Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

De-mao-isasi jalan terus

Deng dicopot jabatannya oleh mao dan isteri. box: de-mao-isasi jalan terus. (ln)

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA meninggalkan dunia ini dengan gaya seorang kaisar -- antar gempa besar dan gerhana matahari. Sejarah Cina yang akan datang memang tak akan dapat melupakan Mao Tse-tung. Begitu ia mangkat, 9 September 1976, para pemimpin Cina pun menyiapkan sebuah mausoleum raksasa dari pualam yang setahun kemudian resmi dibuka. Maka sungguh mengagetkan berita yang tersiar pekan lalu, bahwa kini justru ada rencana untuk membongkar makam itu. Majalah Far Eastern Economic Review mengedarkan kabar itu mula-mula. Menurut berkala terbitan Hongkong ini, para pemimpin Cina bermaksud memindahkan jenasah Mao yang dibalsem ke kubur yang lebih sederhana. Mausoleum di Beijing yang setinggi kurang-lebih 40 m dan sepanjang 130 m itu akan dihancurkan. Itu berarti proses "de-Mao-isasi" akan secara resmi dimaklumkan. Kenapa? Bahwa Mao bukanlah pemimpin yang harus selalu dipuja, nampaknya hal itu sudah lama merupakan pendirian para pemimpin yang berkuasa di Beijing kini. Tapi haruskah mausoleum Mao dibongkar, dan tubuhnya dipindah? Soalnya, kata Far Eastern Economic Review, ada dokumen yang membuktikan bahwa Mao sebenarnya pernah bermaksud menyingkirkan almarhum Perdana Menteri Chou En-lai. Kebenaran dokumen itu tentu bisa diragukan. Huhunan Mao dengan, Chou En-lai semasa Revolusi Kebudayaan nampak cukup baik -- meskipun Chou seorang moderat. Chou memang tak selamanya menyetujui Mao, namun tokoh ini tak pernah mencoba menempatkan dirinya sebagai orang No. 1. Marskal Zhu De juga, yang meninggal di tahun 1976, bukan dikenal sebagai musuh Mao. Setidaknya orang tua itu tak tergolong tokoh yang kontroversial. Namun "de-Mao-isasi" lebih lanjut rupanya diperlukan oleh para penguasa sekarang, dan alasan di RRC selalu bisa didapat. Permusuhan antara Mao dcngan Deng Xiaoping mungkin berpengaruh. Di masa Revolusi Kebudayaan, Deng memang kena ganyang semena-mena. Kembalinya ia ke puncak kekuasaan di tahun 1973 hanyalah berkat kehendak Chou En-lai, yang sudah sakit dan menyiapkan pengganti. Setelah Chou meninggal Januari 1976, Deng diganyang lagi. Bahkan setelah terjadi demonstrasi anti-Mao 5 April 1976 di lapangan Tien An Men, Beijing, Mao beserta istrinya, Jiang Qing (Chiang Ching), mencopot Deng lagi dari jabatannya yang penting. Baru setelah Mao wafat, dan para pengikutnya yang setia -- "Gerombolan Empat", yang dipimpin Jiang Qing -- kalah dalam perebutan kekuasaan. Deng kembali muncul. Tokoh yang pernah dikecam sebagai "pengambil jalan kapitalis" ini memang tak tanggung-tanggung membuka Cina. Bukan saja ia memberi jalan bagi para petani untuk cari untung, tapi juga membiarkan Coca Cola masuk, beserta barang konsumsi lain yang sebelumnya dianggap "borjuis". Garis baru RRC ini tentunya menimbulkan ketidak-puasan juga, terutama bagi mereka yang tak kebagian rezeki atau yang merasa jadi penjaga kemurnian ideologi. Mungkin itulah sebabnya proses "de-Mao-isasi" yang praktis telah berlangsung, kini perlu dipertegas lagi dengan menyingkirkan jenasah Mao dari maoseleumnya yang megah. Di tahun 1956 para pemimpin Uni Soviet, di bawah Khruschev, juga mengutuk pemimpin besar mereka sebelumnya, Stalin. Jenasah Stalin juga dipindahkan dari tempat yang terhormat semasa "de-Stalin-isasi" itu. Di RRC, Mao Tse-tung mengecam tindakan terhadap Stalin itu. Tapi ia toh mengakui "Sepenuhnya perlu untuk menanggalkan tabir, untuk menghancurkan keyakinan buta, mengendurkan tekanan, dan untuk membebaskan pikiran Mao hanya tak setuju Stalin dipukul sekaligus. Kali ini dia tentu tak bisa lagi untuk tak setuju. Di tahun 1956 Deng Xiaoping, waktu itu cukup berkuasa sebagai sekretaris jenderal Partai, sudah menyatakan bahwa Partai "jijik' terhadap pemujaan individu. Maksudn ya, tentu, pemujaan kepada Mao. Tapi Mao kemudian bisa membalas. Ia menggerakkan Revolusi Kebudayaan -- setelah beberapa tahun lamanya ia hanya ditaruh di atas bagaikan patung Budha yang disembah-sembah tapi tak bisa bergerak. Adakah kemungkinan para pengikut Mao, bila masih cukup kuat, kelak membalas? Deng nampaknya sudah bersiap. "di-Mao-isasi' yang berlangsung kini bukan berarti liberalisasi, dan jelas bukan untuk "membebaskan pikiran." Dalam pidatonya di sidang pleno kelima Komite Sentral ke-XI Partai Komunis Cina di Beijing 19 Iebruari, Deng justru meneguhkan sikap Partai Komunis yang lazim: anti suara bebas. Dengan galak Deng menyerang kaum intelektual pengritik, misalnya Wei Jingsheng -- yang baru-baru ini dihukum 15 tahun penjara. Dan seperti seruan Deng, dalam konstitusi yang baru, dihapuskanlah senjata utama kaum pembangkang "dinding demokrasi".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus