Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Leles: sebuah potret

Kota leles, jabar terkena wabah penyakit kolera. ter jangkitnya wabah disebabkan air kurang bersih. dibentuk samijaga (sarana air minum & jamban keluarga) agar bersih dan terhindar dari kolera. (ksh)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INI adalah kisah tentang sebuah kota kecil. Leles namanya. Jika orang berangkat dari Bandung menuju Garut, tempat itu pasti akan dilewati. Masa lalu kota ini memang pahit. Kerapiannya yang sekarang ditebus dengan perlawanan sengit terhadap wabah penyakit kolera. Tahun 1973 - 74 tercatat sebagai puncak serangan. Serangan yang paling parah adalah di desa Lekor, masih terbilang dalam kota Leles. Pesta penyakit ini terutama disebabkan oleh air yang kurang aman di sana. Karena letaknya, desa tersebut menjadi penampung dari air yang datang dari hulu, yang habis digunakan orang mulai dari mencuci beras sampai buang hajat. Mencari sumber air sendiri, ternyata membuat orang putus asa. Sedalam manapun orang menggali namun air tak kunjung muncrat juga. Sebenarnya orang-orang pun tahu bahwa di Ciburial ada sumber air yang mencukupi, tapi soalnya bagaimana mengalirkannya. Mujurlah, Leles dapat bantuan Inpres untuk sarana kesehatan. Dengan Rp 2 1/2 juta ditambah bantuan pipa dari Unicef, air dari Ciburial itu dialirkan sampai sejauh 3 1/2 km menuju Leles. Dengan air yang tersaluk rapi itu terjadilah perobahan di sana. Terutama dalam masalah kebersihan yang menjadi pangkal kesehatan penduduk. Selain itu tenaga kerja penduduk yang dulunya dihabiskan untuk mengangkut air dapat disalurkan kepada pekerjaan lain. "Penghuni kampung Babakan Sari misalnya, yang dulu harus mencari air ke Cicapar sejauh 1 km, sekarang mendapat air berlimpah". tulis Abdullah Mustappa yang berkunjung ke Leles baru-baru ini. Saluran utama dari air yang dialirkan itu memang dikerjakan pemerintah, tetapi untuk mencapai pemakai yang luas, penduduk sendiri yang ambil inisiatif. Mereka membangun bak-bak penampungan air untuk pemandian umum. Kerjasama yang ditunjukkan penduduk yang kebanyakan hanya petani sederhana yang hidup semata-mata di atas tanah sewaan itu, dapat pujian dari dr Haikin yang bertugas di sana sejak tahun 1972 -- ketika daerah ini masih jadi sarang kolera. Sikap yang terpuji ini nampaknya datang dari pahitnya pengalaman mereka masa lalu. Dengan begitu para dokter dan petugas-petugas kesehatan di sana tinggal membimbing saja. Di tiap kampung dibina kader-kader kesehatan. Merekalah yang dalam tiap kesempatan mengajak masyarakat untuk tetap menjaga kesehatan lingkungan. Termasuk penertiban kandang-kandang ternak . "Samijaga" Belakangan dibentuk pula apa yang dinamakan Samijaga (Sarana Air Minum dan Jamban Keluarga) -- sebuah badim yang khusus mengurus pemeliharaan air. Bagi mereka yang ingin punya kran ngocor di rumah masing-masing, maka Samijaga lah yang mengurusinya sampai pada pemungutan semacam iuran sebesar Rp 300 tiap bulan. Di Babakan Sari sudah ada 130 rumah yang memiliki kran sendiri. "Uang itu kami gunakan untuk pemeliharaan" ujar seorang ibu, anggota Badan Pembina Kesehatan Masyarakat. Para petugas yang menjaga saluran dan sumber air juga dapat sekedar uang jerih-payah yang diambilkan dari iuran tadi. Dengan begitu, sekali pun tak ada subsidi dari pemerintah pengadaan air tersebut tetap berjalan lancar. Melihat keadaan yang nyaman di daerah sempadannya, timbullah semangat ingin mempunyai fasilitas yang sama dari daerah yang belum kebagian. Maka Leuweungtiis minta untuk dijadikan desa pembinaan. Kampung ini yang terletak di atas perbukitan, dulunya lebih parah lagi. "Dulu kami hanya mencuci pakaian seminggu sekali. Itu pun harus pergi ke sumber air sejauh 4'km", kata seorang penduduk di sana. Sedang untuk mandi dan minum harus mereka beli. Maka tak heran tatkala air sampai juga ke sini -- antara lain juga atas bantuan Unicef berupa pipa--penduduk sampai kaul nanggap wayang. "Rasanya seperti mimpi", kata seorang ibu di tepi kolam di samping rumahnya. Di Leuweungtiis air mengalir lebih hebat pula. Karena sumber air berada di atas bukit, kira-kira 4 km dari kampung maka kran tak bisa ditutup. Kalau ditutup pipa akan pecah. Karena itulah dibuat bak penampungan yang besar. Itulah gambaran Leles yang kini rnemperoleh sumber air yang aman, membuat dia lepas dari kepungan kolera untuk sekian lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus