JIKA pukat harimau (trawl) selalu menjadi bahan kutukan dan
umpatan di daerah maupun kota pantai, tak demikian bagi kota
Sibolga. Setidak-tidaknya begitulah menurut Walikota Sibolga
Padapotan Nasution. Yaitu ketika ia berkata, "untuk Sibolga,
pukat harimau itu membawa berkah" seperti disiarkan beberapa
harian diMedan belum lama ini.
Tak jelas benar berkah apa yang telah diterima Sibolga dari
armada pukat harimau di kawasan Tapanuli Tengah itu.Tapi menurut
Kepala Dinas Pendapatan Kotamadya Sibolga, Ihsan Lubis, sejak
sebanyak 400 armada pukat harimau menghambur ke pantai barat
Sumatera dari kawasan Selat Malaka di tahun 1974, wajah kota ini
sudah banyak herubah. Dulu, kata Ihsan, kota dengan luas 3,7 km2
dan penduduk 52.000 jiwa itu sudah nyaris bangkrut. Misalnya, 2
buah gedung bioskop yang ada sudah megap-megap tak ada penonton.
Toko-toko banyak yang tutup karena rugi. Dan jam 20.00 malam
seluruh kota sudah sunyi senyap. "Sekarang Sibolga punya 4 buah
gedung bioskop dan setiap malam memutar film" tambah Ihsan
Lubis.
Dan memang Kota Sibolga sudah berubah. Sekarang di sini terdapat
3 buah pabrik es, 2 buah pabrik pendingin ikan, sebuah pabrik
tepung ikan dan puluhan pelataran penjemur ikan. Lalu, tutur
Ihsan lagi, Pemda Kotamadya sendiri setiap tahun mengantongi Rp
30 juta hanya dari retribusi ikan hasil tangkapan pukat harimau.
Sehingga APBD tahun ini seluruhnya mencapai hampir Rp 300 juta.
Lumayan juga rupanya. Tapi mengapa pukat-pukau harimau itu
merasa betah benar di pantai kota Sibolga? "Disini mereka aman,
tak pernah kami kompas," jawab Ihsan.
Tapi bagaimana nasib 250 orang nelayan tradisionil di kota itu?
Ihsan balik bertanya: "Apakah 52.000 jiwa penduduk kota Sibolga
harus dikorbankan untuk 250 orang nelayan pribumi itu?" Dan
memang kenyataannya begitu. Mereka boleh dikata kehilangan mata
pencaharian. Bukan saja karena jumlah pukat harimau cukup
banyak, tapi juga jaring-jaring trawl itu sudah menyapu bersih
semua ikan yang mungkin didapat oleh nelayan tradisionil tanpa
menghiraukan batas perairan seperti yang ditentukan. Dan
sekarang, anak isteri nelayan-nelayan tradisionil yang pribumi
itu setiap pagi mencari upahan sebagai pembelah atau penjemur
ikan. Ada juga yang menjadi penjaja ikan keliling kota. Semua
hasil tangkapan pukat harimau.
Kas Kosong
Lebih dari itu adalah nasib 60% penduduk Kabupaten Tapanuli
Tengah yang berjumlah 112.000 jiwa itu. Padahal Kotamadya
Sibolga juga terletak di Kabupaten Tapanuli Tengah. Para nelayan
itu tersebar di sepanjang Pantai Barus, Mela, Pandan, Jago-jago
dan Sorkam. Sejak armada pukat harimau menyerbu kawasan ini,
para nelayan tradisionil itupun menggantung jaring mereka. Lebih
sial lagi, karena retribusi pukat-pukat harimau itu dikutip oleh
Pemda Kotamadya Sibolga walaupun, mereka beroperasi di perairan
yang termasuk wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
Oleh karena itu, meskipun berkah pukat harimau dinikmati kota
Sibolga, 'tapi akibatnya sejuta laknat bagi rakyat Tapanuli
Tengah"--seperti dituturkan Denni S. Pandiangan, Humas Kantor
Bupati Tapanuli Tengah. Pandiangan mengungkapkan bahwa baik
Bupati maupun DPRD Tapanuli Tengah selalu dihujani keluhan
nelayan semenjak pukat harimau menyapu daerah itu. Tapi
tampaknya belum terlihat usaha untuk mengatasinya.
Yang pasti saja sekarang, puluhan ribu bekas nelayan tradisionil
itu menyerbu kota Sibolga mencari pekerjaan baru, apa saja. Dan
lagi, ungkap Pandiangan, pendapatan Pemda Kabupaten Tapanuli
Tengah berkurang hampir 50% dari sebelumnya. "APBD kami sekarang
tak sampai Rp 100 juta lagi," katanya. Karena ini pula para
anggota DPRD kabupaten itu sejak dilantik sehabis Pemilu lalu
sampai sekarang baru menerima honor untuk 1 1/2 bulan saja. "Kas
kosong" begitu jawaban yang mereka terima dari bagian keuangan
kantor bupati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini