Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Bersama-Sama, Tersangka Dan Saksi

Kasus sengketa utang piutang PT. Damaitex, Semarang, terjadi keanehan pada berita acara. Hendra Jaya dinyatakan sebagai tersangka dan saksi. (hk)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSOALAN hukum ini biasa saja. Seorang yang berdiri sebagai saksi dalam perkara pidana, dalam banyak hal, tentu kedudukannya berbeda jika ia harus duduk sebagai seorang tersangka. Sehingga menurut Brigjen Pol. Hudioro, Kadis Penerangan Mabak, "persis permukaan keping uang logam" sebagai seorang saksi harus memberikan keterangan sebenarnya, sedang seorang tersangka berhak ingkar! Bagaimana jika ada tersangka diajukan ke pengadilan berdasarkan keterangannya dalam pemeriksaan pendahuluan di kantor polisi, sebagai seorang saksi? "Lucu, kalau memang ada kejadian begitu," ujar Hudioro. Dan "yang lucu" itu benar-benar terjadi di Semarang. Seddaknya masih merupakan keganjilan proses hukum yang harus memperoleh kejelasan dari berbagai pihak secara terbuka. Adalah sengketa utang piutang biasa di kalangan pedagang Cina keturunan Hokcia, berasal dari Propinsi Hokkian Tiongkok, di Semarang. Biasanya, seperti lazimnya tata perdagangan mereka yang tertutup, sengketa begitu dapat diselesaikan di kalangan mereka sendiri. Seorang yang dapat dianggap berwibawa, dengan kebijaksanaannya boleh memutuskan perkara secara mengikat. Begitu juga yang menimpa pabrik tekstil Damaitex di Jalan Simongan 100, tak jauh dari Kelenteng Sam Po Kong di Gedong Batu, Semarang. Damaitex milik PT Damai Ltd, terlibat hutang dengan sekitar 69 kreditur. Utang piutang, seperti lazimnya di kalangan mereka, dilakukan tanpa surat menyurat. Berdasarkan saling percaya saja. Itulah sebabnya timbul perbedaan dalam hitungan masing-masing pihak. Damai menyatakan hutangnya cuma sekitar Rp 800 juta. Sedangkan para kreditur mengklaim sekitar Rp 1,3 milyar. Digulung Perbedaan perhitungan, sebenarnya, tak menimbulkan urusan yang memusingkan. Bisa dirunding. Yang sulit ialah tuduhan para kreditur. "Damaitex sengaja dikorbankan, karena mereka (para direksi PT Damai yang lama -- red) menggunakan uangnya untuk mendirikan pabrik Sinar Pantja Djaja (SPD)," kata Tan A Tong, salah seorang kreditur Dengan alasan demikian, di bawah petunjuk seorang tokoh Hokcia Semarang yang beken, Hoo Liong Tiauw, Damaitex digulung (1975). Para direksinya, Sutantojaya (Presiden Komisaris), Mr. Pri Sastroatmodjo (Direktur) dan Hendrajaya (Direktur, anak Sutanto), merasa dipaksa harus menyerahkan Damaitex. Bahkan saham-saharn mereka, berikut PT Damai, harus pula diserahkan sebagai pembayar hutang (TEMPO, 18 Maret 1978). Sampai sekian, sebenarnya, pihak eks direksi Damai tetap mematuhi aturan main pedagang Hokcia: menerima atau tidak penyelesaian begitu dan tetap menjaga urusan tertutup bagi kalangan luar. Namun begitu, direksi baru PT Damai--di bawah Hoo Gwan Kang dkk-menekan terus agar Sutanto dari famili Kwa ini menyerahkan harta kekayaan lain. Rupanya, selesai menguasai Damaitex seluruhnya sekaligus, Hoo Gwan Kang cs hendak mengutik-utik sebuah gudang milik Sutanto yang lain. Gudang yang berada di seberang jalan Damaitex, menurut Sutanto, digunakan oleh PD untuk menyimpan alat-alat Keperluan pabrik. Pun, "selain Damaitex di Simongan 100, saham serta badan hukum dan izin PT Damai, harta lain tak termasuk dalam pembayar hutang," kata Sutanto. Ia khawatir, setelah menguasai yang satu, Hoo akan juga ingin menguasai harta lainnya gudang, rumah di Semarang, Yogya atau Jakarta. Tan A Tong, direktur baru Damai,kukuh menyatakan: "Gudang juga harus diserahkan, karena itu milik Damai yang telah kita kuasai." Yang memulai berperkara keluar sebenarnya pihak Hoo sendiri. Mereka mengadukan Sutanto dan Pri, sebagai eks Presiden Direktur dan Direktur Damai, kepada polisi. Tuduhannya: menggelapkan-& menipu. Sutanto dan Pri diperiksa polisi tentu saja sebagai para tersangka. "Pabrik sudah mereka kuasai, sekarang saya diperkarakan, setelah itu apa lagi yang, akan mereka lakukan--menguasai saya sebulat-bulatnya" keluh Sutanto. Namun ia tak tinggal diam. Pengaduan balik dilakukan. Ia menuduh Hoo LiongTiauw dan Hoo Gwan Kang berbuat kriminil: memaksanya menyerahkan Damaitex. Polisi, berikutnya, memeriksa Sutanto, Pri dan Hendra. Kali ini, karena sebagai pelapor, tentunya ketiga orang itu diperiksa sebagai para saksi. Aneh tak aneh, karena itu menyangkut hak petugas hukum untuk menentukan perkara mana yang diprioritaskan untuk diajukan lebih dulu ke pengadilan, pengaduan Sutanto (walaupun diajukan belakangan beberapa minggu dari pengaduan pihak direksi baru Damai), yang digarap lebih dulu. Kecewa di hati pihak Sutanto: jaksa hanya mengajukan sebuah tuduhan--tanpa alternatif. Yaitu hanya menyangkut kejahatan pemaksaan dengan cara kekerasan (pasal 368 KUHP). Itupun, kemudian, jaksa sendiri yang menuntut agar kedua Hoo dibebaskan dari segala tuduhannya. Hakim memutus seperti permintaan jaksa (Januari 1978). Baru, setelah beres perkara kedua Hoo, perkara Sutanto masuk pengadilan. Namun terdakwanya tak hanya Sutanto dan Pri--yang diperiksa polisi dalam pemeriksaan pendahuluan. Hendrajaya ikut terseret. Hakim Nyonya T.A. Soedjadi SH, dari Pengadilan Negeri Semarang, minggu-minggu ini tengah berusaha menyelesaikan sengketa orang orang Hokcia itu. Sejak semula, sebenarnya, terdakwa Hendrajaya--melalui pembelanya, Dan Sulaiman dan Woerjanto--telah mengingatkan hakim: Tidak ada dasar hukumnya bagi jaksa untuk menyusun surat tuduhan bagi Hendra dalam perkara yang tengah berjalan itu. Sebab, begitu menurut para pembela dalam eksepsinya, terhadap terdakwa Hendra belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan sebagai tersangka oleh polisi maupun jaksa. Jaksa menyanggah. Menurut Jaksa Sutan Pasaribu SH, "terdakwa ketiga, Hendrajaya, pada hari Kamis 2 September 1977 telah diperiksa sebagai tersangka oleh verbalisan (pemeriksa--red) Sutono (pangkat Letnan Satu Polisi..... pada Komdak IX Jateng)". Memang, kalu tak ada berita acara pemeriksaan pendahuluan sebagai tersangka, mana bisa Hendra diterima hakim duduk sebagai terdakwa? Namun Hendra tetap geleng kepala. Dia yakin sekali hanya pernah diperiksa (pada tanggal 2 dan 6 September 1976) sebagai saksi. Betul ia diperiksa oleh Sutono. Keterangannya diketik dalam sebuah mesin ketik rangkap 5 atau 6 kopi. Dibacakan sebelum ditandatanganinya "jelas saya sebagai saksi atas pengaduan kami sendiri." Tak lain dari itu. Tinta Hitam Dan Biru Lalu berita acara dia sebagai tersangka seperti yang dibawa jaksa ke pengadilan. Dalam eksepsinya pembela menyatakan: Berita acara yang dipergunakan sebagai dasar tuduhan jaksa, memang sama dengan yang diteken oleh Hendra sebagai saksi. " .... Hanya halaman pertama berita acara yang sekarang dipergunakan sebagai dasar untuk tuduhan terhadap Hendrajaya, adalah bukan halaman pertama yang asli, tetapi sudah diganti." Buktinya: ada perbedaan warna tinta mesin ketik pada halaman pertama dengan lembar-lembar berikutnya. Jelasnya, pada halaman pertama, tinta yang dipergunakan berwarna hitam. Sedangkan pada halaman-halaman berikutnya, sampai selesai, berwarna biru (tindasan dari kertas karbon). Sementara itu pada halaman pertama antara berita acara yang menyatakan Hendra sebagai tersangka dan sebagai saksi sama-sama berbunyi "Pada hari ini, Kamis 2 September 1900 tujuh puluh enam, jam 10.15 .... " Pembela berpendapat, "mustahil" seorang dapat diperiksa, pada hari, tanggal dan jam yang sama, sekaligus sebagai saksi dan tersangka. Namun para pembela tak sampai pada kesimpulan adakah telah terjadi pemalsuan, atau setidaknya ada oknum petugas hukum yang merubah berita acara Hendra secara tak sah ? Kadispen Komdak IX Jawa Tengah Letkol Soeprapto, mencoba menjelaskan lika-liku hadirnya kedua berita acara pemeriksaan pendahuluan atas Hendra itu. Dengan tegas ia menyatakan: "Hendra pasti telah menandatangani dua berita acara: satu sebagai saksi dan lainnya sebagai tersangka." Namun Kadispen ini tak membantah kenyataan: Memang, selain pada halaman pertama --khusus mengenai kedudukan Hendra sebagai saksi atau tersangka--"keseluruhan isinya, pertanyaan pemeriksa atau jawabannya, memang sama persis." Hal begitu, menurut Soeprapto, "biasa terjadi." Baik sebagai saksi maupun tersangka, "jika persoalannya sama, keterangannya juga akan sama saja, itu-itu juga." Tapi Kadispen Hudioro di Jakarta berpendapat lain. Adakalanya, memang, seorang saksi di kemudian hari dapat dimajukan sebagai tersangka. Dan sebaliknya. Tapi, bagaimana pun, "proses verbalnya harus dibedakan." Apalagi, "sangat tak mungkin kedua berita acara yang berbeda dapat dibuat dalam waktu yang bersamaan." Sebab, proses saksi akan menjadi tersangka atau sebaliknya, sudah tentu memerlukan tenggang waktu. Seandainya kasus Hendra itu betul, menurut Hudioro, "itu merupakan kecerobohan." Hudioro tak menunjuk kecerobohan ada di pihak hamba hukum yang mana. Tapi, jika berita acara yang demikian itu sampai tiba di meja hijau, tersangka sendiri harus menyatakannya kepada hakim. Nah, jika sudah demikian, tergantung hakimlah: adakah kelahiran berita acara itu harus diusut atau tidak. Karena begitu semustinya--agar tak ada sebutan orang kuat di Semarang segala.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus