Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Masitoh yang dibebani payudara

Kelainan pada payudara gadis masitoh (tumor jinak yang membesar sekitar 20 kg), dioperasi oleh dokter rs husada merupakan kasus yang pertama kali terjadi. (ksh)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENDERITAAN Masitoh agaknya segera akan berakhir. Setelah tak kurang dari 5 tahun menanggung beban kedua payudaranya yang mencapai berat 20 kg lebih, minggu lalu ia dioperasi. Sebuah tim dokter RS Husada, Jakarta, dengan sukarela menangani gadis dari sebuah desa di Tasikmalaya ini karena kasus kelainan tersebut sangat langka, bahkan yang pertama terjadi di Indonesia. Sejak berusia 13 tahun, ketika haid pertama datang, Masitoh, kini 18 tahun, mulai merasakan gangguan pada payudaranya. Selalu terasa amat nyeri. Proses pembesaran itu berlangsung kurang dari 3 bulan sampai mencapai berat masing-masing lebih dari 10 kg. Para tetangga Masitoh di Desa Neglasan, Kecamatan Selawu, Tasikmalaya, menyebutnya sebagai penyakit "aneh". Tapi tak seorang pun penduduk desa itu yang sanggup membantu. Dinarta, ayah Masitoh, sudah meninggal 5 tahun lalu sementara Karsih, 40 tahun, ibunya, tak berdaya. Menanggung empat anak lagi, Karsih hanyalah buruh tani. Adik Masitoh yang paling besar, lelaki berusia 12 tahun, sesekali menjadi kuli bongkar-muat mobil barang yang kadang-kadang mampir di desanya. Payudara yang menggelantung hingga mencapai pusar itu suatu ketika dilaporkan kepada kepala kampung dan camat, tapi agaknya tidak diteruskan ke puskesmas. Masitoh pernah juga memeriksakan ke RSU Tasikmalaya, namun agaknya rumah sakit ini tak mampu mengobatinya. "Mestinya memang harus memenksakan lagi ke Tasikmalaya, tapi maksud itu saya batalkan, karena tidak ada biaya. Ongkos yang sedianya untuk naik bis ke Tasikmalaya terpaksa digunakan membeli beras," tutur Katsih. Gadis yang hanya sempat duduk di kelas 2 SD itu pun menyerah. Seharian ia terbaring di lantai rumah panggungnya yang terbuat dari bambu. Sampai akhirnya beberapa dokter RS Husada Jakarta membaca berita mengenai penderitaan Masitoh di surat kabar. Mereka segera memutuskan menangani secara sukarela kasus itu. Masitoh pun dijemput dr. Gunawan Sutanto dan dr. Tresiaty Pohe, dari desanya yang terpencil, sekitar 32 km dari Tasikmalaya arah ke Garut. Dan Selasa pekan lalu ia dioperasi. Sebuah tim operasi dibentuk, diketuai dr. Kartadinata, Dirut RS Husada, dibantu oleh dr. Gunawan Sutanto, dr. Tresiaty Pohe, dr. Samsi Jacobalis, dr. Sadono (anastesi), dr. Surya S. (ahli penyakit dalam), dr. Y. Kisyanto (ahli jantung). "Kami dengan sukarela menanganinya mengingat kelangkaan kasus kelainan ini, ' ujar dr. Kartadinata yang juga kepala bagian bedah RS Gatot Subroto itu. Ini memang kasus kelainan yang pertama kali terjadi di Indonesia. Kasus serupa pernah terjadi di Tanzania. Menurut dr. Kartadinata, pembesaran payudara pada Masltoh ini bisa dlgolongkan tumor Jmak. Kelainan ini disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem saraf hormonal yang terjadi pada saat akilbalig. Karta menyebutnya Adolesent Breast ypertropy, pembesaran payudara pada saat akilbalig. Salah satu ovarium terangsang dan mengeluarkan hormon estrogen hingga payudara tumbuh membesar terus-menerus. "Hal itu karena peranan satu zat yang menurut istilah saya, zat point," katanya. Setelah pemeriksaan laboratorium tidak ada kelainan pada tubuh Masitoh yang lain, operasi yang berlangsung dua tahap ini pun dimulai. Yang dioperasi pekan lalu itu baru payudara sebelah kanan. Bila kelak kesehatan pasien sudah pulih, payudara sebelah kiri akan dioperasi pula. Menurut Karta, dalam proses operasi itu mula-mula dilakukan pemotongan melintang sepanjang 20 cm dan pemotongan membujur 10 cm diteruskan pembuangan jaringan daging seberat 10,5 kg. Setelah itu dilakukan pengembalian bentuk puting. "Secara estetis diusahakan bentuk payudara yang normal, meskipun tidak lagi dapat melakukan fungsi laktasi (menyusui)," ujar dr. Karta. Kelainan pada payudara gadis remaja itu ternyata tidak membahayakan. "Tapi ada kemungkinan bisa membesar lagi, sebab saya tidak tahu apakah zat point itu sudah bekerja maksimal atau belum," kata dr. Karta lagi. Akhir pekan lalu Masitoh masih tetap terbaring di ruang ICU RS Husada. Parasnya tampak kurus dan pucat. "Sekarang ia merasa sudah lebih enak dan enteng," kata ibunya yang menunggui. "Tapi dada yang kiri masih terasa nyeri. Kalau tidak dipegangi dan diganjal dengan bantal, bisa menggeluyur ke samping. Rasanya berat," kata Masitoh dalam bahasa Sunda. "Kalau sudah sembuh saya ingin sekolah lagi," tambahnya sembari menggeliat dan memegangi payudaranya sebelah kiri dengan hati-hati. Saya sangat berterima kasih kepada bapak dan ibu dokter yang mengobati anak saya dengan ikhlas. Kalau Masitoh sudah sembuh, saya ingin segera pulang. Kasihan adik-adiknya yang tinggal," kata Karsih. Selama ini, kata Karsih, mereka hanya makan sehari sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus