PERSOALAN hukum ini biasa saja. Seorang yang berdiri sebagai
saksi dalam perkara pidana, dalam banyak hal, tentu
kedudukannya berbeda jika ia harus duduk sebagai seorang
tersangka. Sehingga menurut Brigjen Pol. Hudioro, Kadis
Penerangan Mabak, "persis permukaan keping uang logam" sebagai
seorang saksi harus memberikan keterangan sebenarnya, sedang
seorang tersangka berhak ingkar!
Bagaimana jika ada tersangka diajukan ke pengadilan berdasarkan
keterangannya dalam pemeriksaan pendahuluan di kantor polisi,
sebagai seorang saksi? "Lucu, kalau memang ada kejadian begitu,"
ujar Hudioro. Dan "yang lucu" itu benar-benar terjadi di
Semarang. Seddaknya masih merupakan keganjilan proses hukum yang
harus memperoleh kejelasan dari berbagai pihak secara terbuka.
Adalah sengketa utang piutang biasa di kalangan pedagang Cina
keturunan Hokcia, berasal dari Propinsi Hokkian Tiongkok, di
Semarang. Biasanya, seperti lazimnya tata perdagangan mereka
yang tertutup, sengketa begitu dapat diselesaikan di kalangan
mereka sendiri. Seorang yang dapat dianggap berwibawa, dengan
kebijaksanaannya boleh memutuskan perkara secara mengikat.
Begitu juga yang menimpa pabrik tekstil Damaitex di Jalan
Simongan 100, tak jauh dari Kelenteng Sam Po Kong di Gedong
Batu, Semarang. Damaitex milik PT Damai Ltd, terlibat hutang
dengan sekitar 69 kreditur. Utang piutang, seperti lazimnya di
kalangan mereka, dilakukan tanpa surat menyurat. Berdasarkan
saling percaya saja. Itulah sebabnya timbul perbedaan dalam
hitungan masing-masing pihak. Damai menyatakan hutangnya cuma
sekitar Rp 800 juta. Sedangkan para kreditur mengklaim sekitar
Rp 1,3 milyar.
Digulung
Perbedaan perhitungan, sebenarnya, tak menimbulkan urusan yang
memusingkan. Bisa dirunding. Yang sulit ialah tuduhan para
kreditur. "Damaitex sengaja dikorbankan, karena mereka (para
direksi PT Damai yang lama -- red) menggunakan uangnya untuk
mendirikan pabrik Sinar Pantja Djaja (SPD)," kata Tan A Tong,
salah seorang kreditur Dengan alasan demikian, di bawah petunjuk
seorang tokoh Hokcia Semarang yang beken, Hoo Liong Tiauw,
Damaitex digulung (1975). Para direksinya, Sutantojaya (Presiden
Komisaris), Mr. Pri Sastroatmodjo (Direktur) dan Hendrajaya
(Direktur, anak Sutanto), merasa dipaksa harus menyerahkan
Damaitex. Bahkan saham-saharn mereka, berikut PT Damai, harus
pula diserahkan sebagai pembayar hutang (TEMPO, 18 Maret 1978).
Sampai sekian, sebenarnya, pihak eks direksi Damai tetap
mematuhi aturan main pedagang Hokcia: menerima atau tidak
penyelesaian begitu dan tetap menjaga urusan tertutup bagi
kalangan luar. Namun begitu, direksi baru PT Damai--di bawah Hoo
Gwan Kang dkk-menekan terus agar Sutanto dari famili Kwa ini
menyerahkan harta kekayaan lain.
Rupanya, selesai menguasai Damaitex seluruhnya sekaligus, Hoo
Gwan Kang cs hendak mengutik-utik sebuah gudang milik Sutanto
yang lain. Gudang yang berada di seberang jalan Damaitex,
menurut Sutanto, digunakan oleh PD untuk menyimpan alat-alat
Keperluan pabrik. Pun, "selain Damaitex di Simongan 100, saham
serta badan hukum dan izin PT Damai, harta lain tak termasuk
dalam pembayar hutang," kata Sutanto. Ia khawatir, setelah
menguasai yang satu, Hoo akan juga ingin menguasai harta lainnya
gudang, rumah di Semarang, Yogya atau Jakarta.
Tan A Tong, direktur baru Damai,kukuh menyatakan: "Gudang juga
harus diserahkan, karena itu milik Damai yang telah kita
kuasai." Yang memulai berperkara keluar sebenarnya pihak Hoo
sendiri. Mereka mengadukan Sutanto dan Pri, sebagai eks
Presiden Direktur dan Direktur Damai, kepada polisi. Tuduhannya:
menggelapkan-& menipu.
Sutanto dan Pri diperiksa polisi tentu saja sebagai para
tersangka. "Pabrik sudah mereka kuasai, sekarang saya
diperkarakan, setelah itu apa lagi yang, akan mereka
lakukan--menguasai saya sebulat-bulatnya" keluh Sutanto. Namun
ia tak tinggal diam. Pengaduan balik dilakukan. Ia menuduh Hoo
LiongTiauw dan Hoo Gwan Kang berbuat kriminil: memaksanya
menyerahkan Damaitex. Polisi, berikutnya, memeriksa Sutanto, Pri
dan Hendra. Kali ini, karena sebagai pelapor, tentunya ketiga
orang itu diperiksa sebagai para saksi.
Aneh tak aneh, karena itu menyangkut hak petugas hukum untuk
menentukan perkara mana yang diprioritaskan untuk diajukan lebih
dulu ke pengadilan, pengaduan Sutanto (walaupun diajukan
belakangan beberapa minggu dari pengaduan pihak direksi baru
Damai), yang digarap lebih dulu. Kecewa di hati pihak Sutanto:
jaksa hanya mengajukan sebuah tuduhan--tanpa alternatif. Yaitu
hanya menyangkut kejahatan pemaksaan dengan cara kekerasan
(pasal 368 KUHP). Itupun, kemudian, jaksa sendiri yang menuntut
agar kedua Hoo dibebaskan dari segala tuduhannya. Hakim memutus
seperti permintaan jaksa (Januari 1978).
Baru, setelah beres perkara kedua Hoo, perkara Sutanto masuk
pengadilan. Namun terdakwanya tak hanya Sutanto dan Pri--yang
diperiksa polisi dalam pemeriksaan pendahuluan. Hendrajaya ikut
terseret. Hakim Nyonya T.A. Soedjadi SH, dari Pengadilan Negeri
Semarang, minggu-minggu ini tengah berusaha menyelesaikan
sengketa orang orang Hokcia itu.
Sejak semula, sebenarnya, terdakwa Hendrajaya--melalui
pembelanya, Dan Sulaiman dan Woerjanto--telah mengingatkan
hakim: Tidak ada dasar hukumnya bagi jaksa untuk menyusun surat
tuduhan bagi Hendra dalam perkara yang tengah berjalan itu.
Sebab, begitu menurut para pembela dalam eksepsinya, terhadap
terdakwa Hendra belum pernah dilakukan pemeriksaan pendahuluan
sebagai tersangka oleh polisi maupun jaksa.
Jaksa menyanggah. Menurut Jaksa Sutan Pasaribu SH, "terdakwa
ketiga, Hendrajaya, pada hari Kamis 2 September 1977 telah
diperiksa sebagai tersangka oleh verbalisan (pemeriksa--red)
Sutono (pangkat Letnan Satu Polisi..... pada Komdak IX Jateng)".
Memang, kalu tak ada berita acara pemeriksaan pendahuluan
sebagai tersangka, mana bisa Hendra diterima hakim duduk sebagai
terdakwa?
Namun Hendra tetap geleng kepala. Dia yakin sekali hanya pernah
diperiksa (pada tanggal 2 dan 6 September 1976) sebagai saksi.
Betul ia diperiksa oleh Sutono. Keterangannya diketik dalam
sebuah mesin ketik rangkap 5 atau 6 kopi. Dibacakan sebelum
ditandatanganinya "jelas saya sebagai saksi atas pengaduan kami
sendiri." Tak lain dari itu.
Tinta Hitam Dan Biru
Lalu berita acara dia sebagai tersangka seperti yang dibawa
jaksa ke pengadilan. Dalam eksepsinya pembela menyatakan:
Berita acara yang dipergunakan sebagai dasar tuduhan jaksa,
memang sama dengan yang diteken oleh Hendra sebagai saksi. "
.... Hanya halaman pertama berita acara yang sekarang
dipergunakan sebagai dasar untuk tuduhan terhadap Hendrajaya,
adalah bukan halaman pertama yang asli, tetapi sudah diganti."
Buktinya: ada perbedaan warna tinta mesin ketik pada halaman
pertama dengan lembar-lembar berikutnya. Jelasnya, pada halaman
pertama, tinta yang dipergunakan berwarna hitam. Sedangkan pada
halaman-halaman berikutnya, sampai selesai, berwarna biru
(tindasan dari kertas karbon). Sementara itu pada halaman
pertama antara berita acara yang menyatakan Hendra sebagai
tersangka dan sebagai saksi sama-sama berbunyi "Pada hari ini,
Kamis 2 September 1900 tujuh puluh enam, jam 10.15 .... "
Pembela berpendapat, "mustahil" seorang dapat diperiksa, pada
hari, tanggal dan jam yang sama, sekaligus sebagai saksi dan
tersangka. Namun para pembela tak sampai pada kesimpulan adakah
telah terjadi pemalsuan, atau setidaknya ada oknum petugas hukum
yang merubah berita acara Hendra secara tak sah ?
Kadispen Komdak IX Jawa Tengah Letkol Soeprapto, mencoba
menjelaskan lika-liku hadirnya kedua berita acara pemeriksaan
pendahuluan atas Hendra itu. Dengan tegas ia menyatakan:
"Hendra pasti telah menandatangani dua berita acara: satu
sebagai saksi dan lainnya sebagai tersangka." Namun Kadispen ini
tak membantah kenyataan: Memang, selain pada halaman pertama
--khusus mengenai kedudukan Hendra sebagai saksi atau
tersangka--"keseluruhan isinya, pertanyaan pemeriksa atau
jawabannya, memang sama persis." Hal begitu, menurut Soeprapto,
"biasa terjadi." Baik sebagai saksi maupun tersangka, "jika
persoalannya sama, keterangannya juga akan sama saja, itu-itu
juga."
Tapi Kadispen Hudioro di Jakarta berpendapat lain. Adakalanya,
memang, seorang saksi di kemudian hari dapat dimajukan sebagai
tersangka. Dan sebaliknya. Tapi, bagaimana pun, "proses
verbalnya harus dibedakan." Apalagi, "sangat tak mungkin kedua
berita acara yang berbeda dapat dibuat dalam waktu yang
bersamaan." Sebab, proses saksi akan menjadi tersangka atau
sebaliknya, sudah tentu memerlukan tenggang waktu.
Seandainya kasus Hendra itu betul, menurut Hudioro, "itu
merupakan kecerobohan." Hudioro tak menunjuk kecerobohan ada di
pihak hamba hukum yang mana. Tapi, jika berita acara yang
demikian itu sampai tiba di meja hijau, tersangka sendiri harus
menyatakannya kepada hakim. Nah, jika sudah demikian, tergantung
hakimlah: adakah kelahiran berita acara itu harus diusut atau
tidak. Karena begitu semustinya--agar tak ada sebutan orang kuat
di Semarang segala.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini