Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Kisah Tubektomi yang Membawa Maut

Seorang pasien tewas gara-gara alergi obat bius saat operasi pengikatan indung telur (tubektomi). Di Indonesia, inilah kasus kematian pertama dalam tubektomi.

24 Juni 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sampai sekarang Paeran belum mau percaya bahwa istrinya telah tiada. Sela-ma ini, Ummul Fadiyah, sang istri yang berusia 38 tahun, tampak sehat. Namun, nyawa ibu dua anak ini melayang saat menjalani operasi sterilisasi tubektomi di Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa dua pekan lalu. Kepergian Ummul menyisakan sejuta pertanyaan. "Kenapa nasibnya mengenaskan?" tanya Paeran, penduduk Dusun Kepundungan, Kecamatan Srono, Banyuwangi itu. Padahal, setahu dia, tubektomi adalah operasi ringan yang tak berisiko. Keyakinan ini membuat Paeran rela melepas sang istri mengikuti program sterilisasi gratis yang digelar Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) setempat. Ternyata, ia keliru. Ummul meninggal di tengah operasi pengikatan indung telurnya. Sulit bagi Paeran menerima kenyataan itu, apalagi ia merasakan beberapa hal tak wajar seiring dengan kematian istrinya. Misalnya, pihak rumah sakit mengabarkan kematian Ummul pada pukul 16.45. Padahal, Ummul sudah meninggal tiga jam sebelumnya. Paeran juga mengaku tak diperbolehkan melihat jenazah istrinya. "Tahu-tahu mayat istri saya sudah ada di mobil ambulans," kata pedagang tempe itu. Ketika ia memeriksa jenazah sang istri, wajah dan perutnya terlihat membengkak. Mulut, dada, dan punggung Ummul pun tampak membiru kehitaman. Kondisi ini membuat Paeran mencurigai adanya kekeliruan pada proses operasi. Selanjutnya, Paeran menghubungi Solihin Masduki Siradj, Direktur RSUD Blambangan. Ia minta dipertemukan dengan Dokter Soemarsono Qomar, yang menangani operasi Ummul, untuk minta penjelasan. "Kami ikhlas menerima musibah bila ada penjelasan yang cukup," katanya. Namun, hingga hari keempat kematian Ummul, Soemarsono belum juga menemui Paeran. Akhirnya, keluarga Paeran mengambil langkah hukum dengan menggugat Soemarsono, yang diduga melakukan malapraktek. Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Patria Banyuwangi, Paeran juga menggugat BKKBN selaku penyelenggara program, dan RSUD sebagai tempat operasi berlangsung. Tapi, benarkah Soemarsono melakukan malapraktek? Dokter ahli kandungan yang tiap bulan rata-rata menangani 80 pasien tubektomi ini enggan berkomentar. Alasannya, semua urusan sudah dipasrahkan Direktur RSUD Blambangan, Solihin. Menurut Solihin, ia justru menganjurkan Soemarsono agar segera memberi penjelasan kepada Paeran, yang entah kenapa belum juga terlaksana. Pihak rumah sakit sendiri tampaknya berhati-hati dalam menanggapi kasus ini. Mereka bukannya tak memperhitungkan reaksi keluarga Paeran atas kematian istrinya. Itu sebabnya pihak rumah sakit agak lambat mengabarkan kematian Ummul, semata untuk meredam emosi pihak keluarga. Mengenai operasi, Solihin menilai semua tindakan sudah berdasar prosedur standar. Tim medis sudah melakukan konseling dan memeriksa fisik pasien sehingga Ummul dinyatakan sehat dan siap dioperasi. Namun, di tengah operasi, Ummul mendadak sesak napas sehingga operasi dihentikan. Tim medis pun langsung memberi pertolongan dengan memfungsikan alat pacu jantung selama satu jam. Apa daya, tindakan itu tidak mampu menyelamatkan nyawa Ummul. Solihin pun menduga Ummul alergi terhadap obat bius dan pereda nyeri. "Istilah medisnya, suspect anaphylaxies shock," katanya. Bila itu yang terjadi, wajarkah nasib yang menimpa Ummul? Menurut sumber TEMPO di BKKBN Pusat, kasus Ummul adalah kematian pertama akibat tubektomi di Indonesia "Beberapa waktu lalu memang terjadi kasus kelebihan dosis obat bius saat operasi. Akibatnya, pasien pingsan beberapa lama," kata sumber tadi. Alergi obat bius, menurut Trijatmo Rachimhadi, Direktur Rumah Sakit Anak dan Bersalin Harapan Kita, Jakarta, memang sangat jarang terjadi. Bila kondisi pasien sehat walafiat, reaksi alergi obat bius bisa diketahui sejak awal, sehingga dampak lanjutannya pun bisa segera ditekan. Pada pasien yang tidak seratus persen sehat?misalnya karena anemia, hipertensi, atau kadar gula darah yang rendah?alergi obat bius bisa menyebabkan komplikasi yang fatal. Pada kasus Ummul Fadiyah, mungkin saja terjadi kekhilafan saat pemeriksaan menjelang tubektomi. Kondisi kesehatan Ummul belum terdeteksi sepenuhnya tetapi dokter sudah melakukan operasi?sebagai catatan, Ummul memiliki riwayat hipertensi dan sering mengeluh sakit kepala. Namun, tentu saja dugaan khilaf praoperasi ini membutuhkan penyelidikan lebih dalam. Trijatmo menekankan, apa pun yang ter- jadi, keluarga berhak mendapat penjelasan. Kewajiban ini pun bukan cuma menjadi beban Soemarsono. "Komite medis rumah sakit wajib memberi penjelasan komplet kepada keluarga yang ditinggalkan," kata Trijatmo. Mardiyah Chamim, Gita W.L. (Jakarta), Abdi Purmono (Banyuwangi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus