Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Melihat-Lihat Klinik Taiwan

Orang Indonesia banyak yang berobat ke Central Clinic di Taipeh. Servis di RS. Indonesia dan di CC sama saja. Dokter & perawat di CC dekat dengan pasien. Sewa kamar lebih murah, tapi makanan tidak cocok. (ksh)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENTRAL Clinic di Taipeh merupakan tujuan utama para pelancong Indonesia yang ingin memeriksakan kesehatan. Wartawan TEMPO, Dahana, dalam perjalanannya ke Taiwan sempat singgah di rumahsakit tersebut. Laporan nya: Bangunannya modern dan megah, terletak di jalan ramai tak jauh dari pusat kota Taipeh. Itulh Chung Hsin Chen-suo Yi-yuan atau lebih dikenal dengan nama Central Clinic. Gedungnya berlantai 12, namun kita tak akan mendapatkan tingkat yang bernomor 4. Maklumlah si dalam bahasa Hokkian (bahasa daerah yang paling banyak digunakan oleh penduduk Taiwan) atau ssu dalam bahasa Mandarin, selain berarti empat juga punya arti lain mati. Kalau nomor ini digunakan, secara psikologis tak baik bagi orang-orang yang dirawat di sana. Apalagi buat mereka yang ditempatkan di lantai 4. Rumah sakit itu sengaja dipilih untuk dikunjungi, karena menurut keterangan banyak orang Indonesia yang berobat atau mengecek kesehatan ke sana. Selain dari itu dalam brosurnya diterangkan pula bahwa Central Clinic menyediakan pula tenaga-tenaga medis, terutama perawat, yang bisa berbahasa Indonesia. Sambil Dagang Juga Perihal memeriksakan kesehatan (general check up) yang sedang populer di kalangan orang berduit di negeri kita, seorang pejabat Kamar Dagang Indonesia di Taipeh mengatakan rata-rata setiap tahun ada 15.000 turis Indonesia yang berkunjung ke negara pulau itu. Banyak di antara mereka yang datang itu mengikuti apa yang disebut Medical Check up Tour yang diatur di Indonesia oleh beberapa biro perjalanan. Programnya berlangsung selama satu minggu yang terdiri dari 4 hari jalan-jalan melihat negeri itu dan tiga hari memeriksakan kesehatan. ,Ada pula di antara mereka yang sambil menjalankan urusan dagangnya, juga memeriksakan kesehatan. Dr. Lueh Yeh-Bin, kepala rumahsakit itu menyatakan bahwa dari macam-macam bangsa yang berkunjung ke situ, orang Malaysia ternyata merupkan pengunjung tertinggi, disusul Indonesia,Hongkong, Muangthai malahan dari Amerika Serikat juga menjadi langganan Central Clinic. "Saya sendiri pernah merawat beberapa pejabat tinggi dari Indonesia," ujar Dr Lue. Untuk ukuran Taiwan, biaya perawatannya cukup tinggi. Tetapi untuk para pendatang mungkin lebih murah. Apalagi untuk orang-orang dari Amerika Serikat. Yang mahal cuma ongkos perjalanan untuk mencapai negara pulau ini.Berkeliling dalam rumahsakit itu, kelihatan peralatannya yang memang modern dan terawat baik. Tapi rumahsakit tertentu di Jakarta mungkin tak kalah. Terlihat misalnya dua buah mesin sinar Rongent berkekuatan 500 MA dan sebuah lagi yang berkuatan 800 MA. Di sebuah ruangan terlihat seorang penderita sedang duduk dan di kepalanya terpancang berpuluh-puluh jarum yang dihubungkan dengan kabel-kabel kccil ke sebuah mesin yang dilayani seorang perawat cantik. Di ruangan lain seorang penderita kanker sedang "ditembak'' oleh Cobalt 60. Suasana di seluruh ruangan sangat tenang walaupun setiap petugas sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Tak kelihatan orang berjejal di muka loket--satu pemandanan sehari-hari yang kita temukan di rumahsakit umum di Jakarta. Pengalaman Jelek "Servis di rumahsakit Indonesia dan di sini sama saja," kata Setianto dan Henry Sunoto, keturunan Tionghoa asal Surabaya, yang sedang memeriksakan kesehatan di rumahsakit itu. Mereka datang ke Taipeh untuk pemeriksaan kesehatan sambil melancong ke Hongkong, Tokyo dan Bangkok. Menurut mereka ongkos pemeriksaan berkisar antara Rp 70 sampai Rp 80.000. Di rumahsakit Central Clinic tersebut beristirahat pula seorang murid SMP asal Palembang, Susi namanya. Dia datang ke Taipeh dengan ditemani ibunya. Ia menderita polio sejak kecil dan telah berobat ke mana-mana di Indonesia. Dengan perawatan selama 6 minggu, menurut keterangan ibunya, Susi akan sembuh dan dapat berjalan dengan normal. Nyonya Yanti dari Petojo di Jakarta lain lagi. Ia punya pengalaman jelek dengan dokter dan perawatan kesehatan di Jakarta. Kakinya sering keseleo karena ada kelainan pada tulangnya. Dua atau tiga tahun yang lalu ia dioperasi seorang akhli tulang di Jakarta. Ternyata operasinya salah, karena ternyata makin parah, malahan infeksi. Sampai berbulan-bulan, dokternya yang tidak mengatakan apa-apa memberinya obat anti infeksi, sehingga menimbulkan komplikasi, yaitu sakit maag. Di Central Clinic kakinya dioperasi lagi sehingga dalam tiga minggu ia bisa kembali ke Jakarta. Demikian pula sakit maagnya telah disembuhkan. Menurut Ny. Yanti berobat di CC sangat menyenangkan. Dokter selalu memberi tahu penyakit yang diderita si pasien. Di Indonesia, kata nyonya muda itu, kalau berani tanya kepada dokter pasti dibilang sok tahu atau cerewet. Demikian pula para perawatnya. Setiap waktu mereka pasti dengan senang hati akan menolong para penderita. Pokoknya, menurut Ny. Yanti, di CC pasien adalah raja, karena mereka telah membayar untuk servis. Pak Karmadi 70 tahun, dari Cempaka Putih menderita tumor pada paru-paru. Di Jakarta ia sudah berobat. Dokter menyangka ia menderita TBC karena foto sinarnya gelap. Tetapi setelah pemeriksaan lab ia negatif. Juga setelah diobati. Dokter menganjurkannya pergi ke Tokyo, Hongkong atau Taipeh. Ia memilih yang terakhir. Tahun 1975 ia dioperasi di CC dan kedatangannya kali ini adalah untuk check-up yang ke-6 kalinya. Menurut Karmadi, fasilitas CC sama saja dengan rumahsakit modern di Indonesia. Yang beda dokter dan perawat sangat dekat dengan pasien. Setiap saat mereka bersedia menolong dan menjawab pertanyaan mereka. Ketika saya datang ke kamar Karmadi, kebetulan ada seorang dokter pembantu yang masih muda sekali sedang ngobrol dengan Karmadi sambil menonton tv. Sewa kamar yang ditempati Karmadi dengan dua tempat tidur jatuhnya sekitar Rp 8.000, per hari. Untuk Jakarta, kata Karmadi yang sudah punya pengalaman dirawat di berbagai rumahsakit Jakarta, kamar semacam ini dengan pesawat tv bisa berharga sampai Rp 30.000/hari. Kalau ada keluarga yang mau menemani, rumahsakit mengijinkan ia tidur dalam kamar itu. Satu-satunya keluhan Karmadi adalah makanan yang tak cocok dengan seleranya. Ia tak biasa makanan berminyak, sehingga selera makannya menurun. Ia jadi kurus.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus