Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Masalah Besar di Usus Besar

Kurangnya konsumsi serat memicu munculnya kanker usus besar. Deteksi dini kunci untuk bertahan hidup lebih lama.

3 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mieske, sebut saja namanya- begitu, kerap terhenyak di pagi hari. Setiap kali buang air besar, tinjanya tampak bercampur- darah. Beberapa bulan kemudian anus wanita berusia 20 tahun itu pun mulai terasa sakit ketika buang hajat. Lantaran tak tahan, warga Rumpin, Bogor, itu pergi ke dokter ahli penyakit dalam di sebuah rumah sakit di kawasan Pamulang, Banten.

Saat itu dokter mendiagnosisnya menderita ambeien alias wasir. Namun, obat-obatan yang diberikan tak membuat sakitnya reda. Tiga bulan menjalani rawat jalan, keluhannya tak berkurang, malah bertambah. Anusnya makin nyeri saat dimasuki obat wasir.

Pemeriksaan dokter lain di rumah sakit berbeda menyebut mahasiswi se-mester tiga Universitas Islam Negeri Jakarta itu mengalami luka usus. Obat -ke-mbali diberikan. Tapi, lagi-lagi, keluh-an- tak berkurang. Nyeri di ”knalpot”-nya makin menjadi.

Kepastian baru didapat awal Desember 2005, setelah Mieske dirujuk dan bertemu dr Agus Sudiro Waspodo, ahli penyakit dalam Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta. Ia menjalani kolonos-kopi—pemeriksaan dengan- alat khusus yang bisa melihat organ dalam tubuh, dan secara visual ditampilkan dalam monitor komputer.

Hasilnya, wanita yang kurang doyan makan sa-yur-an dan minum air putih itu positif meng-idap kanker rektum parah. Ia dianjurkan- menjalani operasi, bahkan akan dibuatkan anus buatan. Mieske pun syok. Ia tak menduga kondisinya bakal serunyam itu. ”Gejala awalnya, perut nyeri dan mulas, seperti mag,” katanya.

Keluhan serupa di-alami- Daniel—juga bukan nama sebenarnya. Perutnya kerap melilit dan kembung seperti menderita penyakit mag. Obat dari dua dokter umum tak mempan menyembuhkan penyakit-nya.

Misteri penyakitnya baru terkuak setelah karyawan Krakatau Steel, Cilegon, Banten, itu memeriksakan diri ke Rumah Sa-kit Pelni, Ja-karta-. Di sini, pria 46 tahun- yang menggemar-i- daging- dan kurang suka menelan sayuran itu juga menjalani kolonoskopi dan bio-psi- atawa pengambilan dan pemeriksaan jaring-an. Hasilnya, ayah tiga anak itu terbukti mengidap kanker kolon stadium III. Dokter juga menganjurkan agar segera dilakukan operasi.

”Kanker kolorektal me-rupakan salah satu jenis kanker yang sering ditemukan dalam masyarakat Indonesia,” kata dr Agus. Menurut Colorectal Cancer Associati-on of Canada, kanker- ko-lorektal meliputi kan-ker kolon (usus besar) dan rektum (ujung usus besar sampai ke anus) seperti dialami Daniel dan Mieske.

Jenis kanker itu telah menjadi masalah serius di seluruh dunia. Tak mengherankan, beberapa- negara seperti Ame-rika Serikat, Kanada, dan Singapura menjadikan Mare-t sebagai bulan khusus penyadaran kan-ker kolorektal. ”March is colorectal cancer awareness month.” Ge-rak-an penyadar-an dilakukan agar warga- paham tentang kanker- kolo-rektal, baik faktor risiko, gejala, diag-nosis, pemeriksaan, tindak-an medis, maupun pencegahan yang mungkin dilakukan.

Di Amerika, tahun ini diperkirakan ada 148.610 orang yang didiagnosis mengidap kanker kolorektal. Dan lebih dari 55 ribu orang meninggal akibat penyakit yang sama. Di Kanada, penderi-ta kanker kolorektal diperkirakan ada 19.600 orang, dan sekitar 8.400 orang mati karenanya.

Kendati jumlah pengidapnya diperkirakan terus meningkat, hingga kini belum ada bulan penyadaran kanker ko-lorektal di Tanah Air. Keluarga peng-idap kanker masih belum tergerak dan terbuka untuk berbagi pengalaman supaya orang lain bisa menghindari penyakit ini.

Sikap lembaga swadaya masyarakat juga tak segetol saat mereka menyua-rakan HIV/AIDS, misalnya. ”Kalau ada tokoh yang terkena kanker kolorektal dan mau berdiri di depan, mungkin baru lahir gerakan penyadaran itu,” kata Agus.

Hingga saat ini belum diketahui penyebab pasti kanker kolorektal. Meski- begitu, menurut sejumlah studi, keja-di-an kanker ini meningkat sejalan dengan- sejumlah faktor risiko yang dimiliki seseorang. Misalnya, usia lebih dari 50 tahun, diet tinggi lemak dan kalori, riwa-yat keluarga ada yang mengidap kanker, juga riwayat personal—misalnya, wanita- yang mengidap kanker ovarium atau payudara cenderung berisiko terkena kanker kolorektal.

Peningkatan penderita- kanker kolorektal di In-do-nesia sejalan dengan meningkatnya usia harap-an- hidup. Makin banyak penduduk berusia tua, kemungkinan munculnya kanker tersebut makin terbuka. Kanker ini ba-nyak ditemukan menyerang pria dan wanita berusia 50 tahun ke atas. Na-mun, di-temukan juga sejumlah kasus pada kalang-an yang lebih mu-da, seper-ti di-alami Daniel dan Mieske.

Makin muda-nya usia peng-idap kanker kolo-rektal bisa jadi terkait dengan perubahan gaya hidup. Misalnya, kebiasaan mengonsumsi makanan cepat saji yang berlemak-lemak, se-perti ayam goreng, kentang goreng, dan makanan sejenis lainnya. Di sisi lain, mereka kurang makan buah dan sayur yang kaya serat. Survei Kesehatan Rumah Tangga 2004 membuktikan 60 persen penduduk di atas usia 15 tahun kurang mengonsumsi buah dan sayur, 16 persen terhitung cukup, dan 24 per-sen lagi tak biasa mengonsumsi buah dan sayur.

Berdasar data pemeriksaan histopatologi, menurut Agus, kanker kolorektal menduduki peringkat kelima terbesar yang diderita penduduk Indonesia. Empat kanker lain yang bertengger di posisi lebih atas adalah kanker leher rahim, payudara, kelenjar getah bening, dan kanker kulit. Meski berada di lima besar, sejatinya kanker kolorektal bukan tak bisa ditangani.

”Kanker kolorektal merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan dan dicegah perkembangannya,” kata Agus. Deteksi dini bisa menjadi kunci agar penderitanya bisa bertahan hidup- lebih lama. Sayang, pemahaman dan kesadaran tentang penyakit ini di kalangan masyarakat masih kurang. Walhasil, saat datang ke dokter, kondisi kankernya sudah telanjur parah. Padahal, jika ditangani sejak dini, 90 persen kanker kolorektal dapat disembuhkan.

Kurangnya kepedulian dan kewas-padaan atas bahaya di usus besar sering kali lantaran tak adanya keluhan atau gejala klinik dini. Acap kali, penyakit ini baru ditemukan saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna bawah (kolonoskopi) rutin. Di sinilah pemeriksaan menjadi penting. Terutama bagi kalang-an yang memiliki faktor risiko kanker kolorektal, kendati mereka merasa kondisinya baik-baik saja.

Bila diketahui secara diri, ”Pengobat-an kanker kolorektal,” kata Agus, ”bisa dilakukan dengan biopsi sayatan atau operasi.” Jika sudah dalam kategori lanjut, operasi tak bisa dihindarkan. Agar sembuh, pertengahan 2001 lalu Daniel- harus merelakan 88 sentimeter usus besarnya dipotong. Buntutnya, sementara- sebelumnya cukup buang air besar sehari sekali, kini empat jam sekali ia mesti pergi ke jamban.

Berasal dari keluarga yang banyak mengidap kanker—4 dari 9 anggota keluarganya terkena kanker—Daniel sa-ngat bersyukur operasinya berhasil. Kend-ati untuk itu fulus sekitar Rp 50 juta mesti melayang dari kantongnya. ”Keluhan melilit dan kembung di perut menghilang,” katanya.

Pilihan berbeda ditempuh Mieske. Di usianya yang masih muda, ia mengaku tak siap dioperasi dengan efek kehilang-an anus asli, dan menggunakan anus buat-an. Walhasil, operasi tak jadi dilakoni. Mieske memilih terapi ke sinse.

Yang jelas, setelah bergulat dengan- kanker kolorektal yang menakutkan, Daniel dan Mieske kini meng-ubah kebiasaan hidupnya. Dalam urus-an ma-kanan, mereka melakukan diet seimbang- dengan mengonsumsi cukup sayur dan buah yang kaya serat. Sementara makanan gorengan dikurangi, kendati dokter sebetulnya tak membatasi, ”Saya yang harus tahu diri,” kata Da-niel sambil terkekeh.

Ali Khomsan, guru besar ilmu pa-ngan dan gizi Institut Pertanian Bogor, setuju asupan cukup serat berpotensi mencegah- kanker kolorektal. Soalnya, serat- tak bisa dicerna tubuh dan berfungsi melan-carkan pembuangan kotoran. Maklum, bila tinja tak lancar dibuang, misal-nya 2-3 hari sekali, akan terjadi proses penyerapan racun-racun yang sebenar-nya sudah tak diperlukan. Di antara racun itu ada yang bersifat- karsinogen alias bisa menyebabkan kanker, termasuk kanker kolorektal.

”Makan buah dan sayur sangat di-anjurkan. Paling tidak lima porsi sehari,” katanya. Ali menyebut, kebutuh-an- tiga porsi sayur sehari adalah satu mangkuk pada pagi, siang, dan sore. Lalu, di-tambah dua porsi buah, bisa berupa dua jeruk, dua apel, dua pisang, atau kombinasi satu jeruk-satu apel, satu jeruk-satu pisang.

Dwi Wiyana

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus