Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Secercah Cahaya bagi Ibu Tunggal

Banyak ibu tunggal mengalami diskriminasi dalam sejumlah hal, termasuk dalam pendidikan anaknya. Salah satunya, tidak bisa mencantumkan nama ibu di ijazah. Baru-baru ini Kemendikbudristek mengeluarkan edaran yang menegaskan pencantuman nama ibu dibolehkan.

26 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi ibu tungggal. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah kebijakan masih diskriminatif terhadap ibu tunggal dan itu perlu diubah.

  • Bahkan ada pula kebijakan yang tidak diskriminatif namun pelaksanaannya diskriminatif.

  • Perlu advokasi dan penyadaran aparat negara untuk memenuhi kebutuhan warganya tanpa diskriminasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poppy Dihardjo, seorang ibu tunggal, warga Jakarta Selatan, tak dapat menyembunyikan rasa gembira hingga meneteskan air mata ketika melihat Surat Edaran Kemendikbudristek Nomor 28 Tahun 2021 tertanggal 24 November lalu. Isinya, antara lain, pencantuman nama ayah, ibu, atau wali peserta didik dalam blangko ijazah pendidikan dasar dan menengah mengikuti permohonan ayah, ibu, atau wali peserta didik bersangkutan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak sia-sia usahanya menggalang petisi sejak 26 Oktober hingga 24 November 2021 untuk mencatatkan nama ibu di ijazah anaknya. Sebelumnya, Poppy sudah mengupayakan ke sekolah anaknya untuk mengisi blangko ijazah dengan namanya. Namun sekolah menolak. “Rasanya pada saat itu, ketika nama saya tidak dapat dicantumkan, seperti mendapat tonjokan di ulu hati,” ujar Poppy dalam sebuah diskusi daring pada 22 Desember 2021.

Dalam diskusi bertajuk “Diskriminasi Ibu Tunggal, Janda dan Perempuan Kepala Keluarga dalam Sistem Pendidikan” bertepatan dengan Hari Ibu itu, ia bercerita, sejak anaknya lahir pada 2010, boleh dikatakan 99,9 persen Poppy mengurusnya sendiri, meski saat itu masih ada pasangan. Setelah pasangannya meninggalkan mereka, otomatis Poppy memikul sendiri semua tanggung jawab hidup, termasuk pendidikan anaknya. Ia tak rela nama nama pasangannya tercantum di ijazah, karena dia tak ada campur tangan menghidupi anaknya dan biaya pendidikan.

Ilustrasi ibu tungggal. Shutterstock

Poppy tak sendiri. Ada banyak ibu tunggal mengalami nasib serupa. Mereka jungkir balik membesarkan putra-putrinya, sementara pasangan atau bekas suami tidak bertanggung jawab. Ada beberapa anggota organisasi, seperti Save Janda, Yayasan Pekka, dan Perempuan Tanpa Stigma, berbagi pengalaman terdiskriminasi karena status mereka sebagai ibu tunggal, kepala keluarga, dan janda. Mereka umumnya penyintas kekerasan dalam rumah tangga, ditinggalkan pasangannya, atau pergi dari rumah menghindari pasangannya yang "main tangan". 

Persoalan yang mereka hadapi bermacam-macam. Ada yang mengalami kesulitan dan diskriminasi ketika akan mengurus dokumen kependudukan, seperti akta kelahiran, kartu keluarga, ijazah, subsidi pendidikan, kesehatan, dan bantuan lainnya. Elvira Tania di Bali, misalnya, kabur dari rumah bersama dua anaknya tanpa membawa dokumen. Kedua anaknya tak bisa bersekolah karena tidak punya administrasi kependudukan. “Untuk beberapa tahun, mereka bersekolah di rumah, karena ditolak semua sekolah. Barulah kemudian dibantu sekolah swasta agama yang tidak menanyakan dokumen dan biaya,” ujar Elvira.

Imam Nahe’i, komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, mengatakan Komnas sudah melakukan pengkajian tentang sejumlah kebijakan diskriminatif ini. Namun celakanya, menurut pantauan Komnas, banyak pula praktik diskriminatif meski kebijakannya tidak diskriminatif. Contohnya, kasus yang dialami Poppy. “Padahal dalam kebijakan itu tidak ada keharusan mencantumkan nama ayah, tapi dalam praktiknya sekolah selalu mencatat nama ayah saja.”

Sebetulnya, ia melanjutkan, pencantuman nama ibu sudah dicontohkan dalam Al-Quran, dengan menyebutkan Isa putra Maryam. Ia mengatakan praktik diskriminasi  terhadap ibu tunggal atau janda bukan semata-mata kebijakan, melainkan cara pandang masyarakat terhadap situasi sosial perempuan. Diskriminasi di tingkat kebijakan sendiri perlu dihapuskan. Selain itu, perlu melakukan advokasi dan membangun kesadaran aparat negara untuk memenuhi kebutuhan warganya tanpa diskriminasi.

Rika Idayati dari Biro Hukum Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan surat edaran tentang penulisan nama wali murid di ijazah ini merupakan proses yang sangat cepat untuk menjawab ibu-ibu yang risau dengan mispersepsi pengisian blangko ijazah. “Miris masih ada mispersepsi. Tidak harus ayah, tapi bisa ayah, ibu, wali. Semoga bisa menjadi secercah cahaya bagi para ibu yang mencari keadilan masalah ini.”

Adapun Rohika Kurniadi Sari dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mengakui masih banyak tantangan di kalangan internal pemerintah. Menurut dia, negara berupaya menghapus diskriminasi terhadap perempuan melalui Inpres Nomor 9  Tahun 2000. Namun ternyata pelaksanaan di lapangan belum teraplikasikan dengan baik. “Kami menyadari inpres ini masih didominasi oleh praktik patriarki dalam kebijakan, sehingga keputusan bias. Buktinya sampai keluar kebijakan dari Kemendikbudristek.”  

DIAN YULIASTUTI

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus