CENTRAL Clinic di Taipeh merupakan tujuan utama para pelancong
Indonesia yang ingin memeriksakan kesehatan. Wartawan TEMPO,
Dahana, dalam perjalanannya ke Taiwan sempat singgah di
rumahsakit tersebut. Laporan nya:
Bangunannya modern dan megah, terletak di jalan ramai tak jauh
dari pusat kota Taipeh. Itulh Chung Hsin Chen-suo Yi-yuan
atau lebih dikenal dengan nama Central Clinic. Gedungnya
berlantai 12, namun kita tak akan mendapatkan tingkat yang
bernomor 4. Maklumlah si dalam bahasa Hokkian (bahasa daerah
yang paling banyak digunakan oleh penduduk Taiwan) atau ssu
dalam bahasa Mandarin, selain berarti empat juga punya arti lain
mati. Kalau nomor ini digunakan, secara psikologis tak baik
bagi orang-orang yang dirawat di sana. Apalagi buat mereka yang
ditempatkan di lantai 4.
Rumah sakit itu sengaja dipilih untuk dikunjungi, karena menurut
keterangan banyak orang Indonesia yang berobat atau mengecek
kesehatan ke sana. Selain dari itu dalam brosurnya diterangkan
pula bahwa Central Clinic menyediakan pula tenaga-tenaga medis,
terutama perawat, yang bisa berbahasa Indonesia.
Sambil Dagang Juga
Perihal memeriksakan kesehatan (general check up) yang sedang
populer di kalangan orang berduit di negeri kita, seorang
pejabat Kamar Dagang Indonesia di Taipeh mengatakan rata-rata
setiap tahun ada 15.000 turis Indonesia yang berkunjung ke
negara pulau itu. Banyak di antara mereka yang datang itu
mengikuti apa yang disebut Medical Check up Tour yang diatur
di Indonesia oleh beberapa biro perjalanan. Programnya
berlangsung selama satu minggu yang terdiri dari 4 hari
jalan-jalan melihat negeri itu dan tiga hari memeriksakan
kesehatan. ,Ada pula di antara mereka yang sambil menjalankan
urusan dagangnya, juga memeriksakan kesehatan.
Dr. Lueh Yeh-Bin, kepala rumahsakit itu menyatakan bahwa
dari macam-macam bangsa yang berkunjung ke situ, orang
Malaysia ternyata merupkan pengunjung tertinggi, disusul
Indonesia,Hongkong, Muangthai malahan dari Amerika
Serikat juga menjadi langganan Central Clinic. "Saya
sendiri pernah merawat beberapa pejabat tinggi dari
Indonesia," ujar Dr Lue.
Untuk ukuran Taiwan, biaya perawatannya cukup tinggi. Tetapi
untuk para pendatang mungkin lebih murah. Apalagi untuk
orang-orang dari Amerika Serikat. Yang mahal cuma ongkos
perjalanan untuk mencapai negara pulau ini.Berkeliling dalam
rumahsakit itu, kelihatan peralatannya yang memang modern dan
terawat baik. Tapi rumahsakit tertentu di Jakarta mungkin tak
kalah. Terlihat misalnya dua buah mesin sinar Rongent
berkekuatan 500 MA dan sebuah lagi yang berkuatan 800 MA.
Di sebuah ruangan terlihat seorang penderita sedang duduk dan di
kepalanya terpancang berpuluh-puluh jarum yang dihubungkan
dengan kabel-kabel kccil ke sebuah mesin yang dilayani seorang
perawat cantik. Di ruangan lain seorang penderita kanker sedang
"ditembak'' oleh Cobalt 60. Suasana di seluruh ruangan sangat
tenang walaupun setiap petugas sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Tak kelihatan orang berjejal di muka loket--satu
pemandanan sehari-hari yang kita temukan di rumahsakit umum di
Jakarta.
Pengalaman Jelek
"Servis di rumahsakit Indonesia dan di sini sama saja," kata
Setianto dan Henry Sunoto, keturunan Tionghoa asal Surabaya,
yang sedang memeriksakan kesehatan di rumahsakit itu. Mereka
datang ke Taipeh untuk pemeriksaan kesehatan sambil melancong ke
Hongkong, Tokyo dan Bangkok. Menurut mereka ongkos pemeriksaan
berkisar antara Rp 70 sampai Rp 80.000.
Di rumahsakit Central Clinic tersebut beristirahat pula seorang
murid SMP asal Palembang, Susi namanya. Dia datang ke Taipeh
dengan ditemani ibunya. Ia menderita polio sejak kecil dan telah
berobat ke mana-mana di Indonesia. Dengan perawatan selama 6
minggu, menurut keterangan ibunya, Susi akan sembuh dan dapat
berjalan dengan normal.
Nyonya Yanti dari Petojo di Jakarta lain lagi. Ia punya
pengalaman jelek dengan dokter dan perawatan kesehatan di
Jakarta. Kakinya sering keseleo karena ada kelainan pada
tulangnya. Dua atau tiga tahun yang lalu ia dioperasi seorang
akhli tulang di Jakarta. Ternyata operasinya salah, karena
ternyata makin parah, malahan infeksi. Sampai berbulan-bulan,
dokternya yang tidak mengatakan apa-apa memberinya obat anti
infeksi, sehingga menimbulkan komplikasi, yaitu sakit maag. Di
Central Clinic kakinya dioperasi lagi sehingga dalam tiga minggu
ia bisa kembali ke Jakarta. Demikian pula sakit maagnya telah
disembuhkan.
Menurut Ny. Yanti berobat di CC sangat menyenangkan. Dokter
selalu memberi tahu penyakit yang diderita si pasien. Di
Indonesia, kata nyonya muda itu, kalau berani tanya kepada
dokter pasti dibilang sok tahu atau cerewet. Demikian pula para
perawatnya. Setiap waktu mereka pasti dengan senang hati akan
menolong para penderita. Pokoknya, menurut Ny. Yanti, di CC
pasien adalah raja, karena mereka telah membayar untuk servis.
Pak Karmadi 70 tahun, dari Cempaka Putih menderita tumor pada
paru-paru. Di Jakarta ia sudah berobat. Dokter menyangka ia
menderita TBC karena foto sinarnya gelap. Tetapi setelah
pemeriksaan lab ia negatif. Juga setelah diobati. Dokter
menganjurkannya pergi ke Tokyo, Hongkong atau Taipeh. Ia memilih
yang terakhir. Tahun 1975 ia dioperasi di CC dan kedatangannya
kali ini adalah untuk check-up yang ke-6 kalinya.
Menurut Karmadi, fasilitas CC sama saja dengan rumahsakit modern
di Indonesia. Yang beda dokter dan perawat sangat dekat dengan
pasien. Setiap saat mereka bersedia menolong dan menjawab
pertanyaan mereka. Ketika saya datang ke kamar Karmadi,
kebetulan ada seorang dokter pembantu yang masih muda sekali
sedang ngobrol dengan Karmadi sambil menonton tv.
Sewa kamar yang ditempati Karmadi dengan dua tempat tidur
jatuhnya sekitar Rp 8.000, per hari. Untuk Jakarta, kata
Karmadi yang sudah punya pengalaman dirawat di berbagai
rumahsakit Jakarta, kamar semacam ini dengan pesawat tv bisa
berharga sampai Rp 30.000/hari. Kalau ada keluarga yang mau
menemani, rumahsakit mengijinkan ia tidur dalam kamar itu.
Satu-satunya keluhan Karmadi adalah makanan yang tak cocok
dengan seleranya. Ia tak biasa makanan berminyak, sehingga
selera makannya menurun. Ia jadi kurus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini