Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Muhammad Ali, 66 tahun, merasa nyeri di dada. Keringat dingin keluar dari pori-pori tubuhnya. Mad Ali—demikian panggilannya—segera ke rumah sakit, karena yakin ada masalah pada jantungnya. Sepekan dirawat, tak kunjung ada kemajuan: dadanya tetap nyeri. Dia pun memutuskan terbang dari Nusa Tenggara Timur ke Bandung untuk mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Setelah melakukan konsultasi dengan dokter dan pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) rekaman informasi kondisi jantung yang diambil dengan memasang elektroda di badan—ditemukan ada kontraksi jantung yang melemah. Pria gemuk, perokok, jarang makan sayur dan olahraga teratur itu juga menderita darah tinggi. Dokter memutuskan tindakan kateterisasi jantung, yaitu pemeriksaan struktur serta fungsi jantung, termasuk ruang, katup, otot, dan pembuluh darah jantung serta pembuluh darah koroner, untuk mendeteksi adanya pembuluh darah jantung yang tersumbat.
Hasil kateterisasi menunjukkan adanya penyumbatan pada kiri depan serta kanan dan kiri samping jantung. Cuma ada dua pilihan: operasi bypass atau intervensi. Mad Ali tak mau dadanya dibedah. Dia memilih intervensi koroner perkutan, tindakan medis nonbedah yang bertujuan melebarkan atau membuka sumbatan pembuluh darah ke arah jantung dengan balon dan pemasangan cincin (stent). Ada lima cincin dalam pembuluh darah Mad Ali.
Itu cerita dua tahun lalu. Kini Mad Ali hidup sehat, bekerja seperti sediakala, melakukan perjalanan antar pulau mencari barang antik. Pola hidupnya juga berubah. Dia tak merokok, berolahraga teratur walau cuma jalan kaki, dan mengatur pola makan. ”Perut saya tak lagi buncit, berat turun 15 kilogram,” katanya.
Menurut dokter ahli intervensi jantung Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Achmad Fauzi Yahya, tindakan intervensi pada jantung dengan pemasangan cincin memang lebih dipilih penderita serangan jantung karena beberapa keunggulan. Misalnya, intervensi lebih efektif mengalirkan kembali darah yang tersumbat. ”Tindakan idealnya dilakukan dalam waktu 90 menit setelah penderita masuk rumah sakit,” katanya.
Bandingkan dengan infus obat pengencer dan penghancur gumpalan darah (trombolik), yang membutuhkan waktu minimal tiga jam. ”Belum lagi soal penderita yang tidak cocok dengan obat pengencer tersebut,” ujar Wakil Instalasi Gawat Darurat Hasan Sadikin itu.
Menurut dokter lulusan Universitas Airlangga, Surabaya, ini, data menunjukkan, pada 15 persen penderita, obat itu gagal menghalau sumbatan. Bahkan seperempat penderita mengalami sumbatan ulang dalam kurun waktu tiga bulan pascaterapi. Dari tingkat keberhasilan mengalirkan darah yang tersumbat, terapi obat hanya berkisar 50-60 persen, sedangkan keberhasilan intervensi nonbedah bisa mencapai 95 persen. Untuk operasi bypass, walaupun tingkat keberhasilan tinggi, lebih berisiko terhadap nyawa, terutama pada penderita diabetes (kencing manis) dan paru kronis. ”Bisa gagal jantung dan stroke,” kata Fauzi.
Di negeri tetangga, Singapura, menurut dokter ahli intervensi jantung Tan Kok Soon, frekuensi operasi bypass makin menurun dalam sepuluh tahun terakhir. ”Orang lebih memilih intervensi dan pemasangan stent,” kata pendiri The Heart Specialist Clinic di Mount Elizabeth Medical Centre itu.
Coronary artery bypass grafting, atau operasi bypass jantung, menurut Tan, butuh waktu pemulihan lebih lama, bisa dua hingga tiga bulan. ”Lagi pula ada risiko stroke karena jantung berhenti sesaat. Operasi bypass itu jangan diulang lagi,” ujarnya. Kalau diulang, bisa timbul luka jaringan parut bekas operasi. Lebih jauh bahkan bisa memutus pembuluh darah arteri.
Berbeda dengan operasi bypass, intervensi jantung hanya butuh sayatan kecil sekitar 0,5 sentimeter pada pangkal paha atau pangkal lengan. Pasien dalam keadaan sadar penuh, bisa menonton semua proses melalui monitor di ruang tindakan tersebut.
Perkembangan teknologi intervensi memang memungkinkan tindakan itu makin aman. Teknologi pembuatan balon, misalnya, mengalami lompatan luar biasa. Dokter pun semakin mudah mendorong balon melalui lekukan-lekukan tajam koroner. Bahkan kini tersedia balon berselaput obat. Ragam jenis dan ukuran cincin koroner juga semakin banyak. Saat ini terdapat lebih dari 300 paten jenis stent yang diproduksi berbagai perusahaan, dengan desain, ukuran diameter, panjang, dan ciri-ciri fisik khas.
Ada cincin polos yang terbuat dari baja antikarat, cipher, atau stent yang terbuat dari baja dengan magnet dan karbon rendah dilapisi campuran polimer serta obat sirolimus (antibiotik dengan efek antikanker). Obat tersebut mengurangi risiko penyempitan.
Di Singapura, dua pekan lalu, saat Tempo berkunjung ke The Heart Specialist Clinic, diperkenalkan stent jenis baru untuk penderita kencing manis (diabetes). NEVO™ Sirolimus eluting Coronary Stent namanya. Tetap memakai sirolimus. Bedanya, bahan stent itu terbuat dari polyglycolic acid dan polylactic acid, sejenis turunan polimer, yang meminimalisasi proses luka pada pemasangan. Karena luka, pada penderita diabetes, bisa membuat masalah baru. Luka lebih mudah terjadi bila dipasang stent berbahan logam.
Stent tersebut juga bisa diserap dan dicerna arteri dalam jangka setahun hingga dua tahun. Pembuluh darah pun sembuh. ”Stent ini baru mulai dipakai pada kuartal pertama 2010. Kini sedang dilakukan uji kelayakan,” kata Tan.
Cincin yang dapat diserap pembuluh darah hingga ”menghilang” setelah beberapa bulan terpasang atau bioabsorbable stent, menurut dokter Fauzi, juga kini gandrung dipakai di Amerika Serikat. Perbaikan teknologi stent ini memungkinkan angka penyempitan ulang menurun.
Berbagai ukuran stent tersedia, mulai diameter 2,25 milimeter hingga 4 milimeter dan panjangnya dapat mencapai hingga 38 milimeter.
Pilihan Mad Ali ke Bandung itu karena Rumah Sakit Hasan Sadikin punya pengalaman pelayanan intervensi lebih dari tujuh tahun. Rumah sakit tersebut kini juga mampu memberikan pelayanan intervensi jantung pada saat terjadi serangan jantung, yang dikenal sebagai tindakan primary percutaneous coronary intervention, sama seperti di rumah sakit swasta dan rumah sakit di negara maju.
Pasien serangan jantung yang datang ke unit gawat darurat akan langsung didorong ke ruang kateterisasi jantung. Di tempat itu dokter akan menembus gumpalan darah yang menyumbat koroner dan memasang stent di lokasi penyumbatan sehingga darah akan mengalir kembali. ”Intervensi pada saat serangan jantung ini akan bermanfaat bila dilakukan sesegera mungkin. Keterlambatan membawa pasien serangan jantung ke rumah sakit akan mengurangi efektivitas terapi,” kata dokter Fauzi.
Tentu saja, soal biaya di rumah sakit pemerintah itu lebih murah tiga kali lipat dibanding rumah sakit swasta lain atau lima kali lebih murah daripada pelayanan di Singapura.
Teknologi terapi stent memang berkembang pesat. Tidak hanya di jantung, stent juga bisa mengatasi masalah aliran darah di pembuluh darah (aorta). Seperti yang dilakukan di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta, dua pekan lalu. Pertama kali di Indonesia, diambil tindakan terhadap aneurisme aorta abdominalis, atau melebarnya aorta, pembuluh yang membawa darah dari jantung ke seluruh tubuh.
Aorta membentang dari bagian bawah jantung hingga lipat paha. Ia memasok darah ke organ-organ dalam di perut hingga ke kedua kaki. ”Nah, saat ini, terapi untuk aneurisme juga bisa dengan intervensi dan pemasangan stent, bukan bedah besar,” kata dokter spesialis jantung dan pembuluh darah Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Utojo Lubiantoro.
Seperti dokter Fauzi, dokter Utojo juga menyarankan pasien tetap memiliki pola hidup sehat agar cincin yang dipasang bertahan lebih lama. ”Pemasangan stent itu untuk kehidupan, bukan hanya untuk pelebaran penyempitan pembuluh darah,” katanya.
Ahmad Taufik, Ibnu Rusydi (Singapura)
Pengendalian Risiko Penyakit Jantung Koroner
Segala terapi penyakit jantung menjadi sia-sia jika seseorang tak melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Olahraga rutin untuk mempertahankan darah supaya tetap mengalir di sepanjang pembuluh koroner.
2. Menghentikan kebiasaan merokok.
3. Mengatur pola makan yang sehat, bergizi, dan seimbang.
4. Menekan kadar kolesterol dan gula darah.
5. Menormalkan tekanan darah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo