PENDERITAAN Masitoh agaknya segera akan berakhir. Setelah tak
kurang dari 5 tahun menanggung beban kedua payudaranya yang
mencapai berat 20 kg lebih, minggu lalu ia dioperasi. Sebuah tim
dokter RS Husada, Jakarta, dengan sukarela menangani gadis dari
sebuah desa di Tasikmalaya ini karena kasus kelainan tersebut
sangat langka, bahkan yang pertama terjadi di Indonesia.
Sejak berusia 13 tahun, ketika haid pertama datang, Masitoh,
kini 18 tahun, mulai merasakan gangguan pada payudaranya. Selalu
terasa amat nyeri. Proses pembesaran itu berlangsung kurang dari
3 bulan sampai mencapai berat masing-masing lebih dari 10 kg.
Para tetangga Masitoh di Desa Neglasan, Kecamatan Selawu,
Tasikmalaya, menyebutnya sebagai penyakit "aneh". Tapi tak
seorang pun penduduk desa itu yang sanggup membantu. Dinarta,
ayah Masitoh, sudah meninggal 5 tahun lalu sementara Karsih, 40
tahun, ibunya, tak berdaya. Menanggung empat anak lagi, Karsih
hanyalah buruh tani. Adik Masitoh yang paling besar, lelaki
berusia 12 tahun, sesekali menjadi kuli bongkar-muat mobil
barang yang kadang-kadang mampir di desanya.
Payudara yang menggelantung hingga mencapai pusar itu suatu
ketika dilaporkan kepada kepala kampung dan camat, tapi agaknya
tidak diteruskan ke puskesmas. Masitoh pernah juga memeriksakan
ke RSU Tasikmalaya, namun agaknya rumah sakit ini tak mampu
mengobatinya.
"Mestinya memang harus memenksakan lagi ke Tasikmalaya, tapi
maksud itu saya batalkan, karena tidak ada biaya. Ongkos yang
sedianya untuk naik bis ke Tasikmalaya terpaksa digunakan
membeli beras," tutur Katsih. Gadis yang hanya sempat duduk di
kelas 2 SD itu pun menyerah. Seharian ia terbaring di lantai
rumah panggungnya yang terbuat dari bambu.
Sampai akhirnya beberapa dokter RS Husada Jakarta membaca berita
mengenai penderitaan Masitoh di surat kabar. Mereka segera
memutuskan menangani secara sukarela kasus itu. Masitoh pun
dijemput dr. Gunawan Sutanto dan dr. Tresiaty Pohe, dari desanya
yang terpencil, sekitar 32 km dari Tasikmalaya arah ke Garut.
Dan Selasa pekan lalu ia dioperasi.
Sebuah tim operasi dibentuk, diketuai dr. Kartadinata, Dirut RS
Husada, dibantu oleh dr. Gunawan Sutanto, dr. Tresiaty Pohe, dr.
Samsi Jacobalis, dr. Sadono (anastesi), dr. Surya S. (ahli
penyakit dalam), dr. Y. Kisyanto (ahli jantung). "Kami dengan
sukarela menanganinya mengingat kelangkaan kasus kelainan ini, '
ujar dr. Kartadinata yang juga kepala bagian bedah RS Gatot
Subroto itu.
Ini memang kasus kelainan yang pertama kali terjadi di
Indonesia. Kasus serupa pernah terjadi di Tanzania. Menurut dr.
Kartadinata, pembesaran payudara pada Masltoh ini bisa
dlgolongkan tumor Jmak. Kelainan ini disebabkan oleh
ketidakseimbangan sistem saraf hormonal yang terjadi pada saat
akilbalig. Karta menyebutnya Adolesent Breast ypertropy,
pembesaran payudara pada saat akilbalig. Salah satu ovarium
terangsang dan mengeluarkan hormon estrogen hingga payudara
tumbuh membesar terus-menerus. "Hal itu karena peranan satu zat
yang menurut istilah saya, zat point," katanya.
Setelah pemeriksaan laboratorium tidak ada kelainan pada tubuh
Masitoh yang lain, operasi yang berlangsung dua tahap ini pun
dimulai. Yang dioperasi pekan lalu itu baru payudara sebelah
kanan. Bila kelak kesehatan pasien sudah pulih, payudara sebelah
kiri akan dioperasi pula.
Menurut Karta, dalam proses operasi itu mula-mula dilakukan
pemotongan melintang sepanjang 20 cm dan pemotongan membujur 10
cm diteruskan pembuangan jaringan daging seberat 10,5 kg.
Setelah itu dilakukan pengembalian bentuk puting. "Secara
estetis diusahakan bentuk payudara yang normal, meskipun tidak
lagi dapat melakukan fungsi laktasi (menyusui)," ujar dr. Karta.
Kelainan pada payudara gadis remaja itu ternyata tidak
membahayakan. "Tapi ada kemungkinan bisa membesar lagi, sebab
saya tidak tahu apakah zat point itu sudah bekerja maksimal atau
belum," kata dr. Karta lagi.
Akhir pekan lalu Masitoh masih tetap terbaring di ruang ICU RS
Husada. Parasnya tampak kurus dan pucat. "Sekarang ia merasa
sudah lebih enak dan enteng," kata ibunya yang menunggui. "Tapi
dada yang kiri masih terasa nyeri. Kalau tidak dipegangi dan
diganjal dengan bantal, bisa menggeluyur ke samping. Rasanya
berat," kata Masitoh dalam bahasa Sunda. "Kalau sudah sembuh
saya ingin sekolah lagi," tambahnya sembari menggeliat dan
memegangi payudaranya sebelah kiri dengan hati-hati.
Saya sangat berterima kasih kepada bapak dan ibu dokter yang
mengobati anak saya dengan ikhlas. Kalau Masitoh sudah sembuh,
saya ingin segera pulang. Kasihan adik-adiknya yang tinggal,"
kata Karsih. Selama ini, kata Karsih, mereka hanya makan sehari
sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini