Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kisah Mereka yang menolak vaksinasi

Perdebatan soal vaksin mencuat seiring dengan maraknya media sosial. Alasan penolakan dari kehalalan, efektivitas, sampai dugaan konspirasi.

24 Desember 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kisah Mereka yang menolak vaksinasi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TELEPON seluler Dewi Hestyawati jadi lebih sering berdering setelah Kementerian Kesehatan memberlakukan outbreak response immunization untuk menangani merebaknya difteri, dua pekan lalu. Kebanyakan panggilan telepon itu menanyakan soal penanganan anak yang mengalami demam pasca-vaksinasi.

Dewi, 53 tahun, lebih dikenal sebagai Ummu Salamah. Dia menyebut sapaan itu sebagai "nama dakwah", mengacu pada istri Nabi Muhammad SAW, yang berarti "ibu keselamatan". Hampir satu dekade terakhir, dia menjadi tempat bertanya orang-orang yang ragu akan vaksinasi.

Dewi punya pengalaman buruk terkait dengan vaksinasi. Pada 2007, saat akan naik haji, dia tak kuasa ketika petugas memaksa menyuntikkan vaksin meningitis. Dua puluh menit berikutnya, Dewi keliyengan. "Saya stroke, seluruh tubuh kaku," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Dewi mengaku dapat sembuh lewat pengobatan bekam, pengobatan Nabawi yang ditekuninya sejak 2005.

Insiden itu memperkuat keyakinan Dewi bahwa vaksin berbahaya. Sarjana hukum dari Universitas Tarumanagara ini lalu menuliskannya dalam Vaksinasi, Dampak, Konspirasi. Isinya tentang ketidakhalalan, dampak buruk, dan konspirasi di balik vaksinasi. Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara mandiri sejak Agustus 2008 itu sudah dicetak ulang delapan kali. Dewi tidak mencatat penjualannya. "Setiap cetak, 5.000 eksemplar," ujar koordinator tenaga kesehatan di Gerakan Nasional Pembela Fatwa Majelis Ulama Indonesia ini.

Salah satu referensi Dewi adalah Natural News (www.naturalnews.com). Pada Februari lalu, sebanyak 140 ribu halaman Natural News dihapus Google karena dianggap penyebar berita bohong. "Soal hoaks kan tergantung siapa yang menilai," kata Dewi berkilah.

Dewi membuka klinik pengobatan islami di dekat rumahnya di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten. Penanganan berbagai penyakit dia lakukan via bekam atau penyedotan darah untuk mengeluarkan toksin. Pasiennya- yang dia klaim mencapai lebih dari 10 ribu- selalu ia anjurkan menjauhi vaksinasi. Alasannya sama dengan isi bukunya. "Kalaupun orang merasa sehat setelah vaksin, dia seharusnya lebih sehat jika tidak bervaksin," ujarnya. Jangkauan dakwahnya berkurang setelah Facebook mematikan kedua akunnya dua tahun lalu akibat banyaknya laporan soal konten tak pantas.

Di Facebook, bertebaran akun berbahasa Indonesia yang mengajak pembacanya menolak vaksinasi, di antaranya Dr Henny Thalib. Henny menampik permintaan wawancara dengan alasan Tempo menyebutnya sebagai antivaksin. "Kami adalah komunitas prochoice, yang pro jalan sehat selain dari vaksin," demikian tertulis di akunnya. Meski tertulis sebagai dokter konsultan air susu ibu, nama Henny Thalib dan Henny Zainal- yang tercantum di kontak telepon- tidak terdaftar di situs Konsil Kedokteran Indonesia.

Sama seperti Henny, Dewi menolak disebut antivaksin. Dia menyebut diri sebagai korban vaksin dan sembuh lewat pengobatan islami. "Sebagai umat Islam, wajib memberitahukan kebaikan kepada orang lain. Terserah mereka mau terima atau tidak," katanya.

Apa pun tajuknya, pengikut antivaksin semakin banyak. Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan dua pertiga dari 700-an korban difteri tahun ini memiliki tingkat imunitas nol. "Akhir-akhir ini sering ditemukan adanya penolakan terhadap imunisasi," ujar Nila. Namun belum ada data yang menunjukkan besaran gerakan itu.

Kebanyakan dari mereka menolak dengan alasan ketidakhalalan vaksin. Erik Hamzah, 35 tahun, tidak melanjutkan program imunisasi kedua anaknya, yang berumur 5 dan 1 tahun, setelah mendapat kabar bahwa vaksin belum memperoleh sertifikasi halal dari MUI. Bersama istrinya, Anita Puspitasari, warga Babelan, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, itu memberi anak mereka madu secara rutin. "Alhamdulillah, sampai sekarang kami tidak memiliki masalah kesehatan," katanya.

Sementara Erik galau menghadapi kejadian luar biasa difteri, Mariska Oktriana hakulyakin gaya hidup sehat bisa menghalau penyakit yang menyerang saluran pernapasan bagian atas itu. "Yang penting jaga pola makan; rajin berolahraga; hindari rokok, makanan berbahan pengawet, pewarna, dan cabai kering," ujar perempuan 35 tahun itu.

Keempat anak Mariska- dua kembar- sonder vaksin sejak lahir. Berbekal informasi dari Internet, ibu rumah tangga di Pondok Kelapa, Jakarta Timur, itu mengandalkan kurma, madu, dan jinten hitam untuk meningkatkan daya tahan tubuh anaknya. "Anak saya sembuh dari cacar setelah enam hari. Temannya yang divaksin cacar sakit sampai 14 hari," ucapnya membandingkan.

Joserizal Jurnalis, dokter sekaligus aktivis kemanusiaan, mengatakan terdapat tiga alasan keengganan bervaksin. Pertama, ketidakjelasan status kehalalan. Vaksin difteri, misalnya, belum disertifikasi Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia. Kedua, masalah efektivitas vaksin. Rizal mencontohkan vaksin BCG yang sempat disebut untuk mencegah tuberkulosis ekstra paru. "Ternyata banyak pasien saya kena TB tulang belakang, lutut, dan panggul padahal sudah divaksin BCG," kata dokter spesialis bedah ortopedi ini.

Alasan ketiga, Rizal melanjutkan, adalah dugaan konspirasi asing. Dia menilik kesaksian Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan 2004-2009, yang mensinyalir upaya Amerika Serikat dan Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebarkan virus flu burung di Indonesia lalu menjual vaksinnya. "Saya bukan antivaksin, tapi vaksin jangan dijadikan bisnis dan alat melemahkan negara," ujar Rizal, pendiri lembaga kemanusiaan Medical Emergency Rescue Committee (Mer-C).

Piprim Basarah Yanuarso, dokter spesialis anak yang dikenal sebagai aktivis provaksin, mengatakan perdebatan seputar imunisasi merebak di Indonesia seiring dengan maraknya penggunaan media sosial sejak 2011. Dia membagi kelompok antivaksin sebagai kelompok garis keras dan pengikut. Para pengikut biasanya akan mengikuti program vaksinasi setelah diajak diskusi. "Tapi, bagi hardcore (kelompok garis keras), sekuat apa pun kami memberikan penjelasan ilmiah, tetap ditolak," kata Piprim.

Dokter lulusan Universitas Padjadjaran ini menyesalkan koleganya yang mengajak masyarakat menjauhi vaksinasi. Dengan embel-embel dokter, dia melanjutkan, suara mereka jadi lebih didengar.

Setelah kejadian luar biasa difteri, Ikatan Dokter Indonesia membidik dokter yang ditengarai berkampanye antivaksin. "Ada dua orang, perempuan," ujar Ilham Oetama Marsis, Ketua Umum Pengurus Besar IDI, tanpa mau menyebut nama. Mereka dapat dikenai pelanggaran kode etik, seperti sanksi indisipliner karena melanggar ketentuan IDI, yang sanksinya bisa berupa rekomendasi pencabutan izin praktik. Mereka juga bisa dikenai pasal pidana. "Misalnya penyebaran kebohongan atau pemfitnahan."

Dewi justru menganggap kewajiban vaksinasi memperkeruh keadaan. "Berikanlah masyarakat kesempatan untuk memilih. Jangan dipaksa," ujarnya. Ketimbang vaksin, dia menyarankan Kementerian Kesehatan membagi-bagikan kurma, madu, dan susu kambing untuk meningkatkan sistem imun anak-anak.

1 1 1

GERAKAN antivaksin juga terjadi di berbagai belahan dunia. Penelitian antropolog London School of Hygiene and Tropical Medicine, Heidi Larson, tahun lalu mendapati sebagian besar penolak vaksin tersebar di negara-negara Eropa. Prancis, Bosnia-Herzegovina, Rusia, Ukraina, Yunani, Armenia, dan Slovenia merupakan negara dengan tingkat kepercayaan terendah terhadap vaksin di Benua Biru.

Di Prancis, responden yang ragu akan keamanan vaksinasi mencapai 41 persen. Sementara itu, responden yang tidak setuju bahwa vaksin aman ada 12 persen. "Eropa merupakan benua yang paling skeptis terhadap keamanan vaksin," kata Larson, seperti ditulis The Independent. Dia mengaitkannya dengan banjir arus informasi di era Internet.

Survei Larson juga menunjukkan tingkat religiositas suatu daerah tidak selalu berbanding lurus dengan penolakan mereka terhadap vaksinasi. Dalam survei itu, Iran, Negeri Para Mullah, menjadi negara yang paling mendukung vaksin. Begitu pula Mississippi, salah satu negara bagian paling religius di Amerika Serikat, yang cakupan vaksinasinya hampir seratus persen.

Salah satu alasan penolakan vaksin adalah sebagai pemicu autisme. Mereka terpengaruh ceramah Andrew Wakefield, peneliti asal Inggris yang menyebut vaksin campak-gondong-rubela (MMR) bisa memicu autisme. April lalu, campak kembali muncul di Minnesota setelah Amerika dinyatakan bebas campak sejak 2000. Penyebaran campak berasal dari komunitas keturunan Somalia.

Kebohongan Wakefield dibongkar jurnalis The Sunday Times London, Brian Deer. Dua tahun sebelum hasil risetnya diterbitkan pada 1998, Wakefield dibayar lebih dari Rp 10 miliar oleh Richard Barr, pengacara Inggris, untuk mendiskreditkan perusahaan vaksin MMR. "Tujuan utamanya adalah menghasilkan bukti yang tidak dapat dibantah sehingga pengadilan yakin vaksin ini berbahaya," kata Barr kepada Wakefield dalam sebuah surat rahasia.

Studi Wakefield yang telanjur berdampak luas itu ditarik dari peredaran. Lisensi medis peneliti lulusan St Mary’s Hospital Medical School, London, itu juga dicabut dan ia dilarang berpraktik di Inggris dan Amerika. Meski gerakan antivaksin menjadikan risetnya sebagai dasar penolakan, Wakefield merasa tidak bertanggung jawab. "Saya hanya memberikan informasi kepada para orang tua," ujarnya.

Reza Maulana, Angelina Anjar, Adi Warsono (bekasi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus