INI adalah kisah tentang sebuah kota kecil. Leles namanya. Jika
orang berangkat dari Bandung menuju Garut, tempat itu pasti akan
dilewati. Masa lalu kota ini memang pahit. Kerapiannya yang
sekarang ditebus dengan perlawanan sengit terhadap wabah
penyakit kolera. Tahun 1973 - 74 tercatat sebagai puncak
serangan. Serangan yang paling parah adalah di desa Lekor, masih
terbilang dalam kota Leles. Pesta penyakit ini terutama
disebabkan oleh air yang kurang aman di sana. Karena letaknya,
desa tersebut menjadi penampung dari air yang datang dari hulu,
yang habis digunakan orang mulai dari mencuci beras sampai buang
hajat. Mencari sumber air sendiri, ternyata membuat orang putus
asa. Sedalam manapun orang menggali namun air tak kunjung
muncrat juga.
Sebenarnya orang-orang pun tahu bahwa di Ciburial ada sumber air
yang mencukupi, tapi soalnya bagaimana mengalirkannya. Mujurlah,
Leles dapat bantuan Inpres untuk sarana kesehatan. Dengan Rp 2
1/2 juta ditambah bantuan pipa dari Unicef, air dari Ciburial
itu dialirkan sampai sejauh 3 1/2 km menuju Leles. Dengan air
yang tersaluk rapi itu terjadilah perobahan di sana. Terutama
dalam masalah kebersihan yang menjadi pangkal kesehatan
penduduk. Selain itu tenaga kerja penduduk yang dulunya
dihabiskan untuk mengangkut air dapat disalurkan kepada
pekerjaan lain. "Penghuni kampung Babakan Sari misalnya, yang
dulu harus mencari air ke Cicapar sejauh 1 km, sekarang mendapat
air berlimpah". tulis Abdullah Mustappa yang berkunjung ke Leles
baru-baru ini.
Saluran utama dari air yang dialirkan itu memang dikerjakan
pemerintah, tetapi untuk mencapai pemakai yang luas, penduduk
sendiri yang ambil inisiatif. Mereka membangun bak-bak
penampungan air untuk pemandian umum. Kerjasama yang ditunjukkan
penduduk yang kebanyakan hanya petani sederhana yang hidup
semata-mata di atas tanah sewaan itu, dapat pujian dari dr
Haikin yang bertugas di sana sejak tahun 1972 -- ketika daerah
ini masih jadi sarang kolera. Sikap yang terpuji ini nampaknya
datang dari pahitnya pengalaman mereka masa lalu. Dengan begitu
para dokter dan petugas-petugas kesehatan di sana tinggal
membimbing saja. Di tiap kampung dibina kader-kader kesehatan.
Merekalah yang dalam tiap kesempatan mengajak masyarakat untuk
tetap menjaga kesehatan lingkungan. Termasuk penertiban
kandang-kandang ternak .
"Samijaga"
Belakangan dibentuk pula apa yang dinamakan Samijaga (Sarana
Air Minum dan Jamban Keluarga) -- sebuah badim yang khusus
mengurus pemeliharaan air. Bagi mereka yang ingin punya kran
ngocor di rumah masing-masing, maka Samijaga lah yang
mengurusinya sampai pada pemungutan semacam iuran sebesar Rp 300
tiap bulan. Di Babakan Sari sudah ada 130 rumah yang memiliki
kran sendiri. "Uang itu kami gunakan untuk pemeliharaan" ujar
seorang ibu, anggota Badan Pembina Kesehatan Masyarakat. Para
petugas yang menjaga saluran dan sumber air juga dapat sekedar
uang jerih-payah yang diambilkan dari iuran tadi. Dengan begitu,
sekali pun tak ada subsidi dari pemerintah pengadaan air
tersebut tetap berjalan lancar.
Melihat keadaan yang nyaman di daerah sempadannya, timbullah
semangat ingin mempunyai fasilitas yang sama dari daerah yang
belum kebagian. Maka Leuweungtiis minta untuk dijadikan desa
pembinaan. Kampung ini yang terletak di atas perbukitan, dulunya
lebih parah lagi. "Dulu kami hanya mencuci pakaian seminggu
sekali. Itu pun harus pergi ke sumber air sejauh 4'km", kata
seorang penduduk di sana. Sedang untuk mandi dan minum harus
mereka beli. Maka tak heran tatkala air sampai juga ke sini --
antara lain juga atas bantuan Unicef berupa pipa--penduduk
sampai kaul nanggap wayang. "Rasanya seperti mimpi", kata
seorang ibu di tepi kolam di samping rumahnya. Di Leuweungtiis
air mengalir lebih hebat pula. Karena sumber air berada di atas
bukit, kira-kira 4 km dari kampung maka kran tak bisa ditutup.
Kalau ditutup pipa akan pecah. Karena itulah dibuat bak
penampungan yang besar. Itulah gambaran Leles yang kini
rnemperoleh sumber air yang aman, membuat dia lepas dari
kepungan kolera untuk sekian lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini