibat terpenting dari paranoia politik Orde Baru adalah penciutan drastis komponen bangsa yang tidak saling menjegal atau menghancurkan. ABRI/TNI adalah satu-satunya milik bangsa yang selalu menyatakan diri tetap utuh dan mengaku sudah ”deconfessionalized”. Namun, pada kenyataannya ia pun telah menjadi sarana politik partisan dan terancam pecah lantaran masifnya penyalahgunaan kekuasaan oleh dan di bawah Soeharto. Penyalahgunaan kekuasaan itu juga inheren di dalam doktrin/praktek dwifungsi itu sendiri. Alangkah tragisnya jika hingga kini banyak saudara kita di kalangan militer tetap tak juga menyadari bahwa dwifungsi itulah sumber kerusakan terbesar pada ABRI/TNI, sekaligus penyumbang terbesar terhadap krisis multidimensi yang hingga kini masih terus mendera bangsa kita. Keruhnya campur aduk sisi-sisi buruk internal dan eksternal—feodalisme, kolonialisme, kapitalisme, dan apa yang disebut Eric Hobsbawm sebagai ”ideologi-ideologi ekstrem”—membuat evolusi rasionalitas politik seperti yang berlangsung di Barat sulit terjadi pada bangsa kita. Sejarah mencatat bahwa politik tanpa bendera agama bermula dengan diktum politik ”from immortal God to mortal god” dari Hobbes pada awal abad ke-17. Ini disusul oleh John Locke, yang mulai membayangkan tanggung jawab politik kepada individu atas nama rasio. Adalah J.J. Rousseau, yang mencanangkan sikap skeptis pada upaya menerapkan yang ultimat-transendental dalam kehidupan politik. Dia lalu diikuti oleh John Stuart Mill, yang melihat besarnya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan atas nama agama. Mill menyadari betapa pentingnya sistem dan mekanisme politik untuk menghindari imposisi hal-hal ultimat-transendental. Deconfessionalized politics bermula dari sini. Di dalam BPUPKI, sepanjang Maret-Mei 1945, para bapak bangsa kita masih berdebat habis-habisan mengenai agama dan ideologi. Untuk mengatasinya, Sukarno melakukan deconfessionalized politics dengan Pancasila. Hatta melakukan hal yang sama dengan mencabut ”tujuh kata yang terkenal” dari Piagam Jakarta. Ironisnya, perdebatan atas yang ultimat-transendental itu berulang bahkan lebih lama dan lebih parah lagi sepanjang 1955-1958. Sebagai perbandingan, para penulis The Federalist Papers di Amerika sudah meninggalkan perdebatan seperti itu lebih dari dua abad sebelumnya. Sejak itu, mereka sudah memusatkan perhatian pada cara-cara membentuk perangkat kelembagaan dengan detail mekanisme pemerintahan yang benar-benar memberdaulatkan rakyat Amerika dan menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Sebagian bangsa kita tak kunjung menyadari bahwa sejarah bangsa dan nasion kita berkubang dalam pelbagai distorsi dan irasionalitas yang mengabaikan sentralitas pencegahan penyalahgunaan kekuasaan tadi. Kita seolah-olah tak mampu belajar dari pengalaman mutakhir bahwa obsesi dan imposisi perlombaan serta pertikaian agama itulah yang membuat kita terus dikuasai oleh para bajingan dan koruptor Orde Baru. Dalam kesibukan pertikaian antar maupun intra-agama, merekalah yang bergerak menguasai kita. Dan tidak sedikit indikasi bahwa mereka pulalah yang menjadi dalang pelbagai pertikaian demikian akhir-akhir ini, untuk bisa terus mempertahankan kekuasaan mereka yang luar biasa korup, nista, dan zalim! Di antara kita masih banyak yang tak menyadari bahwa di kalangan agama mana pun selalu terdapat bajingan dan koruptor, sama halnya selalu hadir pula di dalamnya orang-orang bajik yang memiliki integritas. Terutama dalam konteks sejarah kita, partai-partai politik berkewajiban menggalang orang-orang bajik dan memiliki integritas itu secara lintas agama. Dan sarana-sarana politik kebersamaan itu sudah puluhan tahun pupus, dirusak, atau didistorsikan. Partai-partai politiklah yang paling bertanggung jawab untuk menciptakan dan membangunnya kembali. Kita tidak perlu cemas dengan sistem multipartai karena di negara mana pun, itu akhirnya akan berujung pada lima hingga tujuh partai. Yang perlu dicemaskan ialah jika partai-partai tersebut tidak bekerja sepenuh hati untuk mencerdaskan kehidupan politik bangsa kita, tiada hentinya mengejar, berebut, dan bertikai untuk kepentingan-kepentingan jangka pendek yang mengabaikan inklusivisme. Dengan terus menggerogoti nasion, mereka juga menggerogoti peluang bagi demokrasi. Deconfessionalized politics adalah bagian yang niscaya dalam penegakan rasionalitas politik. Dalam ketiadaan aturan main yang adil dan benar, kita akan selalu merisikokan kehancuran politik. Dan di dalam kehancuran itu, iman dan takwa sekalipun hampir mustahil diamalkan. Mungkin inilah paradoks terpenting dalam temuan politik modern: menghindari imposisi yang ultimat-transendental untuk meluangkan teramalkannya yang ultimat-transendental itu. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |