Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Maisaroh Si Korban Diabinese Utu

Anti biotika diganti apotik dengan obat diabetes. ia sekarang menderita penyakit psikis. jiwanya mundur 15 tahun keluarga pasien menggugat ke pengadilan.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

USIANYA 18 tahun. Tapi tingkah lakunya mirip kemanakannya yang 3 tahun: minta susu, merengek-rengek dan suka ngompol. Ayahnya pun sudah tak dia kenal lagi. "Ini siapa?" tanyanya menunjuk. "Itu ayah kita," jawab abangnya. "Masak ayah tua begini," sambutnya ketus. Ceritanya dimulai 13 Februari 1979. Maisaroh, buruh pengepakan di PT Wheelock Marden Indonesia (produsen alat kosmetika di Cibubur) merasa kurang enak badan. Kepada dokter perusahaan, dr. Soehandono, gadis yang biasanya riang dan pandai bergaul ini mengeluh "lemas dan agak demam." Lantas ia menerima resep Cloramidina, 4 x 1 kapsul sehari. Ditambah Deconal dan chloroquin. Resep itu baru ditebus esoknya di Apotik Maribaya, Jalan Otto Iskandardinata IV, Polonia. Tak jauh dari rumah gadis itu. Penyakitnya tak membaik setelah makan obat. Malahan, kepada abangnya, Syaifuddin, ia mengeluh tidak bisa tidur dan gelisah. Keringatnya mengucur deras. Waktu itu abangnya mengingatkan kemungkinan ia lupa menelan obat. Karena itu sebelum tidur, Maisaroh menelannya lagi. Paginya seisi rumah di Jalan Kebon Nanas Selatan, milik Syaifuddin itu panik. Maisaroh yang biasanya sudah bangun, ditemukan pingsan di tempat tidur. Tubuhnya kejang. Muka pucat dan sekujur badan berkeringat. Tetangga berdatangan. Ada yang mengerok punggung Maisaroh dengan minyak gosok Rheumason. Setelah tubuhnya digoyang-goyang, Maisaroh siuman. "Tempat ini kok nggak enak ya?!" katanya setelah sadar. Masih lemas, ia disuapi bubur dan sebutir telur ayam rebus. Abangnya kemudian menyuruhnya menelan obat lagi. Si gadis lalu tidur kembali. Sekitar jam 9 pagi seorang temannya datang. Tapi sesampai di pintu kamar teman ini terkejut dan menjerit. Ia menemukan mulut Maisaroh berbusa, badannya kejang dan basah berkeringat. Ia tak sadarkan diri. Siang 16 Februari itu juga ia digotong ke Rumah Sakit Ciptomangunkusumo. Hampir 4 bulan ia tergeletak tak sadarkan diri. Nyawanya tergantung pada infus yang terus-menerus melekat di badan. Baru pada bulan kelima ia sadar. Seluruhnya 10 bulan dia mendekam di RSCM. Badannya cuma tulang dibalut kulit. Ketika Maisaroh sampai di RSCM untunglah dr. Adji Suprajitno, 28 tahun, mencium sesuatu. Ia terkejut ketika keluarga Maisaroh menyerahkan Diabinese yang selama ini dimakan gadis tadi. Padahal berdasarkan wawancara dengan pihak keluarga, si pasien samasekali tidak menderita diabetes. Obat anti kencing manis yang berwarna biru itu sebijinya berbobot 250 miligram. Dalam sehari berarti Maisaroh menelan 1000 miligram. "Untuk penderita diabetes mellitus saja hanya 100 miligram sehari. Paling tinggi 400 miligram," jawab dr Adji Suprajitno dari Bagian Penyakit Dalam RSCM. Bisa dibayangkan apa yang terjadi pada diri Maisaroh. Diabenese menguras gula dari darahnya hingga otaknya tak kebagian makanan. Terjadilah apa yang dinamakan coma hipoglikemik. Ia kehilangan kesadaran. "Untung ia masih muda dan kondisi tubuhnya baik, kalau tidak bisa mati," urai Adji Suprajitno kepada Surasono dari TEMPO. Tragisnya si abang, Syaifuddin, malahan menyuruh adiknya memakan obat itu lagi setelah terjadinya kecelakaan pertama. "Habis, kami tak tahu kalau itu racun," jawab pegawai sipil Kodam V Jaya itu polos. Asisten Saru Dokter Soehandono sendiri tidak menuliskan obat anti diabetes. Apotik Maribaya yang memberikan. Ini terlihat dari salinan yang tertera di belakang kwintasi. "Tak mungkin apotik sengaja memberi obat yang salah. Mungkin tulisan di resep yang sulit dibaca. Maklum 'kan tulisan dokter," jawab H. Dahlan Harahap, pemilik apotik yang juga bergerak dalam penyediaan rumah bersalin. Tapi, tangkis dr. Soehandono "mestinya kalau ragu-ragu ditanyakan dulu pada dokter yang menulis resep." Kesalahan yang fatal itu kemungkinan terjadi karena asisten apoteker saru dalam membaca resep yang bertuliskan chloromidina (sebuah nama dagang dari Chloramphenicol) menjadi Chlorpropamide (nama generik obat diabetes). Lantas dituliskanlah Diabinese yang mengandung obat itu, buatan pabrik Pfizer. "Sebenarnya melihat komposisi resep yang bertujuan menurunkan panas, si asisten apoteker harus meragukan pemberian obat macam itu," kata seorang dokter di RSCM. Keteledoran asisten apoteker dalam membaca resep ini memang bisa terjadi. Di Jerman Barat beberapa tahun yang lalu seorang petugas apotik menyebabkan hamilnya seorang wanita Resep Eugynon (obat anti hamil) dibaca Enzynorm (obat sakit perut). Maka buntinglah si wanita itu. Kesalahan yang mematikan bisa terjadi kalau tulisan dokter yang mirip cacing kepanasan itu salah baca. Misalnya Sulfa Chinidin untuk penderita jantung ditukar menjadi obat menceret Sulfa guanidine. Dua asisten apoteker yang dinas di Apotik Maribaya ketika peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, sudah diskors berdasarkan surat dari Dinas Kesehatan DKI. Masing-masing M.K. yang sudah bekerja 5 tahun dan N.B. masuk belakangan. Sedang apotekernya yang harus bertanggungjawab hanya mendapat peringatan keras. Maribaya diminta memberi bantuan pengobatan bagi Maisaroh yang malang. Ia sekarang menderita penyakit psikis yang gawat. Jiwanya mundur 15 tahun. Ingatannya buntu. Teman-teman sekerjanya yang datang menjenguk disebutnya teman sekolah. Ia tak merasa sudah pernah bekerja. Sekalipun sudah setahun ia absen, perusahaan tempat dia bekerja masih mengirimkan gaji Rp 8.000 sebulan: separuh gajinya. Salah obat karena salah baca resep yang berakibat parah baru sekali inilah kedengaran. Dalam waktu tak lama lagi pengadilan akan menyidangkan perkara ini. Sementara pihak keluarga korban, lewat LBH, mengajukan gugatan terhadap apotik. Konon Rp 50 juta. Penderitaan Maisaroh yang malang itu tentu tak terobati andaikan tuntutan itu gol. Tapi apotik "biar tahu rasa" kata banyak dokter.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus