"GEMALA yang manis. Pak Wangsa sudah pulang dari rumahsakit.
Batu yang dikhawatirkan dapat merusak ginjalnya tak jadi
dikeluarkan. Sebab sudah sebesar biji salak," tulis Bung Hatta
membalas surat anak perempuannya yang kedua, Gemala Hatta, April
1975. "Titip salam buat orang-orang belakang," bunyi akhir surat
itu.
Waktu itu Gemala sedang belajar Medical Administration di
Sydney, Australia. Yang dimaksud 'orang-orang belakang' adalah
para pembantu rumahtangga. "Ayah memang tidak pernah melupakan
orang belakang. Setiap kali selalu titip salam," tutur Gemala.
Istri Mohd. Chalil Baridjambek itu merasa sangat berbahagia
ulang tahunnya ke-28 tanggal 2 Maret -- 12 hari sebelum ayahnya
meninggal -- masih sempat ditunggui sang ayah. Dan ia pula
satu-satunya anak yang sempat mendengar amanat terakhir Bung
Hatta.
"Pahamkan ajaran-ajaran ayah . . ., jangan dikubur. .," bisiknya
berulang-ulang. "Mungkin ayah khawatir anak-anaknya belum
memahami apa-apa yang selama ini diajarkannya," ujar Gemala.
Membalas surat-surat, memang termasuk pekerjaan harian Bung
Hatta. Tak cuma kepada ketiga putrinya, tetapi juga kepada siapa
saja yang berkorespondensi dengannya. Diketik sendiri di kertas
kuarto yang di kiri atasnya tercantum nama Mohammad Hatta. Rapi
dan bersih tanpa coretan.
Salah seorang "sahabat penanya"-nya antara lain N. Soeroso dari
Jalan Tongkol Tanjung Priok. Kepada orang itu Bung Hatta 2
Februari 1974 menulis: "Saya gembira bahwa Saudara lebih suka
menyebut saya 'Bung' daripada 'Bapak', karena ucapan tersebut
melekatkan kesan yang khusus, yang mesra, dan terasa sangat
dekatnya antara rakyat dan pemimpin... Memang saya masih ingat
perjalanan kami, Bung Karno dan saya, di waktu itu dengan K.I.B.
(kereta api luar biasa mengunjungi berbagai daerah. Perjalanan
tersebut adalah pada permulaan tahun 1946 . . . Saya gembira
saudara masih ingat kenang-kenangan yang begitu lama, apalagi di
waktu itu saudara masih berumur 4« tahun. Sekarang saudara tentu
telah lebih 33 tahun. Apakah kerja saudara di Tanjung Priok?
Sudahkah saudara beristri dan mempunyai anak?"
Surat-menyuratnya dengan Soeroso juga mengenai banyak hal yang
serius. Tulisnya 25 Februari 1974: "Mr. Muhammad Yamin almarhum
pernah menulis buku tentang persiapan Undang-undang Dasar 1945,
tiga jilid. Di dalamnya antara lain dimuat pidato Bung Karno,
pidatonya dan pidato Mr. Sutomo, yang di ucapkan pada Sidang
Panitia Penylidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia.
Pidato-pidato anggota lainnya tidak dimuatnya. Tetapi pidatonya
yang dimuat itu bukanlah pidato yang diucapkannya waktu Panitia
Penyelidik bersidang. Pidato itu tidak ada hubungannya dengan
pidato yang diucapkan Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945."
"Waktu Panitia Sembilan selesai mengadakan rumus baru tentang
Pancasila, Bung Karno meminta persetujuan Panitia Sembilan
supaya Mr. Yamin membuat suatu keterangan tentang Pancasila yang
dirumuskan kembali itu. Tetapi keterangan itu terlalu panjang
dibuatnya, sehingga ditolak oleh Panitia Sembilan. Sebagai
gantinya diambillah Preambul yang sudah ada . . .. naskahnya itu
dimasukkan oleh Yamin ke dalam buku yang diterbitkannya . . .
Seolah-olah naskah itulah yang dibacakannya pada Sidang Panitia
Penyelidik. Karena naskah yang dibuatnya diminta oleh Bung Karno
untuk keterangan Pancasila yang dirumuskan kembali, dengan
sendirinya naskah itu menyerupai Pancasila Bung Karno. Di
sinilah letak liciknya Yamin sehingga orang yang tidak
mengetahui seluk-beluknya naskah itu mengira bahwa Yaminlah yang
"sebenarnya" melahirkan ide Pancasila. Dalam Panitia Penyelidik
ia lebih dahulu bicara dari Bung Karno . . .
"Celakanya sekarang ialah bahwa Pancasila itu hanya 'diamalkan'
sebagai lip-service saja .... " tulisnya lagi pada Soeroso 8
April 1974.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini