Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

60 Tahun PBB: Ada Harapan, Ada Kenyataan

7 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Makarim Wibisono
  • Ketua Komisi Hak Asasi Manusia PBB

    Perserikatan Bangsa-Bangsa genap enam dasawarsa. Secara resmi, badan dunia ini lahir pada 24 Oktober 1945. Cina, Prancis, Uni Soviet, Inggris, Amerika Serikat serta mayoritas penandatangan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa meratifikasi Piagam PBB yang menjadi landasan konstitusional organisasi tersebut. Sebelumnya, wakil dari 50 negara yang dimotori oleh negara-negara pemenang Perang Dunia II telah bekerja keras. Bahu-membahu, selama dua bulan dari 25 April 1945 hingga 26 Juni 1945, para wakil negara ini merumuskan Piagam dalam kata-kata dan makna yang dipahami dan dikenal luas oleh masyarakat dunia.

    Dari rumusan Piagam, kita dapat menangkap bagaimana para pendiri Perserikatan Bangsa-Bangsa (selanjutnya disebut Perserikatan atau PBB) menyatukan suatu kesepakatan mulia bagi dunia. Yakni menyelamatkan generasi berikutnya dari peperangan yang membinasakan umat manusia. Mereka meneguhkan keyakinan tersebut pada arti penting hak asasi manusia yang fundamental. Juga penghormatan kepada derajat kemanusiaan seseorang, pengakuan hak yang sama antara pria dan wanita, antara negara besar dan negara kecil.

    Para pendiri PBB itu bersetuju menciptakan kondisi-kondisi yang memungkinkan ditegakkannya keadilan dan penghormatan pada hukum. Mereka berjanji meningkatkan kemajuan sosial serta memperbaiki standar hidup umat manusia. Kesepakatan-kesepakatan mengenai keamanan, hak asasi manusia, serta pembangunan merupakan garis besar haluan, landasan, sekaligus arah dari kegiatan-kegiatan Perserikatan selama 60 tahun.

    Karena itu sudah pada tempatnya pada HUT ke-60 ini PBB dilihat kembali secara jujur untuk retrospeksi. Apakah cita-cita para pendiri PBB itu telah banyak dicapai? Apakah sistem collective security masih relevan? Apakah tantangan yang dihadapi PBB saat ini sama dengan permasalahan dunia 60 tahun lalu? Apakah kinerja PBB sampai saat ini sudah dapat memuaskan semua negara anggota?

    Harus diakui, banyak hal telah dilakukan PBB sejak kelahirannya. Beberapa contoh dapat dikemukakan sebagai ilustrasi. Pertama, munculnya negara-negara merdeka baru hasil dari proses dekolonisasi. Ini salah satu hal yang dapat menggambarkan kontribusi dan peranan penting Perserikatan. Kedua, PBB terlibat aktif dalam meruntuhkan sistem apartheid di Afrika Selatan. Majelis Umum PBB bahkan secara tegas menyatakan bahwa apartheid adalah a crime against humanity—suatu kejahatan yang melawan kemanusiaan.

    Sikap tegas badan dunia ini berperan penting dalam mendorong rontoknya rezim kulit putih di Afrika Selatan. Contoh ketiga, Perserikatan secara relatif telah berhasil memelihara perdamaian dan stabilitas dunia. Sejak kelahirannya, dapat dikatakan tak ada usaha serius dari suatu negara untuk menganeksasi bagian wilayah negara lain. Memang ada beberapa kekecualian seperti pendudukan Turki di wilayah Siprus, serangan Maroko ke Sahara Barat, dan invasi Irak ke wilayah Kuwait.

    Keempat, perang nuklir seperti yang terjadi di Hiroshima dan Nagasaki telah dapat dihindarkan melalui serangkaian perundingan pelucutan senjata sehingga bencana massal itu tidak terulang sejak kelahiran PBB. Kelima, PBB berhasil menciptakan pola hubungan global yang damai dengan menyediakan forum untuk bertukar pandangan secara kontinu di antara sesama negara anggota. Di samping itu, secara aktif turut mengembangkan hukum internasional melalui ratifikasi norma tingkah laku bangsa-bangsa. Dan keenam, masyarakat internasional telah merasakan peranan konstruktif PBB dalam menghadapi permasalahan global yang muncul. Umpamanya, mengatasi lingkungan hidup yang memburuk, perubahan iklim, pelanggaran hak asasi manusia, berjangkitnya penyakit menular, keterbelakangan, kelangkaan pangan, kemiskinan, migrasi. Perserikatan juga berperan dalam bantuan kemanusiaan seperti tsunami, usaha memajukan hak-hak anak dan wanita serta kelompok yang terabaikan.

    Meskipun demikian, prestasi PBB ini tak mampu menahan keterkejutan dunia atas serangan Amerika Serikat (AS) dan koalisinya ke Irak tanpa otorisasi Dewan Keamanan PBB. Ini telah menggoyahkan secara signifikan kepercayaan dunia pada kemujaraban konsep keamanan kolektif (collective security) dan keunggulan sendi-sendi multilateralisme, tempat PBB menjadi sakagurunya selama ini. Dunia juga mempertanyakan mengapa pula Perserikatan berpangku tangan melihat terjadinya genosida di Burundi dan Rwanda pada 1994, yang menelan korban lebih dari 800 ribu jiwa.

    Padahal PBB memiliki pasukan penjaga perdamaian berbaret biru dalam jumlah memadai. Dalam konflik besar seperti yang terjadi di Kosovo dan Irak, badan ini hanya bertindak sebagai cleaning service yang bertanggung jawab membersih-bersihkan wilayah setelah konflik usai. Dan bukan lagi sebagai pihak yang memiliki kredibilitas serta otoritas yang independen seperti pada masa lalu.

    Kekecewaan dunia ini diperparah dengan tersebarnya berita akhir-akhir ini bahwa pasukan penjaga perdamaian PBB di Afrika terlibat dalam kasus pelecehan seksual terhadap penduduk setempat. Ada lagi fakta lain yang kian menyulitkan posisi Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan: temuan tim yang dipimpin oleh Paul Volcker, mantan Ketua Bank Sentral AS. Tim ini menyatakan telah terjadi penyimpangan pada program oil for food di Irak yang berindikasi kriminal. Dinyatakan pula, ada oknum pejabat PBB yang terlibat dalam tindakan tak terpuji ini. Beberapa di antaranya telah ditahan pihak berwajib.

    Dalam konteks itu wajar bila pusat perhatian dunia tertuju pada bagaimana cara memperbaiki dan memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa. Gagasan untuk merevitalisasi PBB agar dapat merefleksi realitas dunia masa kini ramai bermunculan, baik dari para akademisi, sekretariat PBB, maupun negara anggota. Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB di New York pada September 2005 telah menempatkan reformasi lembaga dunia ini sebagai agenda utama.

    Dalam pidato mereka, para kepala negara yang hadir di New York pada umumnya mendukung reformasi PBB. Mereka berharap agar organisasi ini segera menyesuaikan diri dengan tantangan baru dunia serta mampu menjalankan misinya demi masa depan dunia yang lebih baik. Dahulu, dunia dihadapkan pada dominasi masalah keamanan seperti sengketa wilayah, tapi tantangan dunia saat ini lebih bersifat multidimensional dan saling bergantung. Kemiskinan penduduk yang absolut; maraknya kejahatan transnasional; lingkungan hidup yang memburuk; merajalelanya terorisme; maraknya pelanggaran hak asasi; munculnya penyakit berbahaya seperti flu burung, SARS, AIDS, polio, adalah tantangan dunia masa kini yang tidak bisa diisolasi sendiri-sendiri.

    Tidak ada satu pun negara di dunia yang mampu mengatasi rentetan problem di atas secara sendiri-sendiri. Dalam hal ini, diperlukan pendekatan PBB yang lebih utuh dan komprehensif. Dan kian dibutuhkan sosok PBB sebagai suatu organisasi modern yang efektif, akuntabel, efisien, tanggap, serta mumpuni. Karena itu, perlu dijaga dan dilestarikan tiang-tiang penyangga PBB yang mencerminkan sendisendi multilateralisme seperti legitimasi, kredibilitas, dan pengambilan keputusan yang demokratis.

    Alasannya jelas: bagaimana keputusan Dewan Keamanan PBB akan dihormati bila keanggotaannya tak mencerminkan konstelasi dunia masa kini dan keputusannya tak diambil secara demokratis? Bagaimana Dewan Hak Asasi Manusia PBB yang baru bisa berpengaruh dalam meningkatkan dan melindungi hak asasi di dunia bila penggunaan standar ganda, politisasi, dan selektivitas terus berlangsung? Bagaimana pula usaha meminimalkan proliferasi senjata pemusnah massal bisa berhasil bila negara-negara produsen senjata enggan membicarakannya di PBB? Bagaimana program pengentasan kemiskinan (Millennium Development Goals) dapat tercapai pada 2015 bila rencana aksi tidak berisi target-target yang terperinci dan terukur waktunya?

    Memang banyak kelemahan yang membuat PBB tidak dapat bekerja efektif. Meskipun demikian, dunia akan menanggung lebih banyak mudarat tanpa kehadiran PBB. Siklus perang dunia akan terulang dan dominasi hegemon akan muncul mirip zaman Pax Romana dan Pax Britannica. Manfaatnya akan terasa dan terbaca jelas jika kita mulai merenung dan membayangkan bagaimana dunia tanpa PBB. Karena itu alternatif yang ada bukanlah menghapus PBB karena banyak kelemahannya tetapi bagaimana memperkuatnya sehingga dapat memenuhi harapan kita.

    Dalam hal ini kata-kata bijak Presiden AS Dwight Eisenhower yang diucapkan lima dasawarsa lalu tampaknya kini masih relevan, yaitu ”With all the defects, with all the failures that we can check up against it, the United Nations still represents man’s best-organized hope to substitute the conference table for the battlefield.”

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus