SEJUMLAH perkakas besi bekas, termasuk pelek sepeda untuk
memutar kilang sederhana, memenuhi sebagian halaman sebuah rumah
sederhana di Desa Surotrunan, Kebumen. Tapi dengan peralatan
yang serba tak mengkilap itu Chalimi Ibrahim, penduduk desa di
Jawa Tengah itu, sehari-hari menjinakkan tanaman gulma eceng
gondok hingga menjadi kertas karton.
Usaha itu bukan barang baru bagi Chalimi yang usianya sudah 67
tahun dan kini bercucu 20 orang. Sejak 1965 ia sudah membuat
karton dari jerami padi. Tapi pengetahuannya tentang eceng
gondok didapat berkat perkenalannya dengan Dr. Ir. Moh.
Soerjani, Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Sumber Daya Manusia
dari Universitas Indonesia (PSLSM-UI), 1980, ketika ahli itu
mencoba eceng gondok di 'pabrik'-nya. Hasilnya ternyata cukup
baik.
Perhatian Dr. Soerjani pada teknologi pembuatan karton itu,
bersumber pada kegiatan PSLSM-UI, mengembangkan berbagai bentuk
pemanfaatan gulma air. Bersama dengan Biotrop, PSLSM-UI itu
terlibat dalam Proyek Jratunseluna dari Ditjen Pengairan. Proyek
ini meliputi pengembangan wilayah sungai sebelah timur Kota
Semarang.
Wilayah ini juga mencakup Rawapening, yang mempunyai peranan
ekonomis di Jawa Tengah, terutama untuk pembangkit tenaga
hstrik, penyediaan air minum, irigasi, perikanan, dan rekreasi'
Tapi potensi tersebut sangat terganggu oleh pertumbuhan massal
gulma eceng gondok itu.
Cara yang terbaik membasmi eceng gondok, di samping menjalankan
berbagai cara, ialah dengan memanfaatkannya. Bisa untuk makanan
ternak, bahkan juga sebagai tambahan menu manusia, bisa dibuat
biogas untuk masak dan penerangan dan untuk p,upuk organik. Juga
bisa dipakai sebagai bahan baku berbagai jenis kerajinan anyaman
dan tentunya sebagai bahan pokok kertas dan karton.
Proses pembuatannya, seperti diterapkan Chalimi, cukup
sederhana. Eceng gondok dimasak selama 6 jam dalam sebuah drum
minyak. Setiap 40 kg cukup untuk membuat 150 lembar karton tebal
atau 300 lembar tipis. Hasil godokan itu kemudian dicampur
dengan jerami dan direndam semalaman dalam sebuah kolam dangkal.
Keesokan hari adonan itu diinjak-injak hingga hancur dan menjadi
bubur.
Sebelum dipakai, bubur itu dicuci, hingga warnanya menjadi
terang dan sisa sodanya habis terbilas. Kemudian bubur itu
disendok dengan sehelai saringan halus. Setelah diratakan, bubur
itu dilapis dengan selembar seng, sehingga menjadi lempengan.
Kemudian digilas dengan mesin hasil rakitan Chalimi sendiri.
Ketebalan karton ditentukan oleh jarak antara kedua batang
penggilas yang memang bisa diubah-ubah. Setelah itu dikeringkan
sekitar 2 jam.
Chilimi menjalankan 'pabriknya' hanya berdua dengan istrinya.
Setiap hari mereka rata-rata menghasilkan 150 lembar karton
berukuran 60 x 90 cm. Harga jual karton tebal Rp 5.000 per kodi
(20 lembar) sedang yang tipis Rp 1.375. Langganan tetap Chalimi
ialah, para pengrain kopiah dan tas, yang banyak tersebar di
desa tetangganya.
Produk Chalimi itu juga sudah masulc Jakarta. Tahun lalu,
Chalimi membuat kontrak dengan Ir. Erna Witoelaar, itu ketua
Wahana Lingkungan Hidup, untuk melever karton eceng gondok
selama satu tahun sampai Jum mendatang. "Setiap bulan Bu Erna
minta dikirim seribu lembar," ucap Chalimi.
Kegiatan Chalimi juga cukup bermanfaat dari segi pengendalian
eceng gondok. Di wilayahnya gulma itu sudah habis. "Kini eceng
gondok kami beli dari seseorang di Salatiga yang mengambilnya
dari Rawapening," ujar Chalimi. Harganya Rp 35 per kg bahan
kering dan setiap bulan Chalimi bisa menghabiskan lebih satu
ton!
Promosi pemanfaatan eceng gondok oleh Dr. Soerjani juga disambut
Simin dari Desa Klapagading di Cilacap.
Tapi sejak Oktober lalu, usaha Simin yang sudah menghasilkan
18.000 lembar sebulan dan mempekerjakan 15 buruh mendadak
ditutup atas perintah Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan)
Wangon. Alasannya, 30 penduduk mengajukan protes dan keberatan,
karena pabrik itu dianggap mencemarkan lingkungan.
Tapi atas bantuan Soerjani dan Menteri Negara PPLH (sekarang
KLH) Emil Salim, Bupati Banyumas Rujito, akhir Januari lalu
mengizinkan Simin membuka kembali usahanya itu. Tapi hanya
selama 6 bulan. "Jika dalam waktu itu tidak pindah lokasi,
pabrik akan ditutup bupati," ujar Simin.
Betapapun, ia tak mampu membeli tanah untuk lokasi baru.
"Karenanya lebih baik tutup saja," ujar Simin yang sudah berusia
61 tahun itu. Ia tinggalkan pabriknya di Cilacap dan kini
bermukim di Desa Karangwelas, Purwokerto. Tapi Simin yang
lulusan Mulo itu, tak bisa duduk diam. Di rumahnya itu ia tetap
mengutak-atik eceng gondok dengan maksud menghasilkan kertas
putih. "Saya juga ingin membuat buku petunjuk, cara memanfaatkan
eceng gondok itU," ujarnya yakin sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini