USIANYA 18 tahun. Tapi tingkah lakunya mirip kemanakannya yang 3
tahun: minta susu, merengek-rengek dan suka ngompol. Ayahnya pun
sudah tak dia kenal lagi. "Ini siapa?" tanyanya menunjuk. "Itu
ayah kita," jawab abangnya. "Masak ayah tua begini," sambutnya
ketus.
Ceritanya dimulai 13 Februari 1979. Maisaroh, buruh pengepakan
di PT Wheelock Marden Indonesia (produsen alat kosmetika di
Cibubur) merasa kurang enak badan. Kepada dokter perusahaan, dr.
Soehandono, gadis yang biasanya riang dan pandai bergaul ini
mengeluh "lemas dan agak demam." Lantas ia menerima resep
Cloramidina, 4 x 1 kapsul sehari. Ditambah Deconal dan
chloroquin.
Resep itu baru ditebus esoknya di Apotik Maribaya, Jalan Otto
Iskandardinata IV, Polonia. Tak jauh dari rumah gadis itu.
Penyakitnya tak membaik setelah makan obat. Malahan, kepada
abangnya, Syaifuddin, ia mengeluh tidak bisa tidur dan gelisah.
Keringatnya mengucur deras. Waktu itu abangnya mengingatkan
kemungkinan ia lupa menelan obat. Karena itu sebelum tidur,
Maisaroh menelannya lagi.
Paginya seisi rumah di Jalan Kebon Nanas Selatan, milik
Syaifuddin itu panik. Maisaroh yang biasanya sudah bangun,
ditemukan pingsan di tempat tidur. Tubuhnya kejang. Muka pucat
dan sekujur badan berkeringat.
Tetangga berdatangan. Ada yang mengerok punggung Maisaroh dengan
minyak gosok Rheumason. Setelah tubuhnya digoyang-goyang,
Maisaroh siuman. "Tempat ini kok nggak enak ya?!" katanya
setelah sadar. Masih lemas, ia disuapi bubur dan sebutir telur
ayam rebus. Abangnya kemudian menyuruhnya menelan obat lagi.
Si gadis lalu tidur kembali. Sekitar jam 9 pagi seorang temannya
datang. Tapi sesampai di pintu kamar teman ini terkejut dan
menjerit. Ia menemukan mulut Maisaroh berbusa, badannya kejang
dan basah berkeringat. Ia tak sadarkan diri.
Siang 16 Februari itu juga ia digotong ke Rumah Sakit
Ciptomangunkusumo. Hampir 4 bulan ia tergeletak tak sadarkan
diri. Nyawanya tergantung pada infus yang terus-menerus melekat
di badan. Baru pada bulan kelima ia sadar. Seluruhnya 10 bulan
dia mendekam di RSCM. Badannya cuma tulang dibalut kulit.
Ketika Maisaroh sampai di RSCM untunglah dr. Adji Suprajitno, 28
tahun, mencium sesuatu. Ia terkejut ketika keluarga Maisaroh
menyerahkan Diabinese yang selama ini dimakan gadis tadi.
Padahal berdasarkan wawancara dengan pihak keluarga, si pasien
samasekali tidak menderita diabetes. Obat anti kencing manis
yang berwarna biru itu sebijinya berbobot 250 miligram. Dalam
sehari berarti Maisaroh menelan 1000 miligram.
"Untuk penderita diabetes mellitus saja hanya 100 miligram
sehari. Paling tinggi 400 miligram," jawab dr Adji Suprajitno
dari Bagian Penyakit Dalam RSCM. Bisa dibayangkan apa yang
terjadi pada diri Maisaroh. Diabenese menguras gula dari
darahnya hingga otaknya tak kebagian makanan. Terjadilah apa
yang dinamakan coma hipoglikemik. Ia kehilangan kesadaran.
"Untung ia masih muda dan kondisi tubuhnya baik, kalau tidak
bisa mati," urai Adji Suprajitno kepada Surasono dari TEMPO.
Tragisnya si abang, Syaifuddin, malahan menyuruh adiknya memakan
obat itu lagi setelah terjadinya kecelakaan pertama. "Habis,
kami tak tahu kalau itu racun," jawab pegawai sipil Kodam V Jaya
itu polos.
Asisten Saru
Dokter Soehandono sendiri tidak menuliskan obat anti diabetes.
Apotik Maribaya yang memberikan. Ini terlihat dari salinan yang
tertera di belakang kwintasi. "Tak mungkin apotik sengaja
memberi obat yang salah. Mungkin tulisan di resep yang sulit
dibaca. Maklum 'kan tulisan dokter," jawab H. Dahlan Harahap,
pemilik apotik yang juga bergerak dalam penyediaan rumah
bersalin. Tapi, tangkis dr. Soehandono "mestinya kalau ragu-ragu
ditanyakan dulu pada dokter yang menulis resep."
Kesalahan yang fatal itu kemungkinan terjadi karena asisten
apoteker saru dalam membaca resep yang bertuliskan chloromidina
(sebuah nama dagang dari Chloramphenicol) menjadi Chlorpropamide
(nama generik obat diabetes). Lantas dituliskanlah Diabinese
yang mengandung obat itu, buatan pabrik Pfizer. "Sebenarnya
melihat komposisi resep yang bertujuan menurunkan panas, si
asisten apoteker harus meragukan pemberian obat macam itu," kata
seorang dokter di RSCM.
Keteledoran asisten apoteker dalam membaca resep ini memang bisa
terjadi. Di Jerman Barat beberapa tahun yang lalu seorang
petugas apotik menyebabkan hamilnya seorang wanita Resep
Eugynon (obat anti hamil) dibaca Enzynorm (obat sakit perut).
Maka buntinglah si wanita itu.
Kesalahan yang mematikan bisa terjadi kalau tulisan dokter yang
mirip cacing kepanasan itu salah baca. Misalnya Sulfa Chinidin
untuk penderita jantung ditukar menjadi obat menceret Sulfa
guanidine.
Dua asisten apoteker yang dinas di Apotik Maribaya ketika
peristiwa itu terjadi setahun yang lalu, sudah diskors
berdasarkan surat dari Dinas Kesehatan DKI. Masing-masing M.K.
yang sudah bekerja 5 tahun dan N.B. masuk belakangan. Sedang
apotekernya yang harus bertanggungjawab hanya mendapat
peringatan keras. Maribaya diminta memberi bantuan pengobatan
bagi Maisaroh yang malang.
Ia sekarang menderita penyakit psikis yang gawat. Jiwanya
mundur 15 tahun. Ingatannya buntu. Teman-teman sekerjanya yang
datang menjenguk disebutnya teman sekolah. Ia tak merasa sudah
pernah bekerja. Sekalipun sudah setahun ia absen, perusahaan
tempat dia bekerja masih mengirimkan gaji Rp 8.000 sebulan:
separuh gajinya.
Salah obat karena salah baca resep yang berakibat parah baru
sekali inilah kedengaran. Dalam waktu tak lama lagi pengadilan
akan menyidangkan perkara ini. Sementara pihak keluarga korban,
lewat LBH, mengajukan gugatan terhadap apotik. Konon Rp 50 juta.
Penderitaan Maisaroh yang malang itu tentu tak terobati andaikan
tuntutan itu gol. Tapi apotik "biar tahu rasa" kata banyak
dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini