Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana sepi langsung menyergap ketika Tempo memasuki Museum Dullah di Jalan Cipto Mangunkusumo 15, Solo, Jawa Tengah, Rabu siang pekan lalu. Tak ada satu pun pengunjung di dalam museum yang diresmikan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan pada 1 Agustus 1988 itu. Hanya ada dua orang yang menemani Tempo, Sigit Suhendro, pengelola museum, dan Herri Soedjarwanto, bekas murid Dullah.
Memang, setelah Dullah meninggal pada 1996, masyarakat umum tak bisa menikmati karyanya. Museum hanya menerima kunjungan secara terbatas. "Kami hanya buka untuk tamu tertentu, misalnya mahasiswa seni yang melakukan penelitian," kata Sigit Suhendro. Pada 19 September lalu, museum ini menggelar acara tasyakuran ulang tahun Dullah ke-97. Ratusan tamu undangan memasuki museum untuk menikmati karya Dullah. Setelah itu, museum kembali sepi seperti sediakala.
Museum yang eksteriornya bernuansa etnik Bali itu dirancang sendiri oleh Dullah di tengah kesibukannya melukis di Sanggar Pejeng, Bali. Bagian interiornya dirancang agar bagian dalam museum tetap terang meski menggunakan sedikit lampu. Memanfaatkan banyak genting kaca dan langit-langit dari bahan semacam aklirik, cahaya matahari mampu menerobos masuk. "Sirkulasi udara juga dirancang cukup bagus," kata Suhendro.
Museum yang menempati lahan sekitar 2.000 meter persegi itu memiliki beberapa ruangan. Di sebuah ruangan, misalnya, ada sederet lukisan karya Affandi, Sudjojono, Sudibyo, dan Raden Saleh. Satu ruangan khusus juga disediakan untuk memajang karya murid-murid Dullah. Lukisan berjudul Musafir di Padang Pasir karya Raden Saleh diletakkan di tempat paling tinggi. Lukisan tersebut pernah dicuri pada 1991. Menyimpan cerita yang cukup panjang, Musafir di Padang Pasir sempat berkelana beberapa bulan saat museum pribadi itu dibobol pencuri pada 1991. Saat kejadian, Sigit Suhendro tengah menemani Dullah di Bali. Mereka mendapat kabar bahwa museum dibobol maling, yang masuk dengan mencongkel salah satu pintu.
Penyelidikan dilakukan langsung dari Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Mereka menyebarkan mata-mata hingga ke jaringan pasar gelap benda seni. Beberapa bulan kemudian, ada kabar sekelompok orang yang menawarkan lukisan karya Raden Saleh. "Ternyata kasus ini melibatkan sebuah komplotan," ujar Suhendro. Operasi penjebakan akhirnya dilancarkan. Melalui koordinasi dengan polisi, Dullah memerintahkan orangnya mengaku sebagai kolektor lukisan dan bertransaksi dengan komplotan tersebut. Dullah membekali suruhannya itu dengan sebuah mobil mewah dan uang Rp 100 juta. "Kalau tidak salah menggunakan BMW," kata Suhendro. Orang suruhan itu lantas membuat janji dengan sindikat pencuri tersebut untuk bertemu di sebuah tempat di kompleks Candi Prambanan.
Menurut Suhendro, orang suruhan tersebut berangkat ke Prambanan sendirian. Namun pasukan polisi mengawalnya dari kejauhan. "Saat bertemu di Prambanan, ternyata lukisan itu memang milik museum yang dicuri," ujarnya. Sindikat tersebut berencana menjualnya seharga Rp 150 juta. Polisi langsung membekuk sindikat yang terdiri atas enam orang itu. Salah satunya ternyata pedagang barang antik yang tiga bulan sebelumnya sering mengunjungi museum Dullah.
Di ruang utama museum terdapat patung Dullah sedang duduk santai sembari menyilangkan kaki. Patung tersebut tepat berada di depan lukisan yang menggambarkan Serangan Umum 1 Maret. Selama ini Dullah memang dikenal sebagai pelukis revolusi karena banyak membuat lukisan perjuangan.
Lukisan berjudul Berjumpa di Kota itu dibuat menjelang pameran yang digelar di Gedung Agung Yogyakarta pada 1978. Pameran tersebut diselenggarakan untuk menandai pembukaan Gedung Agung untuk masyarakat umum. Lukisan itu menceritakan kembalinya para gerilyawan ke Kota Yogyakarta setelah melakukan Serangan Umum 1 Maret. Mereka meluapkan kegembiraan setelah serangannya menuai kemenangan gemilang.
Dalam prosesnya, Dullah mencoba merekonstruksi peristiwa tersebut. Dia mengajak murid-muridnya ke Yogyakarta sembari mengenakan pakaian yang biasa dikenakan oleh pejuang saat itu. Dia lantas melukis hasil rekonstruksi tersebut. "Wajah kami ada dalam lukisan itu," kata Herri Soedjarwanto.
Lukisan Berjumpa di Kota itu berada di satu ruangan dengan lukisan Dullah lain, kebanyakan lukisan wajah keluarganya. Terdapat lukisan istrinya dalam beberapa pose di ruang itu. Di ruang sampingnya, terdapat kumpulan lukisan Dullah di era sebelum 1950. Ruang ini cukup menarik lantaran menyimpan sejumlah karya Dullah yang impresionis. Padahal selama ini dia dikenal sebagai pelukis beraliran realis.
Di ruang tengah—lebih tepat disebut lorong—ratusan lukisan karya Dullah terhampar di dinding. Sebagian besar merupakan lukisan wajah seseorang. Tidak jelas siapa yang dilukisnya, tidak jarang hanya berjudul gadis, kakek, atau nenek. Ada pula lukisan bangunan Istana Negara, pemandangan Bali, hingga lukisan perjuangan di ruang-ruang museum itu. Tidak semua lukisan dibuat dengan cat minyak. Beberapa hanya dengan pensil. Bahkan ada pula yang hanya berupa sketsa sederhana sehingga terkesan belum jadi.
Di ruang bagian dalam, ada beberapa lukisan Dullah berukuran besar yang bertema perjuangan. Ada salah satu lukisan yang terlihat pucat, berjudul Rapat Ikada. Karya itu merupakan salah satu lukisan Dullah yang tidak pernah selesai.
Lukisan yang menggambarkan Sukarno berjalan bersama rakyat di Lapangan Ikada itu dibuat pada 1979. "Lukisan tersebut memiliki kisah sendiri saat dipamerkan dalam pembukaan Aldiron Plaza, Jakarta, yang kini menjadi Blok M Square," kata Herri Soedjarwanto.
Pameran tersebut termasuk salah satu pameran lukisan terbesar di Jakarta saat itu. Acara berlangsung selama dua pekan dan dibuka oleh Wakil Presiden Adam Malik. Dullah mempersiapkan pameran tersebut dengan serius. Dia memamerkan karyanya bersama 40 muridnya. Ada sekitar 400 karya yang disiapkan dalam pameran tersebut. Dullah menyajikan lukisan Rapat Ikada. Bagi Dullah, peristiwa itu memiliki makna tersendiri. Rapat Ikada berlangsung pada 19 September, sama persis dengan tanggal kelahirannya. Dia melukis peristiwa tersebut menggunakan contoh sebuah foto yang didapatkannya. Tapi pemasangan lukisan itu mendapat reaksi aparat. Dullah didatangi aparat yang keberatan dengan gambar tersebut. "Semua yang berbau Sukarno dianggap berbahaya saat itu," ujar Herri.
Setelah negosiasi, akhirnya Dullah diperbolehkan tetap memajang karya itu tapi dengan syarat pameran itu juga harus memajang lukisan Soeharto. "Saya kemudian diminta Dullah membuat lukisan Soeharto," ujar Herri. Lukisan Soeharto akhirnya bersanding dengan lukisan Rapat Ikada. Pameran itu terbilang sukses. Ribuan orang datang. Namun banyak yang kecewa lantaran tidak ada lukisan yang dijual. "Satu-satunya yang dijual dan laku adalah lukisan Soeharto," kata Herri.
Ruang paling belakang museum digunakan untuk menyimpan lukisan karya murid-murid Dullah serta berbagai barang seni seperti patung dan keramik. Ada beberapa lukisan cukup indah karya salah satu muridnya, Mohamad Toha. Lukisan itu dibuat ketika sang murid masih berusia 11 tahun. Pada akhir 1948, saat terjadi agresi militer Belanda di Yogyakarta, Dullah sempat memimpin anak-anak berusia 11-15 tahun untuk melukis perang secara langsung dengan cat air seadanya.
Dullah mengatur penyamaran Mohamad Toha, Mohamad Affandi, 12 tahun; Sardjito (14); Sri Suwarno (14); dan F.X. Supono Siswosuharto (15). Toha, misalnya, disamarkan sebagai tukang rokok. Dengan begitu, Toha dapat melihat langsung tank Belanda yang melintas. Juga bagaimana pesawat tempur Belanda mengebomi daerah Maguwo, Yogyakarta. Istri Dullah, Fatima, kemudian mengumpulkan 84 lukisan karya anak-anak itu dan menyembunyikannya di langit-langit rumah yang terbuat dari bambu. Saat Belanda hengkang dari Indonesia pada 1949, Dullah dan istrinya mengumpulkan kembali lukisan-lukisan itu, lalu menyimpannya di dalam lemari. Pada akhir 1980-an, karya anak-anak itu pernah dipajang lengkap di Museum Dullah di Solo.
Secara keseluruhan sekitar 700 lukisan tersimpan di museum tersebut. Pengamat seni rupa dan pengajar Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Mikke Susanto, mengatakan Dullah termasuk pelukis produktif. Tak kurang dari 1.200 karya sudah terlacak. Menurut Mikke, kolektor terbesar karya Dullah adalah Presiden Sukarno. "Yang paling menonjol tersimpan adalah tema revolusi, seperti Persiapan Gerilya, periode 1940-1950," ujarnya. Lukisan tertua Dullah yang tercatat di buku koleksi lukisan Sukarno adalah karya berjudul Wanita Berselendang Pelangi Hijau. Lukisan ini dibuat di atas kertas 36 x 26 sentimeter. Adapun di Museum Dullah, koleksi tertua adalah Pemuda Desa, lukisan dari arang di atas kertas bertahun 1934.
Semua koleksi Dullah adalah lukisan bergaya realis. Dullah, menurut Mikke, adalah pelukis yang harus melukis dengan obyek atau model di depan mata. Ada dua lukisan yang menurut Mikke aneh karena lukisan itu dibuat tanpa model. Lukisan itu pesanan Sukarno, yakni lukisan Gatotkaca dan Pergiwa-Pergiwati serta lukisan Nyai Roro Kidul. "Hasilnya jauh dari kebiasaan dia, jadi impresionis, anatomi dan sudut pandangnya juga aneh," ujarnya. Lukisan ini tersimpan di Istana Kepresidenan Yogyakarta dan di Museum Dullah. Kedua lukisan ini tidak dimasukkan ke buku koleksi lukisan Sukarno.
Dullah lahir pada 17 September 1919 dari keluarga pengusaha batik di Laweyan, Solo. Ibunya, Kati, mengelola perusahaan batik yang memiliki puluhan pekerja. Sedangkan ayahnya, Susilo Darso, memiliki perusahaan susu sapi. Darso-Kati mampu menyekolahkan Dullah di Tweede Inlandsche School atau sekolah rakyat di Mangkuyudan, Solo. Setelah lulus, dia melanjutkan sekolah di Taman Siswa, tapi tidak tamat. Tatkala masuk sekolah khusus untuk pelajaran menggambar, Dullah mendapat nilai sangat istimewa. Ketika masih remaja, Dullah sudah memiliki kemampuan melukis potret menggunakan pensil. Misalnya lukisan berjudul Potret Pemuda Desa, yang kini masih tersimpan di Museum Dullah.
Dullah remaja pernah belajar melukis pada S. Sudjojono dan Affandi saat menjadi anggota Seniman Indonesia Muda. Pada 1950, Dullah ikut mendirikan Himpunan Budaya Surakarta, perkumpulan seniman di kota itu. Pada tahun yang sama, ia dipanggil Bung Karno untuk menjadi pelukis Istana. Herri Soedjarwanto menuturkan, sang guru sering membuat poster yang memantik perjuangan melawan penjajah. "Dullah pernah ditangkap Belanda karena aksinya tersebut," kata Herri, yang mendapat cerita langsung dari Dullah. "Keberanian itu yang membuat Sukarno suka."
Pengamat seni Agus Dermawan T. mengatakan Bung Karno terkesan oleh lukisan Dullah yang bercorak realis, menggambarkan wong cilik. "Bung Karno menyebutnya sebagai lukisan Marhaen," ujar Agus, penulis buku Lukisan Rakyat Dullah. Bung Karno sebetulnya terkesan pada Dullah sejak 1945, sesaat setelah Indonesia merdeka. Kala itu Presiden Sukarno memesan Sudjojono untuk membuat poster perjuangan. Sudjojono lalu meminta Affandi untuk merealisasinya.
Affandi merancang poster bergambar lelaki gagah yang berteriak, dengan rantai yang putus di tangannya. Affandi mencari model lelaki yang berteriak penuh semangat itu. Dullah kemudian menjadi model itu. Setelah membuat gambar poster, Affandi dan Sudjojono memikirkan teksnya. Saat itulah tiba-tiba muncul penyair Chairil Anwar, yang mengusulkan kalimat "Boeng Ajo Boeng!" Abdul Salam, Surono, dan lain-lain, kemudian melipatgandakan poster itu untuk ditempelkan sebagai pamflet di banyak dinding dan gerbong kereta api. Begitu melihat poster itu, Bung Karno bertanya kepada Sudjojono. "Hei, siapa yang jadi model pejuang di poster itu?" Sudjojono menjawab, "Dullah, Pak." Mendengar nama Dullah, meledaklah tawa Bung Karno. Presiden ini berkata bahwa Belanda tak akan menyangka bahwa si model tubuhnya kecil mungil saja. Dullah memang bertubuh kecil, tingginya hanya 157 sentimeter.
Selama sepuluh tahun, Dullah mendapat kepercayaan merawat dan mengawasi benda seni yang tersimpan di Istana Negara sekaligus menjadi pelukis pribadi Bung Kamo. Presiden Sukarno juga mempercayainya menyusun dua jilid buku koleksi lukisan Bung Karno pada 1956 dan kemudian dua jilid lagi pada 1959. "Sukarno juga sering mengajaknya ke luar negeri untuk melukis," kata Herri Soedjarwanto. Setelah dari Istana pada 1960, Dullah kembali ke kota kelahirannya. Dia kemudian aktif dalam Himpunan Budaya Surakarta yang turut ia dirikan. "Biasanya orang-orang Himpunan Budaya Surakarta berkumpul di sebelah timur Alun-alun Utara," ujar Herri.
Pada 1970-1973, Dullah tinggal di Ubud, Bali. Selama menetap di Ubud, kehidupan Dullah terbilang sangat sederhana. Ia tinggal di kamar 3 x 3 meter bersama penyanyi Gesang, pencipta lagu Bengawan Solo. Keperluan hariannya diurusi oleh Mintarti, perempuan asal Semarang yang menikah dengan warga Ubud, Ida Bagus Ngurah Purwadnya, yang rumahnya bersebelahan dengan hotel. Mintarti sekarang berumur 77 tahun. "Kesukaan Pak Dullah itu sayur asem dengan tahu dan tempe," kata Mintarti kepada Tempo. Mintarti dulu juga bertugas mencuci pakaian dan membersihkan kamar Dullah.
Setiap hari, Dullah bersama Gesang mencari ide dengan berkeliling Ubud, lalu menyelesaikan lukisan di hotel. Model lukisannya bisa siapa saja, termasuk Mintarti. "Tapi saya pernah menolak ketika dilukis sedang menyusui anak," kata Mintarti. Pada periode di Ubud ini, Dullah belum memiliki murid. Pada 1974, Dullah membuka sanggar di Pejeng, Tampaksiring, Gianyar. Baru setelah tinggal di Puri Pejeng, dia menerima murid, tak hanya dari Bali, tapi dari seluruh penjuru Nusantara. Dia mengontrak sebuah bangunan ditemani oleh sejumlah muridnya, yang kebanyakan dari Semarang, antara lain Kok Poo, Inanta, dan Hok Lay. Mereka kerap disebut grup Semarang.
Sepanjang 1974-1978, Dullah berkiprah di Pejeng. Meski hanya lima tahun tinggal di Pejeng, keberadaan Dullah memberi warna tersendiri bagi kehidupan desa yang diyakini sebagai pusat kerajaan Bali kuno sebelum kedatangan Majapahit itu. "Apalagi Dullah dan murid-muridnya menyatu dengan warga kami," kata Tjokorda Gde Putra Pemayun, palingsir (sesepuh) Puri Pejeng. Saat itu, menurut Tjokorda, pihak Puri menerima Dullah karena sebelumnya juga sudah menjadi tujuan favorit sejumlah seniman sejak Walter Spies, Arie Smit, Hans Snell, hingga Affandi dan Basoeki Abdullah.
Yang jelas, selama di Pejeng, produktivitas Dullah tinggi. Setiap pekan dia menghasilkan tidak kurang dari empat lukisan. Karena itu, karya Dullah bertebaran di tangan para kolektor. Kondisi itu membuat harga lukisan Dullah di pasar koleksi tidak terbilang tinggi. "Saat di Pejeng, murid Dullah cukup banyak, sekitar 40 orang," kata Herri Soedjarwanto, yang bergabung dengan sanggar itu sejak 1977. Mereka berproses bersama belajar melukis dengan gaya realis.
"Saat itu sangat menyenangkan karena murid Pak Dullah dari beragam budaya. Mungkin hanya dari Papua yang tidak ada," kata Tjok Raka Hardana, 60 tahun, keluarga Puri Pejeng, yang menjadi murid Dullah. Di mata Tjok Raka, Dullah sangat teliti dalam menerapkan teknik melukis. Dari proporsi, komposisi, hingga pencahayaan benar-benar diperhitungkan sejak pelukis menggoreskan kanvasnya. Bahkan sampai saat yang tepat untuk menumpuk warna dengan mempertimbangkan tingkat kekeringan cat di atas kanvas. Suasana saat itu juga kian bergairah bila Affandi atau pelukis lain datang ke Puri untuk melukis sehingga mereka melihat perbandingan dengan teknik yang berbeda. "Lebih senang lagi kalau Bu Dullah datang, karena pasti ada pesta besar dengan bermacam masakan," kata Tjok Raka.
Saat Dullah tinggal di Pejeng, salah satu model favorit lukisannya adalah Ni Wayan Sasih. Salah satu lukisan Dullah dengan model Sasih kini menjadi koleksi Museum Neka, Ubud. Lukisan itu menggambarkan perempuan berbalut kebaya merah jambu menyajikan canang sebagai persembahan harian kepada para dewata. Dullah bertemu dengan Sasih, yang saat itu berusia sekitar 20 tahun, ketika Pura Samuan Tiga di Desa Bedulu sedang menggelar upacara Piodalan. Saat itu Sasih, yang biasanya bekerja sebagai buruh tani di Tabanan, pulang kampung untuk ikut bersembahyang dengan keluarganya.
Sasih kini berusia 61 tahun. Ia ingat perjumpaan pertamanya dengan Dullah. Kepada Tempo, ia menceritakan bagaimana saat itu, di tengah-hiruk-pikuk upacara, tiba-tiba ada seorang pria mengajaknya berkenalan lalu menanyakan kesediaannya dilukis. "Saya kaget dan langsung menolak. Saya takut karena tak pernah bergaul dengan pria," kata Sasih saat ditemui di rumahnya di Banjar Taman, Desa Bedulu, Pejeng, 27 September lalu.
Tapi Dullah enggan menyerah. Sasih ingat kemudian kakaknya yang bekerja di Ubud merayunya untuk mau bertemu dengan Dullah di Puri Pejeng. "Kakak bilang Dullah itu pelukis terkenal dan semestinya saya senang," ujar Sasih.
Singkat kata, Sasih pun menjadi model lukisan. Jadwal kerjanya bisa seminggu sekali atau sebulan sekali, tergantung keinginan Dullah. Bila diperlukan, dia dipanggil ke Puri, biasanya dengan permintaan untuk mengenakan pakaian tertentu, seperti kebaya atau penari Bali. Setelah itu, dia akan diarahkan untuk melakukan pose tertentu dan diambil fotonya. Menurut Sasih, ia dibayar Rp 20 ribu per bulan. Sasih mengenang Dullah sebagai orang yang santun dan jarang bercanda. "Orangnya polos," ujar perempuan yang hanya tamatan sekolah dasar itu. Yang sering menggoda, menurut Sasih, justru para murid Dullah yang masih muda-muda, meski tidak sampai melewati batas kesopanan. Apalagi, setiap kali ke Puri, Sasih selalu ditemani kakaknya.
Selain Sasih, gadis Bali yang menjadi favorit Dullah adalah Ni Ketut Wardani. Dullah dekat dengan gadis ini saat masih tinggal di Ubud pada 1970-1973. Sayang, kedekatan ini berakhir kurang menyenangkan gara-gara kecurigaan istri Dullah. Seperti diungkap Suteja Neka, Dullah ingin memberikan hadiah sepeda motor bebek kepada Ni Ketut Wardhani. Dullah mengirim surat kepada anaknya yang tinggal di Yogya untuk membeli dan mengirimkannya ke Bali. "Saat itu di Bali jarang ada yang menjual motor bebek," kata Neka.
Namun, ketika surat sampai di kamar kos, istri Dullah, yang tinggal di Solo, ternyata sedang berkunjung ke Yogya dan menemukan surat itu. Setelah membacanya, tanpa memberi kabar, Bu Dullah langsung berangkat ke Bali. Saat itu Dullah tengah melukis Wardhani di Tampaksiring. Mengetahui istrinya datang, Dullah bersama penyanyi keroncong Gesang, yang mengawalnya, langsung pulang ke Solo karena enggan bertengkar di Bali. Adapun Bu Dullah, yang ditemani Neka, kemudian menemui Wardhani di rumahnya dan memarahinya. Sejak itu Dullah enggan pulang ke Bali. Barulah pada 1974, setelah Wardani menikah, Dullah bisa kembali ke Bali. "Mungkin sudah dapat izin istrinya," tutur Neka sambil tertawa.
Dullah selama tinggal di Bali tak pernah membedakan para muridnya. "Orangnya sabar dan serius. Tapi kalau memang lukisannya jelek akan dibilang jelek," kata Pande Wayan Nama, 60 tahun, muridnya yang berasal dari Ubud. Dengan cara itu, sebagian besar muridnya, termasuk Wayan Nama, bisa hidup dari menjual lukisan. Puncak kebersamaan dengan Dullah adalah ketika Dullah menggelar pameran di Yogya untuk memperingati Serangan Umum 1 Maret, yang difasilitasi Joop Ave, pada 1978. Saat itu sebagian besar murid, termasuk Wayan Nama, diajak menjadi model lukisan.
Sanggar Pejeng kemudian harus pindah saat kontrakannya habis pada 1984. Para muridnya pun menyebar ke mana-mana. Konsentrasi Dullah terpecah lantaran ia berencana membangun museum di Solo. Dullah masih tetap bolak-balik Solo-Bali meski pembangunan museumnya sudah selesai pada 1988. Dia selalu singgah di Surabaya, tempat istri dan anaknya, Suwarno, menetap. Aktivitas itu terus berjalan hingga Dullah terkena serangan stroke pada 1993.
Serangan stroke terjadi saat Dullah tengah menerima tamu di museumnya. Dullah kemudian tidur dan beristirahat semalaman. Esok paginya, dia tidak mampu mengangkat cangkir teh yang disodorkan pembantunya. Sigit Suhendro kemudian membawa sang guru ke rumah sakit dan menjalani perawatan beberapa pekan. Setelah terkena stroke, Dullah tetap melukis meski di atas kursi roda. Dia mengandalkan tangan kirinya untuk berkarya. Sang pelukis Marhaen wafat saat merayakan tahun baru 1996 di Yogyakarta.
AHMAD RAFIQ (SOLO), ROFIQI HASAN (BALI), DIAN YULISATUTI (JAKARTA)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo