IA meninggalkan dunia ini dengan gaya seorang kaisar -- antar
gempa besar dan gerhana matahari. Sejarah Cina yang akan datang
memang tak akan dapat melupakan Mao Tse-tung. Begitu ia mangkat,
9 September 1976, para pemimpin Cina pun menyiapkan sebuah
mausoleum raksasa dari pualam yang setahun kemudian resmi
dibuka. Maka sungguh mengagetkan berita yang tersiar pekan lalu,
bahwa kini justru ada rencana untuk membongkar makam itu.
Majalah Far Eastern Economic Review mengedarkan kabar itu
mula-mula. Menurut berkala terbitan Hongkong ini, para pemimpin
Cina bermaksud memindahkan jenasah Mao yang dibalsem ke kubur
yang lebih sederhana. Mausoleum di Beijing yang setinggi
kurang-lebih 40 m dan sepanjang 130 m itu akan dihancurkan. Itu
berarti proses "de-Mao-isasi" akan secara resmi dimaklumkan.
Kenapa? Bahwa Mao bukanlah pemimpin yang harus selalu dipuja,
nampaknya hal itu sudah lama merupakan pendirian para pemimpin
yang berkuasa di Beijing kini.
Tapi haruskah mausoleum Mao dibongkar, dan tubuhnya dipindah?
Soalnya, kata Far Eastern Economic Review, ada dokumen yang
membuktikan bahwa Mao sebenarnya pernah bermaksud menyingkirkan
almarhum Perdana Menteri Chou En-lai.
Kebenaran dokumen itu tentu bisa diragukan. Huhunan Mao dengan,
Chou En-lai semasa Revolusi Kebudayaan nampak cukup baik --
meskipun Chou seorang moderat. Chou memang tak selamanya
menyetujui Mao, namun tokoh ini tak pernah mencoba menempatkan
dirinya sebagai orang No. 1. Marskal Zhu De juga, yang meninggal
di tahun 1976, bukan dikenal sebagai musuh Mao. Setidaknya orang
tua itu tak tergolong tokoh yang kontroversial.
Namun "de-Mao-isasi" lebih lanjut rupanya diperlukan oleh para
penguasa sekarang, dan alasan di RRC selalu bisa didapat.
Permusuhan antara Mao dcngan Deng Xiaoping mungkin berpengaruh.
Di masa Revolusi Kebudayaan, Deng memang kena ganyang
semena-mena. Kembalinya ia ke puncak kekuasaan di tahun 1973
hanyalah berkat kehendak Chou En-lai, yang sudah sakit dan
menyiapkan pengganti.
Setelah Chou meninggal Januari 1976, Deng diganyang lagi. Bahkan
setelah terjadi demonstrasi anti-Mao 5 April 1976 di lapangan
Tien An Men, Beijing, Mao beserta istrinya, Jiang Qing (Chiang
Ching), mencopot Deng lagi dari jabatannya yang penting.
Baru setelah Mao wafat, dan para pengikutnya yang setia --
"Gerombolan Empat", yang dipimpin Jiang Qing -- kalah dalam
perebutan kekuasaan. Deng kembali muncul. Tokoh yang pernah
dikecam sebagai "pengambil jalan kapitalis" ini memang tak
tanggung-tanggung membuka Cina. Bukan saja ia memberi jalan bagi
para petani untuk cari untung, tapi juga membiarkan Coca Cola
masuk, beserta barang konsumsi lain yang sebelumnya dianggap
"borjuis".
Garis baru RRC ini tentunya menimbulkan ketidak-puasan juga,
terutama bagi mereka yang tak kebagian rezeki atau yang merasa
jadi penjaga kemurnian ideologi. Mungkin itulah sebabnya proses
"de-Mao-isasi" yang praktis telah berlangsung, kini perlu
dipertegas lagi dengan menyingkirkan jenasah Mao dari
maoseleumnya yang megah.
Di tahun 1956 para pemimpin Uni Soviet, di bawah Khruschev, juga
mengutuk pemimpin besar mereka sebelumnya, Stalin. Jenasah
Stalin juga dipindahkan dari tempat yang terhormat semasa
"de-Stalin-isasi" itu. Di RRC, Mao Tse-tung mengecam tindakan
terhadap Stalin itu. Tapi ia toh mengakui "Sepenuhnya perlu
untuk menanggalkan tabir, untuk menghancurkan keyakinan buta,
mengendurkan tekanan, dan untuk membebaskan pikiran Mao hanya
tak setuju Stalin dipukul sekaligus.
Kali ini dia tentu tak bisa lagi untuk tak setuju. Di tahun 1956
Deng Xiaoping, waktu itu cukup berkuasa sebagai sekretaris
jenderal Partai, sudah menyatakan bahwa Partai "jijik' terhadap
pemujaan individu. Maksudn ya, tentu, pemujaan kepada Mao. Tapi
Mao kemudian bisa membalas. Ia menggerakkan Revolusi Kebudayaan
-- setelah beberapa tahun lamanya ia hanya ditaruh di atas
bagaikan patung Budha yang disembah-sembah tapi tak bisa
bergerak.
Adakah kemungkinan para pengikut Mao, bila masih cukup kuat,
kelak membalas? Deng nampaknya sudah bersiap. "di-Mao-isasi'
yang berlangsung kini bukan berarti liberalisasi, dan jelas
bukan untuk "membebaskan pikiran." Dalam pidatonya di sidang
pleno kelima Komite Sentral ke-XI Partai Komunis Cina di Beijing
19 Iebruari, Deng justru meneguhkan sikap Partai Komunis yang
lazim: anti suara bebas.
Dengan galak Deng menyerang kaum intelektual pengritik, misalnya
Wei Jingsheng -- yang baru-baru ini dihukum 15 tahun penjara.
Dan seperti seruan Deng, dalam konstitusi yang baru,
dihapuskanlah senjata utama kaum pembangkang "dinding
demokrasi".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini