Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Mahalnya Menghapus Racun

Polusi udara dari bensin bertimbel diduga bisa memicu penyakit autisme. Walau mahal, program Langit Biru mendesak untuk diterapkan.

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Macet lagi, macet lagi! Itulah yang sehari-hari dikeluhkan warga Bandung. Saban pagi, ratusan kendaraan bermotor mengular di ruas Jalan Soekarno-Hatta, Bandung. Dari perempatan lampu merah dekat kantor Sistem Administrasi Satu Atap (Samsat) ke arah timur hingga perumahan Margahayu Raya, antrean kendaraan bisa mencapai 2-3 kilometer. Ke arah utara, kemacetan terjadi sampai di Jalan Kiaracondong dan Jalan Ahmad Yani. Tak hanya bikin stres dan menghabiskan banyak bensin, kemacetan juga membuat udara Kota Kembang semakin tercemar.

Polusi udara bisa merugikan kesehatan manusia, terutama anak-anak. Soalnya, ”Darah anak-anak di kota itu sudah tercemar timbel di atas ambang batas,” kata Puji Lestari, peneliti dari Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung, pertengahan Oktober lalu.

Puji telah melakukan penelitian dengan mengambil sampel darah 190 siswa Sekolah Dasar di Bandung. Ternyata sebanyak 106 anak (56 persen) darahnya sudah tercemar timbel oksida di atas ambang batas. Angka kandungan timbelnya mencapai 20-60 mikrogram/desiliter. Padahal, ambang batas yang masih ditoleransi hanya 10 mikrogram/desiliter. ”Dugaan kami, tingginya timbel akibat polusi kendaraan bermotor,” ujarnya.

Timbel oksida adalah salah satu unsur berbahaya dalam emisi gas buang kendaraan bermotor selain hidrokarbon, karbon monoksida, dan nitrogen oksida. Dalam proses produksi bensin, timbel (lead) digunakan dalam pengilangan (refinery) untuk meningkatkan nilai oktan secara mudah dan murah dibanding proses yang lain.

Hingga sekarang masih banyak bensin bertimbel yang diedarkan di Indonesia, kendati harga sudah dinaikkan sejak 1 Oktober. Inilah yang dipermasalahkan Ahmad Safrudin, Ketua Komite Pembebasan Bensin Bertimbel (KPBB). Apalagi, penelitian di kota lain seperti Makassar dan Yogyakarta menunjukkan hasil tak jauh berbeda dengan hasil studi Puji.

Menurut Safrudin, mestinya Pertamina menyediakan bensin yang lebih berkualitas karena harganya sudah naik. Menurut World Wide Fuels Charter (WWFC), bensin kualitas satu memiliki standar antara lain tanpa timbel, RON 91,8, olefins maksimal 20 persen, aromatik maksimal 50 persen, dan benzene maksimal 5 persen. Kenyataannya, konsumen Indonesia masih mendapat bensin dengan kualitas jelek, yakni bertimbel 0,3 gram, RON 88, olefins maksimal 60 persen, aromatik maksimal 50 persen, dan benzene maksimal 5 persen.

Timbel amatlah berbahaya. Jika terserap ke dalam tubuh, zat ini berpotensi menimbulkan sejumlah masalah kesehatan seperti turunnya kecerdasan, munculnya gangguan tulang, ginjal, otak, dan anemia. Diduga polusi timbel juga menjadi pemicu merebaknya penyakit autisme, yakni gangguan pada fungsi susunan saraf pusat (otak) yang disebabkan oleh racun dari lingkungan pada anak-anak yang sejak awal sudah punya kelemahan genetik.

Penelitian yang dilakukan Extreme Health Inc., sebuah perusahaan farmasi di Amerika Serikat, terhadap 21 anak autis membuktikan bahaya itu. Dalam tubuh mereka ditemukan beragam racun logam berat seperti antimony (logam keputih-putihan untuk membuat obat) sebesar 64 persen, timbel 56 persen, aluminium 42 persen, kadmium 33 persen, bismuth, arsenik, dan uranium 28 persen, barium 17 persen, dan nikel 11 persen.

Di Indonesia, jumlah penderita autisme diduga terus meningkat. Hal ini diungkapkan oleh dua pengelola lembaga autisme di Bandung, Nyonya Zephiranty Roseline dari Yayasan Cinta Autisme dan Santi Susanti dari Agca Centre. Peningkatan kasus autisme diakui pula oleh Melly Budhiman, psikiater dan dokter ahli anak dari Yayasan Autisme Indonesia. Buktinya sekarang banyak bermunculan pusat-pusat penanganan autisme di berbagai kota. Cuma, sejauh ini prevalensinya secara nasional belum diketahui.

Istilah autisme pertama kali dicetuskan Leo Kanner, psikolog dari Universitas Johns Hopkins, Amerika Serikat, pada 1943. Di Amerika, penyakit ini berkembang pesat. Pada 1966, tingkat kejadian autisme hanya 1 dalam 10 ribu kelahiran. Belakangan, angkanya sudah melonjak jadi 1 dalam 150 kelahiran.

Timbel dari emisi kendaraan bermotor hanya salah satu contoh racun dari lingkungan. Sumber racun lain yang menjadi pemicu autisme adalah insektisida, makanan kaleng, makanan anak yang ditambahi zat kimia, pewarna dan pengawet, ikan yang terpapar limbah industri, dan sebagainya. Alergi pada makanan tertentu seperti cokelat atau gandum juga bisa menjadi pemicu autisme. Bahkan sebagian ahli mencurigai autisme berkait dengan faktor genetis.

Itu sebabnya, ibu yang sedang hamil mesti ekstra hati-hati terhadap racun-racun dari lingkungan. Jika ia sampai terpapar, misalnya oleh timbel atau merkuri, maka anaknya juga akan terkena. Penularan racun terjadi lewat plasenta, organ yang menyalurkan gizi dan zat-zat penting lain dari darah sang ibu kepada janinnya. Ibu yang terpapar timbel mungkin akan sehat-sehat karena sudah dewasa. Dampaknya yang lebih besar akan dirasakan oleh sang bayi. Bisa saja si kecil bakal mengalami gangguan pembentukan saraf pusat dan menderita autisme.

Setiap anak autis akan mengalami gangguan perkembangan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku. Gejala-gejalanya sudah muncul sebelum anak berusia tiga tahun. Mereka akan mengalami ketidaklaziman seperti lebih anteng kalau sendirian, tak mau menatap mata ibunya, tak mau diajak bersenda gurau atau tersenyum. Dalam berbagai kasus, gejala autisme juga bisa muncul pada anak yang lahir normal dan sempat tumbuh normal. Pada usia 1–1,5 tahun, mungkin si anak sudah mulai bisa bicara beberapa kata dan memberikan respons, lalu mendadak berhenti, selanjutnya terjadi kemunduran dan timbul gejala autisme.

Terapi bagi anak-anak autis mesti dilakukan secara terpadu. Mereka perlu mendapat terapi wicara, okupasi, perilaku, integrasi sensoris, senam otak, dan sebagainya. Gangguan metabolisme yang banyak ditemukan dalam tubuh anak-anak autis pun harus dinormalkan agar fungsi otak tidak terganggu. Jika ditemukan banyak racun, ya harus dikeluarkan. Atau, kalau ditemukan alergi, ya jangan diberi makanan yang memicu alergi. Dengan terapi terpadu sejak dini, kata Melly, ”Banyak anak yang mengalami kemajuan lebih pesat.”

Untuk memperkecil angka autisme, pemerintah perlu mengurangi berbagai sumber polusi lingkungan. Sebenarnya upaya untuk menekan peredaran bensin bebas timbel sudah dilakukan. Cuma, jalannya memang tersaruk-saruk. Dimulai pada 1 Juli 2001, Pertamina memasok bensin bebas timbel untuk kawasan Jakarta. Dua tahun kemudian, pasokan akan disalurkan secara nasional. Ternyata rencana ini gagal karena Pertamina belum siap.

Target Indonesia bebas timbel kemudian diubah menjadi Januari 2005, tapi gagal lagi. Akhir Mei lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kembali bertekad agar tahun ini target itu tercapai. Program Langit Biru dinilai sudah mendesak, cuma dalam waktu tinggal dua bulan lagi impian itu sulit dipenuhi. Meski Proyek Langit Biru Balongan—kilang pemasok utama Premium TT—sudah diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir Agustus lalu, pasokannya belum bisa menjangkau seluruh Indonesia.

Menurut Kepala Divisi Humas PT Pertamina (Persero), Abadi Poernomo, saat ini wilayah yang sudah mendapat pasokan bensin bebas timbel adalah DKI Jakarta, Bogor, Puncak, Tangerang, Bekasi, Cirebon, seluruh Bali, Batam, dan Sorong (dari produksi Kilang Kasing, Sorong, Papua). Kota-kota lain, termasuk Bandung, Yogyakarta, dan Makassar, masih menunggu giliran.

”Kita sangat peduli dengan program bensin bebas timbal, tapi keuangan kita terbatas,” kata Abadi. Di Balongan saja, Pertamina mesti menggelontorkan dana US$ 175 juta. Jika pasokan bensin bebas timbel hendak digenjot, kilang di Cilacap dan Balikpapan harus dihidupkan. Dana yang harus disediakan minimal US$ 350 juta (sekitar Rp 3,5 triliun) dan inilah masalah yang belum bisa dipecahkan. Alternatif lain, layanan bensin bebas timbel bisa dilakukan segera dengan tetap mengimpor High Octane Mogas Component (HOMC) yang harganya mahal. Masalahnya, lagi-lagi terbentur dana. ”Pemerintah boleh mencanangkan Indonesia bebas timbel—tapi, duitnya dong!” katanya.

Walau mahal, impian Indonesia bebas timbel sebaiknya segera diwujudkan. Jika tidak, beragam gangguan kesehatan, termasuk autisme, akan terus mengancam.

Dwi Wiyana, Rana Akbari Fitriawan (Bandung)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus