Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Musik kamar, tidak sendirian

Musik ensemble jakarta pimpinan suka hardjana menampilkan pertunjukan di teater tertutup tim, jakarta. pujian penonton mengembirakan karena suka harjana mempersiapkan pertunjukan selama 3 bulan. (ms)

5 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BESAR perhatian yang didapat ensemble Jakarta -- pimpinan Suka Hardjana--yang tampil di Teater Terutup TIM, Jakarta, 19 Mei yang lalu. Ini benar-benar babak baru untuk musik serius yang mendapat angin baik akhir-akhir ini. Sejumlah penonton terpaksa pulang karena tidak kebagian karcis. Yang berhasil masuk, meskipun sedikit menyumpah-nyumpah dalam hati karena udara sangat gerah, toh tertib dan tekun mendengarkan. Tampaknya mereka bukan orang-orang baru, karena gampang dikenal. Rupanya sebuah masyarakat kecil telah terbentuk. Ini merupakan tempurung yang nyata bahwa kehidupan musik jenis ini tidak lagi hanya ilusi. Perkara ada unsur-unsur snob di balik entusiasme mereka, tentu saja tidak usah ditutup-tutupi. Sebab hal itu terjadi juga di beberapa bidang lain -- teater "kontemporer" misalnya. Mungkin juga hanya pada awalnya. Kurang Darah Layar pentas telah terkuak sejak semula. Lima buah kursi kosong yang sunyi, seakan telah memainkan kekosongan sebelum 4 orang musisi muncul mengenakan kemeja batik. Dengan lagak-lagu sederhana seakan mereka sedang mengadakan latihan biasa, dua buah biola langsung nangkring di pundak Nusyirwan Lesmana dan Soedarto. Biola alto ada di tangan Soedomo, sedang Soedarmadi memegang violin cello. Segera ruang tertutup yang baru saja dihapuskan balkonnya itu, didatangi oleh Ludwig van Beethoven. Mereka memilih Kwartet Op 18 No.4. Walaupun Suka Hardjana belum kelihatan hidungnya, ia serasa sudah nangkring di kursi kosong yang ke-5, karena tangannya seakan ikut menggerayang dalam penampilan itu. Meskipun seusai pertunjukan peniup klarinet yang menamatkan pelajaran di Jerman Barat ini mengaku target kekompakan dalam nomor ini belum tercapai pol, toh seorang pengunjung mengatakan bahwa karya yang cukup berat itu berhasil dibawakan. Sebuah pujian datang dari penonton yang lain, menganggap tanpa Suka, Ensemble seperti kurang darah. Maka undurlah sejenak musisi itu untuk mempersiapkan perjalanan ke arah karya monumental lain dari tangan Mozart. Waktu mereka muncul, Suka Hardjana sudah tergiring dengan klarinetnya, siap menarik Kwintet A mayor Kv 581 untuk klarinet, 2 biola, biola alto dan violencello.Intronya pada allegro, halus dan lambat. Suka memainkan klarinetnya dengan bagus sehingga karya yang tergolong berat ini tergarap dengan bersih. Sebagaimana diketahui karya-karya Beethoven dan Mozart sudah tersohor sulit disampaikan, tetapi rupa-rupanya -- sebagaimana disinyalir fansnya Suka memang pas untuk jenis klasik seperti Mozart, jenis rococco style. Suara klarinet yang kadang menghilang lalu menggayut lagi dengan lembut dan kadangkala dominan memimpin suasana tidak hanya berbau ketrampilan yang sifatnya teknis, tetapi juga menyarankan agar kegairahan dari peniupnya dalam memberi interpretasi pada. peninggalan Mozart itu. L.E. Soemaryo, ketua Akademi Musik LPKJ, menerangkan bahwa sesungguhnya para pemain Ensemble Jakarta semuanya solois. "Menonton mereka sama halnya menonton sebuah resital", ujarnya. Mungkin ini memang cukup menjadi tantangan bagi Suka Hardjana yang menyiapkan malam penampilan itu selama 3 bulan. Tapi dengan terhimpunnya para solois yang sudah banyak kali tampil dengan kompak, jadilah corak khas Ensemble Jakarta yang berbeda dari ensembel lain. Paling tidak meskipun Suka akan selalu tampak sebagai kepala barisan, setiap penampilan diharap selalu kaya karena adanya pribadi-pribadi lain dengan temperamennya masing-masing. Misalnya dalam babak kedua pada malam yang ramai itu, muncullah Soedarmadi menggesek dawai viollencello membawakan Suita No.1 BWV 1007 dari Bach. Dengan peluh bercucuran ia herhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Seorang lalu berkata: "Suka-lah yang memberi bentuk dan proyeksi ensembel ini. Tidak berarti mengecilkan arti pemain yang lain". Sebagai santapan terakhir, dihidangkan karya Carl Maria von Weber (1786-1826) - Kwintet Op.34 Bes mayor yang memberi kesempatan banyak kepada Suka untuk memperlihatkan kebolehannya. Memang tidak sia-sia anak kota gudeg ini mencantumkan sejarah hidupnya sebagai dosen klarinet di Konservatorium der Freien Hans'estadt Bremen dan yang telah pula mengembara selama 8 tahun di Eropa sebagai solois. Pilihan nomor yang memang tepat untuk mengakhiri penampilan--yang menurut komentar pianis Irawati lebih kompak dari waktu-waktu yang lalu. "Tapi ingat ini sebuah proses yang sulit", katanya. "Ini adalah hasil sejumlah individu yang pada akhirnya menemukan satu nafas bersama". Ia menunjuk banyak seniman yang merasa berjuang sendirian tatkala mereka berhadapan dengan seni yang serius. "Kalau Ensemble Jakarta sudah menghasilkan pergelaran sedemikian, janganlah Suka merasa berjuang sendirian", harapnya kemudian. Ia yakin bahwa berganti-ganti formasi lebih banyak tidak menguntungkan sesudah tercapai kwalitas tertentu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus