Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Teknologi simin

Chalimi simin (penduduk desa di ja-teng) atas petunjuk seorang ahli,dr. ir. moh soerjani menjinakkan tanaman gulma enceng gondok menjadi kertas karton. (ilt)

30 April 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH perkakas besi bekas, termasuk pelek sepeda untuk memutar kilang sederhana, memenuhi sebagian halaman sebuah rumah sederhana di Desa Surotrunan, Kebumen. Tapi dengan peralatan yang serba tak mengkilap itu Chalimi Ibrahim, penduduk desa di Jawa Tengah itu, sehari-hari menjinakkan tanaman gulma eceng gondok hingga menjadi kertas karton. Usaha itu bukan barang baru bagi Chalimi yang usianya sudah 67 tahun dan kini bercucu 20 orang. Sejak 1965 ia sudah membuat karton dari jerami padi. Tapi pengetahuannya tentang eceng gondok didapat berkat perkenalannya dengan Dr. Ir. Moh. Soerjani, Kepala Pusat Studi Lingkungan dan Sumber Daya Manusia dari Universitas Indonesia (PSLSM-UI), 1980, ketika ahli itu mencoba eceng gondok di 'pabrik'-nya. Hasilnya ternyata cukup baik. Perhatian Dr. Soerjani pada teknologi pembuatan karton itu, bersumber pada kegiatan PSLSM-UI, mengembangkan berbagai bentuk pemanfaatan gulma air. Bersama dengan Biotrop, PSLSM-UI itu terlibat dalam Proyek Jratunseluna dari Ditjen Pengairan. Proyek ini meliputi pengembangan wilayah sungai sebelah timur Kota Semarang. Wilayah ini juga mencakup Rawapening, yang mempunyai peranan ekonomis di Jawa Tengah, terutama untuk pembangkit tenaga hstrik, penyediaan air minum, irigasi, perikanan, dan rekreasi' Tapi potensi tersebut sangat terganggu oleh pertumbuhan massal gulma eceng gondok itu. Cara yang terbaik membasmi eceng gondok, di samping menjalankan berbagai cara, ialah dengan memanfaatkannya. Bisa untuk makanan ternak, bahkan juga sebagai tambahan menu manusia, bisa dibuat biogas untuk masak dan penerangan dan untuk p,upuk organik. Juga bisa dipakai sebagai bahan baku berbagai jenis kerajinan anyaman dan tentunya sebagai bahan pokok kertas dan karton. Proses pembuatannya, seperti diterapkan Chalimi, cukup sederhana. Eceng gondok dimasak selama 6 jam dalam sebuah drum minyak. Setiap 40 kg cukup untuk membuat 150 lembar karton tebal atau 300 lembar tipis. Hasil godokan itu kemudian dicampur dengan jerami dan direndam semalaman dalam sebuah kolam dangkal. Keesokan hari adonan itu diinjak-injak hingga hancur dan menjadi bubur. Sebelum dipakai, bubur itu dicuci, hingga warnanya menjadi terang dan sisa sodanya habis terbilas. Kemudian bubur itu disendok dengan sehelai saringan halus. Setelah diratakan, bubur itu dilapis dengan selembar seng, sehingga menjadi lempengan. Kemudian digilas dengan mesin hasil rakitan Chalimi sendiri. Ketebalan karton ditentukan oleh jarak antara kedua batang penggilas yang memang bisa diubah-ubah. Setelah itu dikeringkan sekitar 2 jam. Chilimi menjalankan 'pabriknya' hanya berdua dengan istrinya. Setiap hari mereka rata-rata menghasilkan 150 lembar karton berukuran 60 x 90 cm. Harga jual karton tebal Rp 5.000 per kodi (20 lembar) sedang yang tipis Rp 1.375. Langganan tetap Chalimi ialah, para pengrain kopiah dan tas, yang banyak tersebar di desa tetangganya. Produk Chalimi itu juga sudah masulc Jakarta. Tahun lalu, Chalimi membuat kontrak dengan Ir. Erna Witoelaar, itu ketua Wahana Lingkungan Hidup, untuk melever karton eceng gondok selama satu tahun sampai Jum mendatang. "Setiap bulan Bu Erna minta dikirim seribu lembar," ucap Chalimi. Kegiatan Chalimi juga cukup bermanfaat dari segi pengendalian eceng gondok. Di wilayahnya gulma itu sudah habis. "Kini eceng gondok kami beli dari seseorang di Salatiga yang mengambilnya dari Rawapening," ujar Chalimi. Harganya Rp 35 per kg bahan kering dan setiap bulan Chalimi bisa menghabiskan lebih satu ton! Promosi pemanfaatan eceng gondok oleh Dr. Soerjani juga disambut Simin dari Desa Klapagading di Cilacap. Tapi sejak Oktober lalu, usaha Simin yang sudah menghasilkan 18.000 lembar sebulan dan mempekerjakan 15 buruh mendadak ditutup atas perintah Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan) Wangon. Alasannya, 30 penduduk mengajukan protes dan keberatan, karena pabrik itu dianggap mencemarkan lingkungan. Tapi atas bantuan Soerjani dan Menteri Negara PPLH (sekarang KLH) Emil Salim, Bupati Banyumas Rujito, akhir Januari lalu mengizinkan Simin membuka kembali usahanya itu. Tapi hanya selama 6 bulan. "Jika dalam waktu itu tidak pindah lokasi, pabrik akan ditutup bupati," ujar Simin. Betapapun, ia tak mampu membeli tanah untuk lokasi baru. "Karenanya lebih baik tutup saja," ujar Simin yang sudah berusia 61 tahun itu. Ia tinggalkan pabriknya di Cilacap dan kini bermukim di Desa Karangwelas, Purwokerto. Tapi Simin yang lulusan Mulo itu, tak bisa duduk diam. Di rumahnya itu ia tetap mengutak-atik eceng gondok dengan maksud menghasilkan kertas putih. "Saya juga ingin membuat buku petunjuk, cara memanfaatkan eceng gondok itU," ujarnya yakin sekali.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus